Implementasi RAN PE; Pentingnya Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah Mencegah Terorisme

Implementasi RAN PE; Pentingnya Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah Mencegah Terorisme

- in Narasi
995
0
Implementasi RAN PE; Pentingnya Sinergi Pemerintah Pusat dan Daerah Mencegah Terorisme

Setelah ditandatangani Presiden Januari 2021 lalu, Peraturan Presiden Nomor 7 Tahun 2021 tentang Rencana Aksi Nasional Pencegahan Ekstremisme Berbasis Kekerasan yang Mengarah pada Ekstremisme (Perpres RAN PE) tahun akhirnya diluncurkan pada Rabu (16/6) lalu. Hadir dalam peluncuran tersebut ialah Wakil Presiden RI, K. H. Makruf Amin. Dalam sambutannya, Wapres berharap para gubernur, walikota dan bupati untuk melaksanakan implementasi RAN PE itu di wilayahnya masing-masing.

Pernyataan Wapres itu kiranya sangat relevan. Mengingat pemerintah daerah (provinsi, kota dan kabupaten) bisa dibilang merupakan kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Dalam urusan pencegahan dan deteksi dini radikalisme, pemerintah daerah bisa dikatakan sebagai ujung tombak alias yang paling terdepan. Maka, sangat penting agar pemerintah pusat dan daerah bersinergi, menyatukan visi dan misi dalam mencegah dan mendeteksi radikalisme. Sinergi pusat-daerah ini urgen mengingat selama ini ada semacam fenomena ketidaksinkronan antara pusat dan daerah dalam banyak kebijakan. Termasuk dalam isu radikalisme-terorisme.

Seperti kita tahu, pasca Reformasi 1998 sistem tatakelola pemerintahan kita mengalami perubahan dari sentralisasi ke arah desentralisasi. Penetapan UU No. 32 Tahun 2004 tentang Otonomi Daerah memberikan kewenangan pada daerah untuk mengurusi urusan dan mengatur sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai peraturan perundang-undangan. Tujuan otda sebenarnya baik, yakni memberikan kewenangan pada pemerintah daerah untuk mengelola segenap potensinya agar bisa dimanfaatkan secara maksimal. Namun, dalam perjalannya otda menimbulkan sejumlah persoalan.

Salah satunya ialah munculnya peraturan daerah (perda) berbasis hukum Islam (syariah) yang marak muncul di sejumlah daerah sejak tahun 2005 hingga sekarang. Otda telah menjadi pintu masuk bagi kelompok Islam konservatif untuk melancarkan agenda formalisasi syariah setelah sebelumnya gagal di level pusat. Pasca penerapan otda sampai hari ini, tercatat puluhan perda islami atau syariah bermunculan di sejumlah daerah. Robin Bush dalam studinya berjudul —-, menyebut bahwa perda syariah dalam banyak hal telah bertentangan dengan spirit kebinekaan yang dikandung NKRI dan Pancasila.

Dalam penelitiannya tersebut, Bush menyebut bahwa sebagian besar perda islami/syariah yang ada di Indonesia cenderung berkarakter intoleran, eksklusif dan anti-pluralisme. Perda syariah didesain untuk memberikan privilege pada umat Islam sebagai kelompok mayoritas dan mendiskriminasi non-muslim sebagai minoritas. Bush menegaskan bahwa penerapan perda islami/syariah ini memberikan efek jangka panjang yakni kian suburnya gerakan keagamaan bercorak radikal-ekstrem. Analisis Bush ini kiranya relevan. Fakta di lapangan membuktikan bahwa ideologi atau gerakan radikal-terorisme hanya tumbuh subur dan berkembang di masyarakat yang berkarakter eksklusif dan intoleran.

Sinergi Pusat-Daerah

Peluncuran RAN PE dan pesan Wapres agar kepala daerah bersinergi dengan pemerintah pusat dalam mencegah terorisme kiranya menjadi momentum membenahi tata kelola penyusunan peraturan daerah. Ke depan, idealnya tidak ada lagi perda-perda berbasis agama yang menyalahi Undang-Undang dan bertentangan dengan dasar negara, yakni Pancasila. Peraturan Daerah idealnya merupakan pengejawantahan dari UU di atasnya dan perwujudan dari nilai-nilai Pancasila yang menjamin kebinekaan dan persatuan bangsa. Jangan sampai perda justru menjadi payung bagi anasir gerakan radikal-keagamaan yang merongrong eksistensi negara.

Langkah selanjutnya yang wajib dilakukan pemerintah daerah ialah memastikan implementasi RAN PE berjalan maksimal. Dalam konteks ini, pemerintah daerah harus menjadi kepanjangan tangan dari pemerintah pusat. Peran pemerintah daerah dalam mencegah dan mendeteksi dini radikalisme dan terorisme dapat dilakukan dengan melakukan pemetaan terhadap kelompok masyarakat yang rawan terpapar ideologi radikal-terorisme. Sebagai pemegang kebijakan, pemda tentunya memiliki data akurat terutama terkait demografi penduduk, dan potensi penyebaran ideologi anti-kebangsaan di wilayahnya. Pemetaan kelompok rawan ini merupakan langkah awal dalam upaya screening terhadap berkembangnya ideologi dan gerakan radikal-terorisme.

Setelah itu, pemerintah daerah wajib menggandeng stakeholder terkait untuk mencegah dan mendeteksi dini radikalisme. Pelibatan masyarakat sipil tentu mutlak dalam hal ini. Jejaring masyarakat sipil mulai dari ormas keagamaan, lembaga kemasyarakatan sampai komunitas-komunitas kecil di lingkup pemukiman warga perlu dilibatkan langsung dalam mencegah dan mendeteksi radikalisme. Tokoh agama, masyarakat dan kepemudaan wajib dilibatkan sebagai agen-agen anti-radikalisme di level yang bersentuhan langsung di masyarakat.

Terakhir, pemerintah daerah tentu wajib memastikan seluruh instansi di bawah naungannya steril dari anasir radikalisme dan terorisme. Instansi pemerintah daerah harus menjadi lembaga percontohan bagaimana komitmen pencegahan dan deteksi dini radikalisme dipraktikkan. Dengan terciptanya sinergi pemerintah pusat dan daerah, maka kita bisa memastikan implementasi RAN PE dalam membangun strategi pencegahan radikalisme semesta.

Facebook Comments