Implementasi RAN PE dan Pelibatan Perempuan dalam Pencegahan Terorisme

Implementasi RAN PE dan Pelibatan Perempuan dalam Pencegahan Terorisme

- in Narasi
940
0
Implementasi RAN PE dan Pelibatan Perempuan dalam Pencegahan Terorisme

Ketika diteken Presiden Januari lalu, Perpres RAN PE menjadi tema perbincangan yang hangat di kalangan para pegiat isu sosial. Tidak terkecuali di kalangan para aktivis kesetaraan gender. Di dalam RAN PE disebutkan bahwa pencegahan terorisme idealnya memperhatikan supremasi hukum dan keadilan, penegakan HAM, pemenuhan hak anak, dimensi good governance, partisipasi publik, kebinekaan dan kearifan lokal serta pengarusutamaan gender. Poin terakhir itulah yang selama ini ditunggu oleh kalangan pegiat isu kesetaraan gender.

RAN PE yang dirilis pemerintah berorientasi pada tiga pilar. Pertama, pencegahan yang mencakup kesiapsiagaan, kontra-radikalisasi dan deradikalisasi. Kedua, penegakan hukum yakni perlindungan saksi dan korban serta penguatan kerangka legislasi nasional. Ketiga, kemitraan dan kerjasama internasional. Dengan adanya klausul pengarusutamaan gender dalam RAN PE, itu artinya perempuan juga harus terlibat aktif dalam tiga isu tersebut.

Ada dua faktor mengapa perempuan harus terlibat dalam pencegahan terorisme. Pertama, dalam beberapa tahun belakangan fenomena terorisme di Indonesia banyak diwarnai oleh aktor perempuan di dalamnya. Ada pergeseran penting ketika perempuan tidak lagi berada di balik layar aksi teror, namun menjadi eksekutor lapangan. Serangan terorisme lone-wolf yang dilakukan perempuan di Mako Brimob beberapa waktu lalu mengonformasi fakta tersebut. Ini artinya, perempuan merupakan kelompok yang rawan direkrut oleh jaringan teror sebagai pelaku lapangan (eksekutor).

Kedua, dalam struktur sosial, baik domestik maupun publik perempuan memiliki peran strategis dalam melakukan transformasi sosial. Di era modern seperti saat ini, peran perempuan tidak lagi terbatas pada urusan domestik (rumah tangga) melainkan juga merambah urusan publik. Kini, banyak perempuan yang berkiprah di ruang publik, bekerja di sektor-sektor yang dulunya didominasi kaum lelaki, bahkan menduduki jabatan strategis di pemerintahan. Maka, melibatkan perempuan dalam pengambilan keputusan publik ialah sebuah hal yang mutlak.

Sayangnya, anggapan perempuan sebagai the second class (masyarakat kelas dua) masih saja berkembang di sebagian kelompok masyarakat. Tidak terkecuali dalam urusan pemberantasan terorisme. Sebagian kalangan masih menganggap pemberantasan terorisme identik dengan citra maskulinisme sehingga hanya cocok bagi kaum lelaki. Padahal kenyataannya tidak demikian. Dalam urusan penindakan terhadap teroris, seperti penangkapan, penyergapan dan sejenisnya kaum lelaki barangkali memang lebih cocok. Namun, dalam hal pencegahan dan deteksi dini terorisme, perempuan kiranya juga memiliki kapabilitas yang layak diperhitungkan.

Peran Perempuan dalam Pencegahan Radikalisme

Marginalisasi perempuan dalam pencegahan terorisme berdampak pada makin banyaknya perempuan terlibat terorisme. Menurut Musdah Mulia, dalam struktur gerakan radikal-terorisme, perempuan bisa memainkan setidaknya enam peran. Yakni pendidik (educator), agen perubahan (agent of change), pendakwah (campaingner), pengumpul dana (fundriser), perekrut (recruiter) dan pelaku bom bunuh diri (suicide bomber). Jika dari sisi gerakan radikal-terorisme saja peran perempuan bisa sebegitu luasnya, mengapa dalam gerakan kontra-radikalisme tidak demikian?

RAN PE yang di dalamnya memuat dimensi pengarusutamaan gender ini kiranya bisa menjadi momentum keterlibatan perempuan mencegah terorisme. Peran perempuan dalam pencegahan dan deteksi dini radikal-terorisme dapat dilakukan dari lingkup yang paling kecil, yakni keluarga. Perempuan (ibu) dalam rumah tangga merupakan elemen penting pendidikan karakter bagi anak-anaknya. Di dalam tradisi pengasuhan (parenting) ala Islam, ibu disebut sebagai madrasatul ula atau sekolah pertama bagi anak-anaknya.

Tidak hanya terbatas di ruang domestik, peran perempuan dalam pencegahan dan deteksi dini radikal-terorisme juga bisa dilakukan di ranah publik. Dalam konteks ini, perempuan bisa menjadi agen anti-radikalisme-terorisme di kalangan kaumnya sendiri (perempuan). Dalam kehidupan sosial-keagamaan, kita menyaksikan sendiri bagaimana gerakan keagamaan berbasis perempuan seperti Fatayat di lingkungan NU atau Aisyiyyah di lingkup Muhammadiyah sangat efektif membentengi perempuan dari radikalisme.

Komunitas-komunitas itu juga efektif sebagai supporting system untuk membangun mekanisme deteksi dini radikal-terorisme di lingkungan sekitar. Seperti kita tahu, perempuan-perempuan yang terlibat jaringan teror dikenal tertutup, asosial dan anti pada organisasi keagamaan yang bersifat komunal-terbuka. Selain gerakan keagamaan, unit kegiatan masyarakat berbasis perempuan seperti PKK, Dasawisma, atau sejenisnya kiranya juga bisa berfungsi sebagai early warning system dalam pencegahan radikalisme dan terorisme.

Di atas itu semua, secara sosio-psikologis, perempuan memiliki sejumlah kelebihan ketimbang laki-laki dalam hal membangun kultur kesadaran anti-radikalisme dan terorisme. Sisi feminism perempuan dan sikap keibuannya ialah modal penting untuk membangun kesadaran publik ihwal pentingnya mencegah radikalisme dan terorisme sejak dini. Arkian, implementasi RAN PE ini merupakan tanggung jawab bersama antara pemerintah pusat, daerah dan stakeholder terkait. Maka, penting kiranya pemerintah terutama daerah untuk melibatkan perempuan secara langsung dalam pencegahan dan deteksi dini terorisme.

Facebook Comments