Indonesia Butuh Sosok Seperti Gus Dur dalam Merawat Solidaritas Kebangsaan!

Indonesia Butuh Sosok Seperti Gus Dur dalam Merawat Solidaritas Kebangsaan!

- in Narasi
1885
1
Indonesia Butuh Sosok Seperti Gus Dur dalam Merawat Solidaritas Kebangsaan!

Kasus sektarian di New Delhi, mengharuskan bangsa ini berguru pada KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) tentang merajut dan merawat solidaritas kebangsaan kita. Gus Dur tidak memandang seseorang berdasarkan sektariannya. Bagi Gus Dur itu, “Tidak penting apapun agama atau sukumu, kalo kamu bisa melakukan sesuatu yang baik untuk semua orang, orang tidak akan pernah tanya apa agamamu”. Begitulah kata Presiden ke-4 Gus Dur. Melalui kalimat tersebut, Gus Dur ingin mengingatkan kita semua, bahwa dalam kehidupan ini kebaikan tidak pernah memandang suku, ras, atau agama apapun. Jadi, Indonesia sangat membutuhkan sosok-sosok seperti Gus Dur yang sangat menghargai perbedaan.

Mengutip tulisan Gus Dur yang berjudul ‘Beri Jalan Orang Cina’ di Majalah Editor, 21 April 1990, Gus Dur menyatakan, “Kalau kita bisa menerima kehadiran orang Flores, Maluku dan Irian sebagai satuan etnis, padahal mereka bukan dari stok Melayu (karena stok mereka adalah Astromelanesia), maka secara jujur kita harus melakukan hal yang sama kepada stok Cina. Juga stok Arab. Mereka bukan orang luar, melainkan kita-kita juga”.

Ulasan Gus Dur dalam tulisan itu, begini: “Jadi orang Cina di negeri ini, di masa ini pula, memang serba salah. Walaupun sudah ganti nama, masih juga ditanyakan ‘nama asli’nya kalau mendaftarkan anak ke sekolah atau jika membuat paspor. Mungkin, karena memang nama yang digunakan terasa tidak pas bagi orang lain, seperti nama Nagaria. Biasanya naga menggambarkan kemarahan dan keganasan. Apakah si naga yang riang gembira ini tertawa-tawa? Hartadinata, terasa lucu, karena tidak klop antara kekayaan dan keanggunan jabatan, antara harta dan nata”.

Memang pada massa orde baru, orang-orang keturunan etnis China selalu mengalami diskriminasi. Apa-apa selalu disalahkan, mulai barang mahal sampai panen yang gagal. Bahkan soal nama, dulu orang-orang China dilarang menggunakan nama aslinya dan beralih menggunakan nama yang lebih Indonesia. Perlakuan ini tentu saja menyakitkan mereka. Padahal, orang-orang China dulu juga berjuang demi kemerdekaan bangsa ini.

Baca Juga : Membendung ‘Asabiyah, Meneguhkan Ukhwah

Presiden Gus Dur mampu mengubah stigma yang sudah melekat dengan masyarakat Tiongkok. Di eranya, orang-orang China pun seakan lepas dari kekangan. Mereka boleh menggunakan nama asli, beribadah di klenteng, bahkan Imlek pun dijadikan hari libur nasional. Makanya hingga hari ini orang-orang China sangat menghormati Gus Dur, bahkan Gus Dur sendiri sampai diberi julukan Bapak Tionghoa Indonesia.

Mewaspadai Konflik Sektarian

Konflik sektarian di ibukota New Delhi telah menumpahkan darah. Konflik bermula dari keputusan Presiden India Ram Nath Kovind untuk menyetujui RUU (Rancangan Undang-Undang) Kewarganegaraan (Amandemen) yang disahkan pada Kamis (14/12/2019) dan UU ini mulai berlaku sejak hari itu.

Isi UU baru ini menyatakan, anggota komunitas Hindu, Sikh, Buddha, Jain, Parsi, dan Kristen yang datang dari Pakistan, Bangladesh, dan Afghanistan hingga 31 Desember 2014 dan menjadi korban penganiayaan agama tidak akan diperlakukan sebagai imigran ilegal. Mereka akan diberi kewarganegaraan India. Mereka diberi kewarganegaraan India dengan minimal masa tinggal 5 tahun di India. Sebelumnya, di UU lama mencantumkan syarat 11 tahun.

UU baru ini mengusulkan untuk memberikan kekebalan kepada para pengungsi yang menghadapi kasus-kasus hukum kepada migran yang sebelumnya dianggap ilegal. Menurut undang-undang baru, hak kewarganegaraan ini tidak berlaku untuk daerah suku Assam, Meghalaya, Mizoram, dan Tripura. Hal diskriminasi sektarian inilah yang memicu konflik.

Terbukti negara-negara Timur Laut, terutama di Assam dan Tripura, telah menentang undang-undang tersebut dengan mengatakan akan membatalkan ketentuan Assam Accord tahun 1985, yang ditetapkan pada 24 Maret 1971, sebagai batas waktu untuk deportasi semua imigran ilegal terlepas dari agama.

Dilansir dari AFP, protes besar-besaran ribuan orang terhadap undang-undang tersebut berlangsung sejak Senin (9/12/2019) di negara-negara Timur Laut. Dua orang dilaporkan tewas dan lainnya mengalami luka-luka pada hari Kamis (12/12/2019) seusai bentrokan dengan polisi.

Aksi protes ini terpusat di beberapa kota, seperti Guwahati, Dibrugarh, Tezpur, Dhekiajuli, dan Shillong. Aparat pun memberlakukan jam malam untuk terus menjaga situasi agar kondusif. Sementara itu, ada 700 tokoh India, yang terdiri atas ahli hukum, akademisi, dan aktor, yang menandatangani pernyataan tegas menolak UU itu.

Kerusuhan yang mulanya hanya bentrok antara masyarakat dan aparat, melebar jadi bentrok sektarian. Kerusuhan tersebut berawal pada Minggu (23/2/2020) lalu dengan aksi-aksi protes terhadap UU kewarganegaraan yang dijuluki undang-undang “anti-muslim”, yang telah memicu protes nasional, khususnya kalangan muslim. Namun aksi protes itu kemudian berubah menjadi kerusuhan antara warga muslim dan Hindu pada Senin (24/2/2020) dan Selasa (25/2/2020). Kerusuhan diperparah dengan adanya para perusuh yang bersenjatakan pedang, batu dan bahkan senjata api.

Sebuah masjid jadi sasaran pembakaran dalam kerusuhan di ibukota India, New Delhi. Kerusuhan itu juga menelan 11 korban jiwa. Media setempat mengatakan, masjid tersebut berada di daerah Ashok Nagar, New Delhi. Segerombolan orang tampak berteriak di sekitar masjid saat kejadian. Video yang tersebar di media sosial juga menunjukkan massa naik ke puncak menara masjid. Toko-toko di daerah itu juga menjadi sasaran amukan massa.

Melalui video pembakaran rumah ibadah yang begitu cepat menyebar menjadi penyulut api konflik sektarian. Negara yang majemuk seperti Indonesia harus meminimalisir persingungan sektarian. Negera bisa bubar kalau perbedaan agama jadi masalah, perbedaan politik jadi masalah, perbedaan suku jadi masalah. Indonesia di zaman digital harus dewasa menyikapi informasi yang beredar terkait berita konflik. Informasi perlu dicari kebenarannya supaya tidak terjadi disinformasi. Lebih fatal lagi kalau pers membuat provokasi terkait isu-isu sektarian yang bisa memicu konflik berdarah. Gus Dur sangat peduli dengan kemanusian. Gus Dur tidak pernah risih dengan perbedaan-perbedaan, justru dengan perbedaan Gus Dur menghargai perbedaan sebagai sunnatullah. Jasa Gus Dur dalam merajut solidaritas kemanusian sangat besar, apalagi buat keutuhan NKRI. Gus Dur sebagai juru damai konflik dari Aceh sampai Papua. Bahkan, semua rakyat, termasuk rakyat Papua sangat mengenang jasa-jasa Gus Dur. Konflik sektarian di India jangan dibuat untuk provokasi atau panas-panasan antaragama, sejatinya kita sama-sama manusia, jangan saling menyakiti kalau tidak mau disakiti. Solidaritas kebangsaan harus kita rawat supaya NKRI tetap utuh dan damai.

Facebook Comments