India sedang disorot dunia lantaran beberapa waktu lalu, tepatnya di New Delhi, kelompok mayoritas Hindu ekstrem bentrok dengan minoritas Muslim, dimana kejadian ini telah merenggut setidaknya 30 nyawa orang Muslim. Dunia, terutama negara yang memiliki kepedulian besar terhadap Islam, seperti Turki, Indonesia dan lainnya, menyebut peristiwa di India itu sebagai genosida.
Konflik yang mencuat di India ditengarai sebagai akumulasi kekesalan umat Hindu India terhadap Muslim di India. Memang tidak semua umat Hindu di India berpandangan sama; yakni memusuhi Islam, tetapi semua itu hanya pandangan sebagian umat Hindu saja, meskipun jumlahnya di sana terbilang sebagai mayoritas.
Apa yang terjadi di India tersebut sebenarnya dapat dilihat sebagai kegagalan pemerintah setempat dan aktor agama untuk membangun relasi damai antara mayoritas dengan minoritas, antara kelompok satu dengan kelompok lainnya. Akibat kegagalan itu, pecah-lah aksi bentrokan yang brutal nan bar-bar tersebut.
Relasi atau pola hubungan mayoritas dengan minoritas, jika tidak dikelola dengan baik, pasti akan menimbulkan masalah yang akut; bermula dari gesekan, bentrokan, dan akan berkahir pada saling bunuh-membunuh. Oleh sebab itu, pola atau relasi hubungan mayoritas dan minoritas harus dicarikan formulasinya sedemikian rupa agar relasi tersebut tidak menimbulkan petaka bagi suatu negara, melainkan dapat menciptakan tenaga untuk menyongsong kemajuan, perdamaian dan kesejahteraan bersama.
Warisan Mahatma Gandhi
Padahal, penggede dan orang yang memiliki pengaruh besar terhadap India, sebut saja Mahatma Gandhi (1869-1948 M), telah memberikan warisan yang teramat mahal, bahkan tidak hanya untuk orang India, namun juga dunia, yang berupa pengetahuan akan nilai-nilai moral dan kemanusiaan yang dapat digunakan sebagai subuah standar dalam masyarakat atau bernegara. Iya. Warisan itu diantara diformulasikan dalam “tujuh dosa besar (sosial)”.
Baca Juga : Peace in India; Solidaritas dan Tunduknya Ego di Sosmed
Dari tujuh dosa tersebut, satu yang kini seolah dikhianati oleh orang, bahkan pemimpin India adalah politik tanpa adanya prinsip. Prinsip ini bisa diterjemahkan sebagai berpegang pada kebajikan dan keragaman.
Undang-undangCitizenship Amandement Bill (ACB)yang disahkan Perdana Menteri Narendra Modi dua bulan lalu menjadi pemantik kerusuhan yang berakhir menelan banyak korban di New Delhi itu dinilai sangat diskriminatif. Bagaimana tidak. Dalam UU tersebut, para imigran gelap asal Pakistan, Bangladesh dan Afghanistan akan mendapatkan “keistimewaan” karena bisa menjadi warganegara India. Lain halnya jika ia beragama Islam, maka ia tidak mendapatkan “keitimewaan” tersebut.
Produk UU ACB ini mencerminkan politik tanpa prinsip. Jumlah dijadikan tolok ukur dikotomi mayaritas-minoritas yang muaranya melahirkan legitimasi moral semu, yang syarat akan kepentingan segelintir orang dan melahirkan diskriminasi minoritas dan tirani mayoritas. Jelas sekali semua itu menjauh dari apa yang pernah mendiang Mahatma Gandhi ajarkan.
Membina Relasi Damai
India, sejak 26 januari 1950 memproklamirkan diri sebagai negara republik dengan bentuk negara uni federal, dimana pembagian kekuasaan berdasarkan sistem demokrasi parlementer.
Sistem demokrasi sesungguhnya menjamin kebebasan individu dan menghargai individu atau kelompok tidak berdasarkan agama, suku, golongan, kepercayaan dan etnis, namun menghargai sebagai konteks hak-hak dan kemanusiaan. Meskipun demikian, sistem ini nyatanya belum ampuh meredam gejolak yang terjadi, terutama hubungan antara minoritas dengan mayoritas.
Dalam konteks ini, bagaimana memadukan antara kepentingan mayoritas dan melindungi hak-hak minoritas? Jawaban atas pertanyaan ini penting agar bisa menjadi acuan bersama bagaimana, meminjam istilah Jon Elster (1993:175-216), sebagai membangun keseimbangan antara majority rule dan individual right.
Pertama, produk kebijakan pemerintah atau negara harus berlandaskan pada perlindungan minoritas. Sebagai negeri yang menganut sistem demokrasi, sudah selayaknya India menelurkan dan mengeluarkan produk-produk hukum yang dapat mengakomodasi kepentingan bersama dan melindungi minoritas.
Kedua, peran tokoh agama dan masyarakat. Tokoh adalah mereka yang memiliki umat atau pengikut. Dan pengikut inilah yang mempercayai, bahkan terkadang kepercayaannya melebihi kepercayaan terhadap ‘tuhan’, turut serta mendidik umatnya.
Ketegangan antara mayoritas dan minoritas sesungguhnya lebih banyak disebabkan oleh orientasi masyarakat dalam menyikap perbedaan. Artinya, perbedaan masih dianggap sebagai sesuatu yang menakutkan dan perbedaan itu tidak bisa disikapi dengan hati yang dingin.
Ketiga, menekan penguatan identitas agama. Tren menguatnya identitas agama memang terlihat dari berbagai tempat di belahan dunia ini, tidak hanya di India, namun juga di negara seperi AS dan lainnya.
Potensi fenomena menguatnya identitas agama terhadap konflik sangat tinggi dikerenakan semua itu akan melahirkan fanatisme. Untuk itu, perlu ditekan sedemikian rupa identitas agama di ruang publik. Sebagai gantinya, solidaritas atau persaudaran-lah yang harus ditonjolkan di ranah publik. Inilah pra-syarat yang harus dipenuhi dan dijalani secara konsisten oleh negara, terutama negara yang komposisinya beragam, yang hendak menjalin relasi damai antara mayoritas dan minoritas.