Label agama selalu muncul dalam lingkaran setan radikalisme dan terorisme. Baik sebagai legitimasi pelaku radikalisme maupun stigmaisasi dalam proses deradikalisasi. Keduanya sama-sama terperangkap dalam jebakan. Agama sendiri jelas tidak dalam posisi menjebak. Hanya kedua kutub itulah yang gagal paham dan salah tafsir dalam memposisikan dan memahami nilai-nilai agama.
Kesalahan bukan pada ajaran agama, namun manusianya. Revitalisasi pemahaman keagamaan perlu ditingkatkan. Bias agama dalam deradikalisasi juga perlu dihilangkan. Keduanya sama-sama membutuhkan pendekatan agama secara jernih dan kontekstual.
Posisi Agama
Tidak ada agama yang mengajarkan kekerasan dalam membangun peradaban. Ayat-ayat perang dalam Islam merupakan catatan historiografi yang penting diambil hikmahnya dalam kondisi kekinian. Fikih perang pun memiliki prasyarat sangat berat dan kondisi kekinian yang damai jauh dari legitimasi melakukannya.
Perdamaian adalah asas dari ajaran Islam. Rasulullah SAW mengajarkan para sahabatnya agar tidak mengandai-andaikan peperangan dan permusuhan. Beliau mengajarkan agar para sahabatnya memohon perdamaian dan keselataman. Sebagaimana sabdanya, “Janganlah kalian mengharapkan bertemu dengan musuh (perang), tapi mintalah kepada Allah keselamatan. Dan bila kalian telah berjumpa dengan musuh, bersabarlah.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Perang benar-benar menjadi jalan terakhir ketika tidak ada pilihan dan terancam kondisinya. Imam al-Qurthubi menjelaskan terkait ayat-ayat pernag bahwa asas dari agama Islam adalah kedamaian dan menempuh jalan-jalan untuk damai. Setelah perintah perang turun, nilai-nilai mulia tetap diperhatikan. Normanya harus tetap dijunjung yaitu tidak boleh melampaui batas, karena Allah benci orang-orang yang melampaui batas. Allah juga tidak menyukai permusuhan, walaupun terhadap non muslim.
Baca juga :Radikalisme, Agenda Politik, dan Pembajakan Agama
Deradikalisasi juga mesti dilakukan secara professional. Stigma dan labeling terorisme dan radikalisme hanya untuk pelaku muslim harus segera diluruskan. Selain jauh dari fakta dan mencederai hati muslim mayoritas yang cinta damai, hal ini juga justru membangkitkan terus perilaku dan munculnya regenerasi kaum radikal. Deradikalisasi justru sebaliknya menggunakan pendekatan keagamaan secara komprehensif guna mencegah sekaligus mengendus jaringan terorisme. Tujuannya adalah bagaimana sebisa mungkin dapat dilakukan normalisasi kepada penganut dan pelaku radikalisme. Pertaubatan merekan dan kembalinya menjadi muslim yang normal merupakan senjata ampuh dalam mengurangi dan memangkas kasus terorisme di masa mendatang.
Melawan Jebakan
Agama adalah suci dan mulia. Kedua praktik di atas telah menodainya. Dengan demikian perlu upaya serius guna memposisikan agama sebagaimana mestinya. Agama tentu akan tetap suci dna mulia dan tidak terpengaruh tingkah laku manusia dalam menempatkannya. Poin utamanya adalah membangun kembali kesadaran dalam beragama dan memposisikannya.
Akar radikalisme akan tercerabut jika penganut pahamnya sadar dan taubat atas pemahamannya selama ini. Tanpa pendekatan sistematis, hal itu tentu mustahil adanya. Pemahaman keagamaan mereka bisa jadi hanya parsial. Untuk itu mendekati mereka dengan nasihat dan debat menggunakan ulama yang ilmunya di atas mereka menjadi penting guna mematahkan argumentasi radikalnya. Mantan pelaku dapat dijadikan pintu masuk guna berinteraksi dan diterima kelompok ini. Hanya dengan meluruskan kembali pemahaman agama, mereka dapat keluar dari jebakan pemahaman sempit dan menyimpang dari nilai agama.
Aparat juga harus keluar dari jebakan menempatkan agama khususnya Islam dalam setiap labeling terorisme. Penonjolan identitas keagamaan pada pelaku terorisme justru dapat mengundang simpati dari muslim lain yang berperilaku damai. Media juga mesti memahami dan turut memberikan keseimbangan informasi dan mengutamakan substansinya. Hal-hal yang tidak relevan dan kontra produktif misalnya menonjolkan ciri keagamaan ketika terjadi penangkapan, missal ditemukan mushaf Al-Quran, rajin ke masjid dan lainnya.
Agama apapun dan semua pengikutnya sepakat guna memerangi tindak terorisme dan radikalisme. Pemberantasan dengan pendekatan keras menjadi pilihan terakhir. Sebelumnya penting upaya pencegahan dan normalisasi bagi pelaku dan pengikutnya. Radikalisme harus ditelisik hingga akar dan mulai hulunya. Tanpa itu, paham ini justru akan terus menyubur seiring dengan pemberantasan yang dilakukan.
Indonesia mesti menjadi contoh yang memberantas radikalisme dengan pendekatan agama sebagaimana digunakan pelakunya. Terorisme sebagian menjadi jaringan internasional. Sukses di Indonesia akan rentan muncul kembali, jika secara internasional tetap berkembang. Indonesia mesti lepas dari kepentingan geopolitik global. Pemberantasan murni karena perlawanan atas terorisme yang tidak berperikemanusiaan. Keteladanan mesti ditularkan secara global agar optimal memberantas terorisme secara internasional.