Banalitas Kejahatan, Eichmann dan Para Pembajak Agama

Banalitas Kejahatan, Eichmann dan Para Pembajak Agama

- in Narasi
563
2
Ilustrasi

Pelaku terorisme sering diidentikkan berwajah garang, berperilaku jahat, mata melotot, muka sangar, datang dari keluarga yang buruk, dan tidak berpendidikan sama sekali. Anggapan itu bertolak belakang dengan kenyataan. Banyak pelaku terorisme dan para pembajak agama itu justru berwajah cerah, berperilaku lembut, baik di masyarakat, dan berlatar belakang pendidikan tinggi.

Para pembajak agama itu bukan datang dari para preman pasar, penjahat, kriminal, atau sampah di masyarakat. Justru yang sering melakukan pembajakan agama itu datang dari sosok tokoh yang diikuti di masyarakat, pemuka agama dengan wajah yang manis, idola anak-anak millennial.

Anggapan bahwa para pelaku terorisme dan pembajak agama datang dari latar belakang yang jahat dibantah oleh Hannah Arendt (2906-1975), seorang filsuf politik kenamaan berkebangsaan Jerman. Arendt sendiri adalah korban otoritarian rezim fasis Hitler.

Menurut Arendt mengapa seseorang bisa jadi jahat, salah satu argumen yang ia sodorkan adalah soal banalitas kejahatan. Banalitas kejahatan adalah situasi di mana kejahatan dirasa bukan lagi sebuah kejahatan melainkan sudah menjadi hal-hal yang biasa saja dan menjadi sesuatu yang wajar.

Kasus Eichmann

Argumen ini disimpulkan oleh Arendt ketika mengikuti sidang Adolf Eichmann. Eichmann adalah birokrat rezim fasisme Jerman yang bertanggungjawab mengangkut orang-orang Yahudi ke kamp konsentrasi untuk dimusnahkan.

Sebelum diadili di Israel, anggapan para hakim juga masyarakat, sosok Eichmann ini adalah sosok yang jahat, biadab, sangar, buruk rupa, berhati kejam, dan tidak tahu soal kemanusiaan. Ternyata ketika dimajukan ke sidang, anggapan itu salah besar. Eichmann berwajah ceria, manis, berperilaku baik, dan datang dari keluarga baik-baik. Para hakim kaget dan masyarakat terheran-heran. Mengapa sosok seperti itu bisa jadi sangat beringas dalam membunuh manusia?

Baca juga :Membongkar Sesat Pikir Para Pembajak Agama

Teka-teki itulah yang dijawab oleh Arendt dalam laporannya Eichmann in Jerusalem: A Report on teh Banality of Evil (1963). Arendt menyatakan bahwa banyak para pelaku kejahatan sejatinya bukan berasal dari orang jahat atau keluarga yang buruk. Seseorang menjadi jahat menurut Arendt, tidak lepas dari dua faktor, yakni lingkungan yang sistemik dan kurangnya imajinasi.

Pertama, lingkungan yang sistemik membangun cara berpikir, bertindak, dan berperilaku seseorang. Ketika tumbuh di lingkungan yang biadab, maka seseorang yang baik pun dengan tidak sadar bahwa apa yang ia lakukan sebenarnya adalah suatu tindak kejahatan.

Eichmann adalah sosok yang baik. Menurut laporan Arendt, ia seorang perwira yang patuh, disiplin, tidak pernah berkhianat, atau membunuh orang lain demi kepuasan dirinya. Tetapi mengapa ia bisa jatuh dalam tindak kejahatan brutal? Lingkungan sistemik adalah salah satunya.

Faktor kedua, kurangnya imajinasi. Meski hidup dalam lingkungan yang biadab, ternyata Eichmann tidak memfungsikan imajinasinya, bahwa apa yang ia lakukan sejatinya adalah suatu tindak kejahatan besar. Perbuatannya melanggar kemanusiaan. Membunuh dan memusnahkan manusia adalah dosa besar. Ternyata Eichmann tidak berpikir dan tidak mengaktifkan imajinasinya.

Membedah Para Pembajak Agama

Apakah kedua poin ini bisa dijadikan pisau bedah analisis dalam menjelaskan para pelaku pembajak agama? Jawaban, tentu sangat bisa. Kedua poin ini bisa digunakan mengapa banyak individu yang pada awalnya adalah orang baik, dianggap masyakat sebagai orang baik, santun, berwajah ramah, tetapi dengan tanpa merasa bersalah dan berdosa mau membunuh, meneror, melakukan pengeboman, menyebar hoax, dan ujaran kebencian.

Kontradiksi ini bisa dijelaskan, meskipun pada awalnya kaum radikal itu berasal dari keluarga baik-baik, berpendidikan baik, dan berwajah baik pula, akan tetapi karena masuk ke dalam lingkungan sistemik, ia bisa jadi menjadi brutal, sangar, biadab, mau membunuh dan menyebar ketakutan.

Lingkungan sistemik ini bisa jadi pengajian, majelis ilmu, ustaz yang ia ikuti, organisasi, media sosial, dan seterusnya, Khusus media sosial, banyak orang kalem di dunia nyata, tetapi sangat kasar dan beringas di dunia maya. Lingkungan, materi pengajian, pertemanan, dan organisasi seseorang bisa merubah semuanya.

Sebab masuk dalam lingkaran yang suka menyebar hoax, maka hoax bukan lagi dosa. Sebab ikut dalam arena pengajian yang provokatif dan suka menyebar ujaran kebencian, seseorang tidak menganggap bahwa ujaran kebencian itu adalah biadab.

Para kaum radikalis dan teroris hidup dalam lingkungan yang saperti ini, Akibatnya, membunuh dan menghilangkan nyawa orang dianggap suatu kewajaran dan biasa-biasa saja,

Sebab tinggal dalam lingkaran yang sistemik, para pembajak agama, kaum radikalis dan teroris tidak bisa lagi mengaktifkan imajinasi. Mereka berkeyakinan membunuh itu bukan dosa, menyebar ketakutan itu bukan biadab, menyebar hoax dan ujaran kebencian bukan tindakan kriminal. Imajinasi tidak jalan, maka tidakan brutal menjadi sesuatu yang sah-sah saja.

Persis inilah yang kurang dari para pelaku teror itu. Mereka tak mampu berpikir kritis, bahwa apa yang ia lakukan adalah salah. Mereka tak bisa berpikir rasional, bahwa efek dari perbuatannya akan merugikan banyak orang. Mereka tak bisa berpikir jernih, bahwa tindakan yang ia laksanakan sangat fatal akibatnya dalam hubungan berbangsa dan bernegara. Ketiadaan imajinasi sama dengan ketiadaan sikap kritis, rasional, dan berpikir jernih.

Facebook Comments