Radikalisme, Agenda Politik, dan Pembajakan Agama

Radikalisme, Agenda Politik, dan Pembajakan Agama

- in Narasi
515
1
Ilustrasi

Islam sesungguhnya memilki banyak aspek, wajah, dan warna. Islam adalah agama yang luas, mencakup semua lini tata kehidupan, baik bersifat horizontal maupun vertikal. Dalam bahasa yang sederhana: Islam satu dalam keragamannya, beragama dalam kesatuannya.

Akan tetapi, di tangan kaum radikal Islam jadi sempit. Islam hanya dibatasi dalam dua aspek, yakni din wa siyasah, agama dan politik saja. Bagi mereka, politik itu bagian integral dari agama. Sebagai konsekuensinya, khilafah adalah sistem politik yang wajib diterapkan, sebab ia adalah bagian dari rukun Islam.

Mereduksi Islam hanya pada dua kotak, agama dan politik, sejatinya adalah pembajakan. Islam tak terbatas di situ, Islam mencakup doktrin, hukum, moralitas, estetika, seni, kebudayaan, cinta, kasih sayang, humor, spiritualitas dan sederet aspek lainnya. Islam selalu memiliki wajah yang beragama, kita bisa masuk dari wajah mana saja, dan tak perlu dibatasi hanya dalam aspek politik saja.

Agenda Politik

Politik dalam pengertian kekuasaan praktis sangat kental pada Islam radikal, Mulai dari Ikhwanul Muslimin (IM), Hizbut Tahrir (HT), Al-Qaedah, sampai dengan ISIS, Taliban dan sederet nama lainnya di Indonesia tak lepas dari agenda politik.

Agenda politik itu adalah menerapkan syariah Islamiyah sebagai acuan dalam negara. Konstitusi, peraturan perundang-undangan, sistem pendidikan, perekonomian, tata-kelola negara dan sistem sosial-kemasyarakatan mau diatur dengan syariah. Anehnya, syariah yang dimaksud adalah syariah –meminjam istilah Abdullahi Ahmed An-Naim –sangat diskriminatif, terutama terhadap perempuan, budak, dan non-muslim.

Baca juga :Jebakan “Agama” dalam Lingkaran Radikalisme

Pembajakan Islam seolah-olah hanya urusan politik saja harus dilawan. Islam yang berwarna dan mengakomodir keberagaman harus dikamapanyekan. Islam sejatinya agama yang selalu kontekstual, inklusif, akomodatif, dan dinamis. Islam tak melulu soal politik kekuasaan.

Pereduksian Islam dalam sejarahnya ternyata tidak berhasil dan banyak penolakan dari masyarakat. Ikwanul Muslimin umpamanya. Pada awalnya IM adalah gerakan politik yang menjadikan Islam sebagai landasan untuk mengubah Mesir. Ternyata apa yang terjadi? Mereka gagal. Sekali lagi gagal.

Hal yang sama juga dengan Hizbut Tahrir pada awalnya partai politik yang ingin mengubah wajah Palestina, ternyata mereka gagal juga. Taliban juga mengalami hal yang sama, Afganistan semakin suram, tak ada kedamaian, pengeboman hal yang lumrah. Mereka gagal total. Bahkan sebagian pengamat mengatakan, negara itu bisa jadi menjadi negara gagal.

IM gagal di Mesir, HT gagal di Palestina dan ditolak di berbagai negara, Taliban dan Al-Qaedah juga gagal di Afganistan, ISIS tumbang dan tak berhasil menggapai cita-cita mereka. Jika semua kelompok yang mereduksi dan membajak agama gagal, apakah kita Indonesia menerima produk gagal? Tentu jawabannya tidak.

Islam: din wa ni’mah

Para ulama negeri ini sedari awal sudah menyadari, bahwa Islam bukan hanya agama dan politik saja, melainkan Islam adalah agama sekaligus nikmat (din wa ni’mah). Persis inilah paradigma keislaman para kyai dan pendiri bangsa ini.

Paradigma ini sesuai dengan QS Al-Maidah (5): 3 berbunyi “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agama bagimu.” Redaksi ayat ini menyatakan, Islam itu adalah agama sekaligus nikmat.

Sebagai nikmat maka tugas kita adalah menjadikan Islam ini sebagai nikmat bagi kita, keluarga, dan ummat manusia secara keseluruhan, Islam adalah agama yang memberikan kedamaian, ketenangan, dan kenyamanan laiknya sebuah nikmat.

Islam bukanlah agama yang ambisius dengan kekuasaan-pragmatis, Islam selalu mengedepankan rasa kegembiraan pada pemeluknya, Persis inilah yang seharusnya dijadikan pegangan oleh setiap insan.

Pereduksian Islam hanya dalam batasan politik saja sering membawa malapetaka. Bukan rahasia umum lagi demi meraih kekuasaan politik sering digunakan dengan cara-cara kekerasan. Akibatnya kekerasan dan main hakim sendiri selalu diidentikkan dengan kaum radikal.

Demi tujuan politik, kekerasan adalah absah. Demi kekuasaan, terror dan pembunuhan lawan adalah legal. Demi tercapainya cita-cita gerakan, pengeboman, hoax, dan ujaran kebencian dinilai sebagai hal yang wajar.

Jika sudah demikian citra Islam sebagai agama sekaligus nikmat bagi kamu (manusia) tak tampak lagi. Untuk itu paradigma Islam radikal yang mereduksi Islam hanya sebatas politik saja harus dilawan dengan paradigma: Islam adalah agama sekaligus nikmat. Nikmat selalu membuat manusia rasa bahagia, gembira, damai, aman, dan sejahtera.

Facebook Comments