Pelibatan wanita dalam kegiatan teroris adalah hal yang sangat meresahkan. Semakin hari, jumlahnya pun terus bertambah. Wanita tidak hanya dimanfaatkan di balik layar gerakan radikal, pada beberapa kasus bahkan wanita sendiri yang didorong untuk menjadi “pengantin”. Kita beruntung, Indonesia belum pernah mengalami kejadian wanita yang langsung melakukan aksi terorisme dan menimbulkan korban jiwa.
Kasus DYN, wanita yang akan melakukan bom bunuh diri, bisa terendus aparat dan berhasil digagalkan. Meskipun begitu, kewaspadaan tingkat tinggi harus dilakukan. Sebab kelompok teroris akan selalu mencari cara agar bisa menyebarkan ketakutan di masyarakat. Bukan tidak mungkin beragam aksi tidak terduga, seperti kasus terakhir berupa penyerangan di Mapolres Banyumas (11/4), kembali terjadi. Dan akan dilakukan oleh kaum wanita.
Katharina Von Knop, dalam The Female Jihad: Al Qaeda’s Women, mengatakan kaum wanita juga mengikuti interpretasi spesifik berdasarkan gender dari ideologi radikal. Konsep “jihadis wanita” adalah kaum hawa yang melakukan tindakan politik dengan cara mendukung saudara laki-laki mereka, mendidik anak-anak dalam ideologi, dan memfasilitasi operasi teroris. Jadi jihadis wanita memiliki interpretasi yang berbeda dengan konsep jihad kaum lelaki.
Dalam kelompok teroris, jihadis wanita ini penting untuk kelangsungan organisasi. Jika kaum pria bisa ditangkap, diserang, dan ditembak, maka wanita dapat terus berjihad dengan cara mengurus masalah keuangan organisasi dan mendidik anak-anaknya dalam paham yang dianggapnya benar.
Penjelasan Katharina Von Knop ini menggambarkan bahwa luas sekali area yang bisa dimasuki oleh para jihadis wanita. Mereka bisa ditaruh pada beragam posisi. Tetapi yang paling mengkhawatirkan adalah saat jihadis wanita mulai mendidik anak-anaknya dengan ajaran radikal. Anak-anak ini ibarat bom waktu yang suatu saat siap diledakan. Terlebih jihadis wanita biasanya sangat tertutup dalam berinteraksi. Rumah tangga mereka memang disetting untuk menjadi tempat pengkaderan kombatan selanjutnya. Sehingga makin menyulitkan masyarakat untuk mengontrolnya.
Jihadis wanita merupakan bukti kesalahan tafsir sekaligus kekurangpahaman mereka atas agama. Jika mereka paham, tentu tidak akan melakukan tindakan yang bertentangan dengan agama dan kemanusiaan. Selain itu, sebenarnya banyak sekali ladang jihad yang disa dilakukan oleh kaum wanita (jihad dalam arti sebenarnya yang positif). Jihad berupa mengerahkan semua kemampuan untuk mencapai tujuan baik. Kita tentu mengenal nama Malala Yousafzai. Dia adalah remaja wanita berusia 16 tahun yang ditembak oleh anggota Taliban pada 9 Oktober 2012. Meskipun kepala dan lehernya terkena peluru, nyawa Malala masih bisa diselamatkan. Dia menjadi korban kekejian Taliban akibat memperjuangkan pendidikan anak wanita di Lembah Swat, Pakistan. Akibat jihad pendidikan ini dan keberaniannya, Malala mendapatkan penghargaan Nobel untuk Perdamaian. Pelajaran apa yang bisa diambil dari kisah ini? Bahwa luas sekali ladang kebaikan yang bisa dilakukan oleh kaum wanita sesuai dengan fitrahnya. Kebaikan yang sebenarnya, bukan kekerasan yang dibungkus oleh kebaikan (seperti yang dilakukan kelompok teroris).
Untuk mengatasi hal ini, perlu dilakukan langkah agar fenomena jihadis tidak semakin menyebar. Ada argumentasi menarik dari Katharina Kneip perihal bergabungnya wanita barat dalam kelompok ISIS. Dalam tulisan Female Jihad-Women in the ISIS, dia mengatakan peristiwa ini merupakan bentuk emansipasi wanita. Berdasarkan sampel yang dia dapatkan, beberapa faktor penariknya adalah. Pertama, ada kebanggaan saat berangkat ke Suriah dan mengambil alih kontrol atas hidupnya. Dengan melakukan hal ini, maka dia terbebas dari kungkungan orang tuanya, mencabut diri dari tradisi, dan membebaskan dirinya dari kontrol negara barat. Kedua, wanita ini akan mendapatkan kekuatan dan kontrol atas suami ataupun keluarganya. Ketiga, mendapatkan penghormatan dari komunitasnya sebagai pelaku jihad wanita.
Maka untuk mencegah agar tidak lagi muncul jihadis wanita yang melakukan teror, ada beberapa langkah yang perlu ditempuh. Pertama, harus ada kontrol dari orang terdekat atas tindak tanduk yang dilakukan seorang wanita. Misalnya orang tua harus sering berkomunikasi dengan anak wanitanya. Tidak hanya komunikasi jarak jauh, melainkan tatap muka untuk mengetahui apakah ada perubahan drastis atau tidak.
Kedua, jika terasa ada perubahan radikal (misalnya setelah menikah menjadi tertutup dan membenci orang yang tidak sepaham), maka perlu terus-menerus dinasehati agar kembali kepada kehidupan yang normal. Jika akhirnya aktivitasnya makin membahayakan, bisa segera dilaporkan kepada aparat yang berwajib. Tentu saja, hal paling mendasar yang bisa mengatasi munculnya jihadis wanita adalah wanita itu sendiri. Jadi wanita harus makin cerdas dan kritis untuk melihat mana ajaran yang benar dan mana ajaran yang salah.