Perempuan menjadi aktor penting dibalik maraknya radikalisme. Perempuan bisa menjadi korban, karena banyak laki-laki yang ikut jaringan teroris kemudian meninggalkan keluarga. Perempuan akhirnya harus menanggung keluarga sendiri, menjadi ibu rumah tangga sekaligus kepala keluarga. Isri para korban bom bunuh diri termasuk kategori ini, karena mereka menanggung beban berat setelah ditinggalkan suaminya.
Selain itu, perempuan juga menjadi aktor di balik gerakan radikalisme. Mereka terlibat menjadi agen, bahkan tidak sedikit yang menjadi aktor utama. Perempuan mudah dicuci otaknya, apalagi diiming-imingi berbagai kemewahan. Walaupun tidak banyak yang terlibat menjadi aktor, tetapi perempuan sangat penting perannya dalam merancang beragam terorisme yang makin ganas.
Menurut Prof Amany Lubis (2015), salah satu faktor yang menyebabkan perempuan menjadi korban radikalisme yaitu kurangnya pemahaman dan pengetahuan tentang ajaran Islam yang baik dan benar. Dengan ilmu Islam yang kurang maka perempuan akan mudah dirayu atau di cuci otaknya untuk bergabung dengan kelompok radikalisme. Khusunya untuk dijadikan istri dari pelaku tindakan ekstrimisme.
Faktor lain yang menyebabkan perempuan rentan menjadi korban radikalisme yaitu kurangnyabargaining positionyang dimiliki perempuan. Perempuan tidak bisa melakukan penolakan jika ada pihak yang mengajak menikah khususnya dengan yang memiliki gelar kegamaan seperti ustaz, ataupun syekh. Selain itu perempuan juga tidak memiliki daya tolak karena suami atau saudaranya sudah bergabung menjadi bagian kelompok radikalisme. Sehingga mau tidak mau perempuan akan ikut menjadi bagian dari kelompok tersebut. Hal ini biasanya disertai dengan ketidakberdayaan perempuan dari faktor ekonomi.
Data dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) akhir tahun 2016 mengabarkan bahwa kekerasan yang dialami perempuan yang memburuk selama konflik dan krisis kemanusiaan, punya konsekuensi dramatis pada kesehatan fisik dan mental para perempuan yang menjadi korban. Data WHO ini menjadi bukti nyata bahwa perempuan masih menjadi korban yang mengerikan, dalam berbagai levelnya.
Perempuan, Pemangku “Local Genius”
Berbagai tantangan radikalisme ini harus direspin dengan penuh strategi oleh perempuan. Salah satu yang bisa dilakukan adalah meneguhkan jati diri perempuan sebagai pemangku kearifan lokal. Karena kearifan lokal sangat melekat kuat dalam diri perempuan. Jejak kearifan lokal bangsa ini banyak sekali yang identik dengan kebesaran dan peran besar perjuangan kaum perempuan.
Umi Lasminah (2013) melihat bahwa di Jawa, komunitas Turangga Seta menempatkan posisi istimewa kepada tiga Maharatu yang memiliki kekuasaan hingga ke mancanegara pada masa lalu, yaitu Maharatu Shimawan dari Medangkamulyan yang menguasai hingga ke Jepang dan Rusia, Maharatu Sitawaka dari Matswapati (dikenal dengan Sri-Wijaya karena titisan Dewi Sri dan Maharatu Tribuwana (Brawijaya III) Tunggadewi kerajaan Majapahit dan lain-lain.
Nama-nama pemimpin perempuan tersebut hanya cuplikan dari data tersebar mengenai sejarah kepemimpinan perempuan di masa lalu. Mereka merupakan leluhur perempuan yang juga mewariskan nilai kearifan lokal. Warisan dan kisahnya yang masih dapat terus digali. Pada prakteknya kini pun, perempuan adalah pemangku berbagai kearifan lokal dan dapat berperan besar dalam revitalisasi khususnya dalam kehidupan keseharian manusia Indonesia.
Dari peran kesejarahan ini mengindikasikan bahwa perempuan mempunyai jejak sejarah besar dalam peradaban Nusantara. Perempuan mampu menjadi ratu, pimpinan adat, atau tetua suku. Perempuan menjadi aktor utama hadirnya peradaban yang damai dan beradab. Dengan jejak “local genius” yang dimilikinya, perempuan dan gerakan pemberdayaan perempuan seharusnya mampu melakukan strategi politik “local genius”. Gerakan sangat strategis, karena melibatkan unsur sangat penting dalam budaya. Gerakannya bukan lagi di permukaan, melainkan pada dimensi sangat mendasar, akar persoalan yang selama ini dikaburkan.
Mengemas “local genius” sebagai strategi politik tentu saja perempuan harus mampu melihat tradisi leluhur bangsa ini, dimana “local genius” mampu dijadikan alat komunikasi politik, sebagai tercermin dalam budaya kolektif, gotong royong dan toleransi. Apabila kearifan lokal itu benar-benar mewarnai komunikasi politik, Rosidi (2011) melihat sangat terbuka bagi pelaku komunikasi politik untuk bekerja dan bertindak sebaik-baiknya.
Menjadi Aktor Perdamaian
Perempuan akan mampu mendahulukan kepentingan umum, bukan hanya kepentingan laki-laki saja. Kearifan lokal bisa menjadi landasan para perempuan untuk melakukan action politik dan menuntun para politisi bertindak arif, karena yang dilakukan tidak semata-mata action dan hasil, tapi prosesnya yang menggunakan aturan yang disepakati, baku, dan syarat dengan nilai etika.
Di sini, perempuan adalah aktor perdamaian. Damai dari pikiran, dan kemudian damai dalam tindakan. Sebagai aktor perdamaian, maka strategi politik “local genius” ini sangat efektif untuk menjadikan perempuan sebagai arus gerakan utama dalam menumpas radikalisme dan terorisme. Perempuan harus bergerak cepat, baik di parlemen, birokrasi pemerintahan, dan struktur pendidikan. Semua saling menguatkan, sehingga peran perempuan sangat dinantikan untuk hadirnya peradaban yang damai dan menyejukkan.