Sebuah penelitian menemukan bahwa 30 persen anak-anak negara-bangsa Indonesia kini sudah terasuki paham radikalisme-ekstrimisme, baik tingkat sekolah menengah atas (SMA) maupun perguruan tinggi. (Kompas, 4/09) Data tersebut tentu sangat merisaukan kita, sebagai warga negara yang mendambakan hidup damai sekalipun berbeda latar belakang. Juga, merupakan alarm bagi segenap masyarakat, bahwa jika tidak ditangani dengan serius, maka akan berakibat fatal. Anak-anak SMA ataupun perguruan tinggi yang notabene tengah mencari jati diri dan memiliki semangat yang tinggi, jika telah terbuai dengan paham radikalisme, mereka akan rela hati mengoyak-koyak perdamaian, demi mempertahankan kebenaran yang mereka yakini.
Bisa dibayangkan, seorang remaja yang memiliki paham radikal. Ia yang awalnya supel, boleh jadi mendadak menutup diri lalu dengan serampangan memvonis kelompok atau individu di luar mereka sesat. Penjelasan semenarik apapun mengenai ‘keunggulan persatuan di atas pemaksaan kebenaran’ tentu dengan mudah dimentahkan dan dimuntahkan. Bagi pribadi radikal, hanya keyakinannyalah yang dibenarkan, yang lain bengkok dan butuh diluruskan –dan jika melaksanakannya, akan mendapat ganjaran dan surga.
Bukti konkrit atas kerugian kolektif yang diakibatkan pribadi radikal terserak dalam lembaran sejarah bangsa. Kasus-kasus intoleran yang menyebabkan komunitas lain –yang keselamatan dan keamanan dalam beribadah dilindungi undang-undang- terusik bahkan tersiksa. Bukankah ini bukan ciri khas bangsa Indonesia, yang sangat menjunjung nilai-nilai perdamaian –dengan kearifan lokalnya berupa gotong royong? Dengan begitu, kasus-kasus kekerasan atas nama apapun, yang lahir dari paham radikalisme, perlu dijadikan sebagai pelajaran, sehingga di kemudian hari tidak terulang lagi.
Maka dari itu, penting kiranya disadari, bahwa di samping identitas keagamaan, yang menyatukan kita adalah identitas kebangsaan. Apapun agama dan latar belakang kita, dalam konteks kebangsaan hanyalah satu; warga negara Indonesia. Yang membedakan satu dengan lainnya adalah kontribusi terhadap negara-bangsa dan masyarakatnya. Kenyataan inilah yang mesti kita kenalkan kepada anak-anak usia dini, agar ketika menginjak remaja dan dewasa, mereka tidak terpengaruh dengan paham radikalisme. Bahwa Indonesia adalah negara besar, yang karena keanekaragamannyalah –dan bisa mengelolanya menjadi warna yang indah- ia dikagumi dunia internasional. Menjadi negara percontohan oleh beberapa negara, dalam hal mengelola masyarakat Islam yang damai, tanpa gesekan pemahaman yang berujung perang.
Kenalkan Pancasila pada Anak Usia Dini
Manusia hidup mestinya semakin mendewasa. Baik dari aspek psikis, sosial, maupun kedewasaan pikirnya, mesti berkembang seiring hembusan napas tiap detiknya. Begitu juga dalam menjaga kedamaian dan kesatuan Indonesia yang susah payah dibangun, tentu diperlukan kedewasaan sikap dan pikir, supaya tidak menjadi pribadi egosi yang abai terhadap sesama.
Dalam mendewasakan pikir, tentu membutuhkan waktu yang lama. Karena itu, akan lebih efektif jika upaya untuk mendewasakan pikir (dan juga perilaku) dilakukan semenjak dini. Generasi muda yang masuk ke dalam kategori anak-anak, lebih mudah menyerap informasi yang ditransfer oleh lingkungan. Dengan begitu, mereka akan tumbuh menjadi pribadi cinta damai, dan tak gentar melawan oknum atau ideologi yang berbau ekstrimis-radikalis-fundamentalis.
Adapun langkah yang bisa kita lakukan adalah mengenalkan Pancasila kepada anak semenjak dini. Bahwa perkembangan saat ini, banyak manusia Indonesia yang menganggap Pancasila sebagai toghut, yang jika diikuti akan mengancam akidah seseorang. Hal inilah yang perlu diluruskan oleh kita semua, terutama yang memiliki anak ataupun anak didik, agar mereka tidak menyerap informasi yang keliru mengenai Pancasila.
Jelaskan kepada anak bahwa Pancasila adalah pondasi berdirinya negara-bangsa Indonesia. Tanpa Pancasila, tidak ada Indonesia. Indonesia berdiri kokoh karena dilandasi Pancasila. Nilai-nilai yang terkandung di dalamnya pun amat meneduhkan dan menyejukkan, dan hanya orang-orang yang dengki saja yang menganggap Pancasila memuat ajaran yang sesat –karena nyatanya justru amat sesuai dengan nilai universal yang diperjuangkan agama-agama.
Anak adalah generasi penerus bangsa, karenanya mesti diselamatkan. Tanpa mereka, estafet kepemimpinan Indonesia tidak akan berjalan, dan hancurlah peradaban Indonesia. Maka dari itu, mengelakan Pancasila semenjak dini, berarti mengenalkan kepada mereka arti penting Pancasila sebagai perekat bangsa dan sekaligus benteng untuk menepis radikalisme.