Pendidikan Anti Radikalisme, sebagai Tindakan Preventif Untuk Perdamaian

Pendidikan Anti Radikalisme, sebagai Tindakan Preventif Untuk Perdamaian

- in Narasi
4993
0
Pendidikan Anti Radikalisme, sebagai Tindakan Preventif Untuk Perdamaian

Radikalisme merupakan paham dan gerakan yang menjadi musuh besar bangsa ini. Radikalisme telah memakan banyak korban. Korbannya tidak pandang bulu, baik laki-laki atau perempuan, anak-anak atau dewasa, orang Islam atau non Islam dan lain sebagainya. Sebelum kita jauh membahas radikalisme dan solusi atau tidakan preventifnya, alangkah baiknya kita mengerti pengertian dari radikalisme itu sendiri.

Radikalisme adalah pemikiran atau sikap yang ditandai oleh empat hal yang sekaligus menjadi karakteristiknya, yaitu: pertama, sikap tidak toleran dan tidak menghargai pendapat atau keyakinan orang lain. Kedua, sikap fanatik, yakni sikap yang membenarkan diri sendiri dan menyalahkan orang lain. Ketiga, sikap eksklusif, yakni sikap tertutup dan berusaha berbeda dengan kebiasaan orang banyak. Keempat, sikap revolusioner, yakni kecenderungan untuk menggunakan kekerasan dalam mencapai tujuan (Zahratul Mahmudati: 2014, 30).

Istilah radikalisme ini murni produk Barat yang sering dihubungkan dengan fundamentalisme dalam Islam. Dalam tradisi Barat, fundamentalisme Islam sering ditukar dengan istilah lain seperti, “ekstrimisme Islam” sebagai mana disebutkan oleh Gilles Kepel atau “Islam radikal” menurut Emmanuel Siven, dan ada juga dengan istilah “integrisme”, “revivalisme”, atau “Islamisme” (Rohimin: 2006, 15)

Diakui atau tidak sampai saat ini radikalisme masih menjadi momok yang menakutkan bagi keamanan dan kenyaman negeri ini. Seperti dilansir IDN Times, terbukti pada bulan Mei 2018 lalu, terjadi lima bom atau teror. Ancaman yang dilakukan berupa teror bom dan juga teror berbentuk penyerangan. Terjadi mulai dari provinsi Jawa Barat, Jawa Timur, dan Riau. Lima kasus ini merupakan kasus teror yang cukup besar. Rinciannya yaitu teror di Mako Brimob, Depok Jawa Barat, bom di 3 gereja di Surabaya, bom di rusunawa Wonocolo Sidoarjo, Bom di Polrestabes Surabaya dan penyerangan terduga teroris ke Mapolda Riau. Di samping lima kasus ini, polisi juga sempat menangani kasus-kasus teror lainnya.

Pendidikan Antri Radikalisme

Seyogyanya penangan radikalisme dan terorisme telah dicanangkan pemerintah melalui Badan Nasional Penanggulan Terorisme (BNPT) juga melalui Densus 88 dan pihak keamanan lainnya (TNI-Polri). Akan tetapi, itu saja belum cukup, sebab radikalisme saat ini semakin tersistem gerakannya. Perlu tindakan-tindakan preventif guna mencegah berkembang paham-paham radikalis. Pendidikan anti radikalisme mungkin bisa menjadi alternatif.

Sebab pendidikan merupakan kawah candradimuka atau produsen agen-agen atau tokoh-tokoh masa depan bangsa ini. Sebenarnya substansi dari pendidikan anti radikalisme telah ada dalam pelajaran agama dan pelajaran yang lainnya. Seperti berbuat baik, toleran, saling menghargai, tenggang rasa, saling tolong-menolong, jujur, tidak memaksakan pendapat, dan nilai-nilai luhur lainnya.

Menurut, Alhairi dari Universitas Islam Kuantan Singingi (UNIKS) dalam sebuah tulisannya di Jurnal Pendidikan Islam, Tarbawi, setidaknya ada tiga hal penting yang dapat dimasukkan dalam pendidikan anti radikalisme. Pertama, melalui konsep jihad era modern. Mamaknai jihad secara benar adalah sebuah syarat wajib hidup dalam keberagaman. Indonesia sebagai negara yang multikultural. Jihad harus dipahami sebagai ishlah (perbaikan) bukan ifsad (kerusakan) atau qital (membunuh), karena hal itu merupakan kehendak Allah dalam Al-Quran surah Al-Maidah ayat 32.

Kedua, melalui konsep multikultural. Indonesia memang dihuni oleh mayoritas beragama Islam, namun perbedaan-perbedaan suku, etnis, bahasa, dan bahkan agama masih sering jadi alasan untuk melakukan teror bom. Dengan kata lain, tidak menghargai kemajemukan yang ada di dunia ini dan melanggar sunnatullah yang dijelaskan Allah dalam surah Alhujarat ayat 13.

Ketiga, belajar tentang kasih sayang. Rasulullah mengajarkan kepada ummatnya untuk saling menyayangi sesama manusia yang diimplementasikan dalam bentuk silahturahim. Hal ini menolak pendapat yang mengatakan Islam adalah agama perang dan menyebarkan agamanya dengan pedang. Pernyataan tersebut jelas keliru, seorang sejarahwan terkemuka De Lacy O Leary dalam buku Islam At The Cross Road mengatakan bagaimanapun juga bahwa legenda tentang orang-orang Islam fanatik menyapu dunia dan memaksakan Islam sampai menggunakan pedang atas bangsa yang ditaklukkannya adalah mitos luar biasa fantastis yang pernah diulang-ulang para sejarawan (Dr. Zakir Abdul Karim Naik: 2013, 182).

Jadi, radikalisme tidak hanya di atasi ketika sudah terjadi kasusnya di lapangan layaknya pemadam kebakaran. Radikalisme dan terorisme harus dicegah dengan upaya preventif lewat pendidikan yang anti terhadap radikalisme.

Facebook Comments