Kerikil Kecil Perusak Toleransi

Kerikil Kecil Perusak Toleransi

- in Narasi
1259
0

“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan.”

(QS Al-An’am: 108)

Islam –yang secara generik berarti damai- merupakan agama yang menjunjung tinggi tercapainya harmoni antar umat. Kerukunan dan kedamaian yang terjalin, baik internal umat Islam maupun dengan agama-agama lain, adalah prasyarat mutlak terciptanya kesejahteraan kehidupan yang mampu mengungkit tegaknya peradaban bangsa. Umat yang bertikai, konflik yang tak kunjung usai, ataupun aksi teror yang menebarkan ketakutan, jika tidak diatasi akan mengganggu jalannya kehidupan sebuah bangsa, sehingga pembangunan kualitas masyarakat dan bangsa tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Pendeknya, untuk membangun peradaban bangsa yang majemuk ini, dibutuhkan spirit teloransi, bukannya kebencian atas nama perbedaan.

Krisis dunia arab (Arab Spring) yang kita saksikan hingga saat ini adalah bukti kasat mata, bahwa radikalisme agama yang berkelindan dengan politik, dan dibumbui oleh kebencian dan sektarianisme melumpuhkan sendi-sendi kehidupan. Tak bisa dipungkiri, awal mulanya adalah hilangnya toleransi.

Akibatnya, sungguh tak terperikan. Rasa takut, disharmoni, kelaparan, dan kesengsaraan menjangkiti diri masyarakat. Mereka kemudian memilih pergi, meninggalkan tanah kelahiran, demi mendapatkan secuil perasaan damai. Mengacu pada data komisi pengungsi PBB, UNHCR, semenjak terjadinya Arab Spring tahun 2011, setidaknya sekitar empat juta warga Suriah mengungsi ke lebih dari 100 negara ke seluruh penjuru dunia. Data itu belum memasukkan warga negara Arab lain yang juga mengalami konflik dan kekerasan.

Anehnya, di saat bangsa-bangsa di semenanjung Arab merindukan toleransi demi terwujudnya kedamaian, di negeri ini masih saja muncul sekelompok kecil umat yang mengoyak jala toleransi ini. Merusak sendi-sendi Ukhuwah (persaudaraan) sesama anak bangsa yang telah dikukuhkan jauh sebelum negara ini diproklamasikan.

Atas nama apapun, tidak selayaknya umat berlaku arogan, merasa diri mayoritas lalu mengintimidasi kelompok lain dan melarang umat lain menjalankan ibadah sesuai dengan agama dan keyakinannya. Jangankan melarang, menyebut-nyebut kejelekan agama lain pun tak sepantasnya dilakukan. Apatah lagi memaki-maki sesembahan umat lain. Hukum kausalitas mengatakan, bahwa setiap aksi akan mendapatkan reaksi serupa. Menghina agama lain akan membuat mereka melakukan hal yang sama. Memaki tuhan agama lain, pun akan dibalas dengan ungkapan makian pula. Al-Quran Surat Al-An’am, ayat 108 melarang hal demikian.

Mengembangkan semangat toleransi adalah ajaran Nabi SAW yang diikuti dan ditauladani oleh sahabat dan generasi setelahnya dari kalangan Tabi’in dan Tabi’it Tabi’in.

Sejarah menuturkan, bahwa kehidupan masyarakat Madinah dipenuhi semangat toleransi. Rasulullah SAW sangat menekankan umat Islam untuk boleh menghormati dan menghargai umat Yahudi atau Nasrani. Belum ditemukan dalam sejarah, seorang Muslim yang menghina, merusak, atau mengganggu peribadatan non muslim. Perilaku perusakan atau memberikan gangguan atas peribadatan umat non muslim dianggap sebagai sikap keganasan dan aniaya.

Dengarkanlah suara Al-Quran, Surat Al-Haj, Ayat 40 berikut:

“Dan sekiranya Allah tidak menolak (keganasan) sebagian manusia atas sebagian yang lain, tentulah telah dirobohkan biara-biara, gereja-gereja, dan masji-masjid, yang di dalamnya banyak disebut nama Allah. Sesungguhnya Allah pasti menolong orang yang menolong (agama)-Nya.”

Toleransi terhadap perbedaan ditegakkan selama tidak ada pengkhianatan dan penyerangan. Shahifah Al-Madinah (Piagam Madinah) yang dideklarasikan oleh Rasulullah SAW. mengikat seluruh umat, tak terkecuali umat non muslim. Dari 47 pasal, 24 pasal bahkan secara tegas mengatur hubungan dengan umat Yahudi, yang mengatur tentang kesepakatan bahawa apabila ada musuh yang menyerang Madinah, maka semua wajib saling membantu mempertahankan negeri Madinah, tanpa melihat apapun agamanya.

Tauladan yang sama dicontohkan oleh Umar bin Khathab. Kendatipun Umar terkenal sebagai sosok yang tegas dan paling depan menentang kekafiran, tetapi ketika menjadi Khalifah, beliau mengerti benar pentingnya mengedepankan toleransi.

Ketika pasukan Islam berhasil membebaskan Jerusalem dari penguasa Byzantium pada Februari 638 M, tiada kekerasan yang terjadi dalam ‘penaklukan’ ini. Bahkan penguasa Jerusalem saat itu, Patriarch Sophorinus, menyerahkan kunci kota tanpa paksaan dan tanpa intimidasi.

Perhatikanlah sikap khalifah Umar bin Khattab ketika bersama Sophorinus mengunjungi gereja tua bernama Holy Sepulchre. Saat tiba waktu shalat, Sophorinus menawarkan Khalifah Umar untuk menjalankan shalat di dalam gereja. Tetapi Sang Khalifah menolak dengan halus. “Jika aku shalat di dalam, orang Islam sesudahku akan menganggap ini milik mereka hanya karena aku pernah shalat di situ.”

Sang Khalifah lantas mengambil batu dan melemparkannya keluar gereja. Beliau lantas mendatangi tempat jatuhnya batu itu, dan di situlah beliau menjalankan shalat. Khalifah Umar kemudian menjamin bahwa gereja itu tidak akan diambil atau dirusak dan tetap terbuka untuk peribadatan umat Kristian.

Sikap toleransi Khalifah Umar diabadikan dalam piagam perdamaian yang dikenal dengan istilah Al-Uhdah Al-Umariyah, yang spiritnya mirip dengan Piagam Madinah. Khalifah Umar, melalui piagam perdamaian itu menjamin hak dan kewajiban umat kristiani. Dampaknya sungguh tak terkira, Sophorinus membalas dengan segala sikap kebaikan. “Kami tidak akan mendirikan biara, gereja, atau tempat pertapaan baru di kota dan pinggiran kota ini. Kami juga akan menerima musafir Muslim ke rumah kami dan memberi mereka makan dan tempat tinggal untuk tiga malam. Kami tidak akan mengucapkan ucapan selamat yang digunakan Muslim. Kami tidak akan memasang salib, baik di jalan-jalan atau pun pasar-pasar milik umat Islam.” (Tarikh al-Umam wa al-Muluk li al-Imam al-Thabari; juga History of al-Tabari: The Caliphate of Umar ibn al-Khathab Trans Yohanan Fiedmann, Albay, 1992, p 191).

Maka, jika ada sekelompok kecil umat yang secara arogan menolak toleransi, patutlah ia belajar kembali sejarah kearifan orang-orang hebat terdahulu. Kelompok ini memang kecil jumlahnya dibandingkan silent majority, yang saya yakin memiliki semangat pernghargaan terhadap perbedaan. Jumlah kecil ibarat kerikil. Tetapi jika dibiarkan, kerikil kecil akan melukai kaki. Kerikil kecil intoleran akan mengoyak semangat persaudaraan kebangsaan. Dibutuhkan sikap tegas pemerintah untuk mengatasi hal demikian. Juga kepedulian Ulama’ untuk membimbing umat menempuh jalan perdamaian. Jangan didiamkan. Ingat!, sikap intoleran jika dibiarkan akan berkembang menjadi sikap radikal. Bukankah terorisme akarnya dari hal itu?

Facebook Comments