Sejarah pada hakikatnya bersifat netral. Ia bunyi kalau dibunyikan. Sejarah selalu sesuai dengan kehendak para penafsirnya. Itulah sebabnya sebagian pakar menyatakan, sejarah tak ubahnya seperti kotak, di mana setiap kelompok mempunyai kotaknya masing-masing.
Narasi sejarah yang seperti inilah yang didakwahkan oleh para pengusung khilafah. Mereka mempunyai narasi sejarah khas kelompok mereka. Sejarah yang sesuai dengan ideologi dan kepentingan kelompok.
Sejarah yang sudah terkotak-kotak, meminjam bahasa Buya Syafii Maarif, adalah sejarah yang membelenggu. Sebab sejarah yang diterima oleh para pengusungnya adalah sejarah yang sudah terkotak-kotak oleh batasan ideologi tertutup. Akibatnya ia jadi sempit, eksklusif, kaku, dan tak bisa akomodatif.
Keagungan masa lalu dijadikan oleh para pengusng khilafah sebagai lagetimasi kelompok mereka. Apabila ada sejarah yang sesuai dengan ideologi mereka, langsung diterima sebgitu saja tanpa sifat kritis, sementara jika narasi sejarah yang lain –yang mungkin bertolak belakang dengannya atau tidak sesui dengn kepentingan ideologi –ditolak mentah-mentah.
Metode pilih-pilih sejarah menjadi andalan. Akibatnya, masa lalu yang dijadikan referensi adalah masa lalu yang sudah dibersihkan, disesuaikan, dan dikondisikan. Sejarah model seperti ini sifatnya hitam-putih. Kami benar, lain salah. Kami suci, lain kotor. Kami islami, lain kafir.
Baca Juga : Kejayaan Nusantara, Anakronisme Sejarah dan Penguatan Karakter Bangsa
Pada akhirnya, model sejarah seperti ini, melahirkan epistem pengetahuan yang hitam-putih pula. Ini bisa dilihat dari doktrin khilafah yang mengklaim bahwa sistem di luar khilafah adalah salah, dan harus diubah. Hanya khilafah (sekali lagi hanya khilafah!) sebagai sistem sempurna yang sudah terbukti pada masa lalu, dan sudah tercatat pernah memberikan kemakmuran, kedamaian, dan kesejahteraan kepada manusia.
Itu semua adalah sejarah yang diimajinasikan oleh para pengusungnya. Di luar narasi itu, ada narasi sejarah yang beda, bahkan kontras dengan itu.
Belenggu Sejarah
Para pengusung khilafah ingin menghidupkan sistem politik masa lalu yang diklaim sebagai sistem politik Islam, datang dari Tuhan, dan solusi satu-satunya. Mereka dengan lantang mengatakan bahwa Islam di bawah naungan khilafah Islamaiyah berada pada masa keemasan.
Klaim keemasan Islam itu ternyata hanya dijadikan slogan semata, tanpa diiringi dengan usaha dan kerja-sama dan dialog dengan budaya/peradaban lain. Yang terjadi justru malah sibuk mengasingkan diri sendiri dari putaran kemajuan dunia.
Para pengusung khilafah terjebak pada romantisme sejarah. Menjadikan doktrin khilafah sebagai solusi satu-satunya dalam merespons modernitas. Para pengusungnya tak lebih hanya kelompok para pengkhayal ulung, yang sikap dan tindakannya selalu melangit.
Masa lalu itu sejatinya netral. Ia bisa bunyi ketika dibunyikan, dan berwarna ketika diberi warna. Masa lalu ketika dibunyikan oleh kelompok ideologi tertentu, maka masa lalu itu memiliki warna sesuai dengan ideologi kelompok itu. Kerangka inilah yang bisa kita jadikan dalam melihat apa itu zaman keemasan seperti yang sering dirujuk oleh para pengagumnya.
Zaman keemasan itu relatif. Ia adalah proyeksi ke belakang untuk tujuan tertentu. Sebagian pakar mengatakan, istilah zaman keemasan (golden age) baru muncul belakangan, ketika dunia Islam bersentuhan dengan kolonialisme.
Ketika dunia Islam menyadari keterbelakangannya terhadap dunia Barat, mereka kemudian mencari suatu masa yang bisa dijadikan sebagai preferensi. Kembali ke masa lalu pernah menjadi satu tren gerakan dalam dunia Islam.
Masalahnya kemudian, ketika zaman keemasan dari masa lalu itu ingin dihidupkan kembali secara mentah-mentah, tanpa melihat konteks sosial, budaya, politik dan perkembangan ilmu pengetahuan. Akibatnya, masa kini selalu dinilai dengan standar masa lalu. Bukan kemajuan yang didapat, justru terjebak kepada romentisme sejarah, monoton, dan jalan ditempat.
Romentisme Kebablasan
Romantisme sejarah adalah ilusi paling besar dari gerakan khilafah. Hidup di masa sekarang tetapi diukur dengan ribuan tahun masa lalu. Selain faktor historisitas yang bermasalah, setidaknya ada dua faktor lagi yang membuat gagasan khilafah menjadi ilusi besar, yakni faktor doktrin dan aktualitas.
Para pengusung khilafah selalu mengatakan bahwa dalam nash ada anjuran untuk mengikuti satu sistem politik Islam yang disebut khilafah. Tetapi ketika ditanya, mana dari nash itu yang menyatakan demikian, tidak ada jawaban sama sekali.
Paling banter, disodorkan dalil tentang ke-khalifah-an manusia. Tentu ini bertolak belakang, sebab doktrin kekhalifahan manusia bukan berarti menunjukkan bawah khilafah –sebaimana digagas kaum HT—adalah suatu kewajiban. Keduanya sangat berbeda.
Dalam konteks aktualitas, para pengusung khilafah menjadi manusia pengkhayal besar. Mereka seolah-olah hidup di satu wilayah yang tidak tersentuh oleh dinamika sejarah. Dinamika itu adalah kenyataan bahwa sejarah itu bergerak ke depan. Termasuk di dalamnya sistem politiknya.
Era sekarang tentu harus menggunakan sistem politik kekinian yang sesuai dengan masanya. Bukan malah menarik masa kini untuk masuk ke dalam masa lalu –yang masa lalu itu belum tentu lebih baik dari sistem politik masa kini.
Selain itu, dalam aktualisasinya para pengusung khilafah itu tidak bisa membedakan mana wasilah (sarana) dan mana gayah (tujuan). Bagi mereka khilafah adalah keduanya sekaligus. Padahal dalam sejaranyah, khilafah tak lain hanyalah wasilah, alat untuk mencapai kesejahteraan dan kemaslahatan manusia (gayah).
Memebesihkan Debu Sejarah
Untuk itu, bagaimana agar sejarah tidak membelenggu kita? Jawabannya adalah kita perlu keluar dari kotak ideologi sejarah itu sendiri. Kita perlu mengadopsi sejarah apa adanya. Sejarah yang penuh dengan dinamika, kompleksitas, dan bukan hitam putih.
Sejarah bukanlah lembaran kertas putih nan indah yang tidak ada cacat. Sejarah penuh dengan pertikaian, perang, saling menjatuhkan. Sejarah tidak seindah yang imajinasikan oleh para pengusung HT, dan tidak secantik yang dinarasikan juru kampanyenya.
Sejarah khilafah bukanlah sejarah malaikat tanpa dosa. Ia adalah sejarah manusia, ada khilaf, dosa, cacat, dan kekurangan.
Dengan begitu, kita bisa belajar dengan mengadakan refleksi. Refleksi yang saya maksud adalah dua gerak ke dalam dan keluar sekaligus. Gerak ke dalam adalah gerak untuk mengambil hikmah sekaligus mengkritisi masa lalu. Sementara gerak ke luar adalah gerak untuk melihat konteks kekinian dan kedisinian untuk selanjutnya bisa diaplikasikan. Sejarah Islam akhirnya bukan bangunan mati. Ia bisa diambil spirit, hikmah, pengalaman, dan apinya untuk digunakan ke masa sekarang. Sejarah pada titik ini adalah sejarah yang mencerahkan, berkemajuan, dan tidak membelenggu.