Pangeran Diponegoro dan Karakter Santri Pejuang

Pangeran Diponegoro dan Karakter Santri Pejuang

- in Narasi
3772
0
Pangeran Diponegoro dan Karakter Santri Pejuang

Nama Pangeran Diponegoro tentunya sudah tidak asing lagi di telinga. Bendara Pangeran Harya Dipanegara atau yang lebih dikenal dengan nama Diponegoro, lahir di Ngayogyakarta Hadiningrat, 11 November 1785 dan meninggal di Makassar, Hindia Belanda, 8 Januari 1855 pada umur 69 tahun. Pangeran Diponegoro merupakan salah seorang pahlawan nasional Indonesia. Pangeran Diponegoro terkenal karena memimpin Perang Diponegoro atau Perang Jawa (1825-1830) melawan pemerintah Hindia Belanda. Perang tersebut tercatat sebagai perang dengan korban paling besar dalam sejarah Indonesia. (Kompas,17/06/2020)

Semangat memerangi Belanda yang merupakan musuh Islam dijadikan taktik Perang Suci. Oleh sebab itu, kekuatan Dipenogoro kian mendapat dukungan terutama dari tokoh-tokoh agama yang berafiliasi dengan Kyai Mojo. Menurut Peter Carey (2016) dalam Takdir: Riwayat Pangeran Diponegoro 1785-1855 disebutkan bahwa sebanyak 112 kyai, 31 haji, serta 15 syekh dan puluhan penghulu berhasil diajak bergabung.

Sebagai penghargaan atas jasa Diponegoro dalam melawan penjajahan, di beberapa kota besar Indonesia terdapat Jalan Pangeran Diponegoro. Banyak juga nama tempat yang dinamai dengan Diponegoro. Seperti Stadion Diponegoro, Universitas Diponegoro (Undip), Kodam IV/Diponegoro. Juga ada beberapa patung yang dibuat, patung Diponegoro di Undip Pleburan, patung Diponegoro di Kodam IV/Diponegoro serta di pintu masuk Undip Tembalang.

Puncaknya, Pemerintah Republik Indonesia pada masa pemerintahan Presiden Soekarno pada tanggal 8 Januari 1955 pernah menyelenggarakan Haul Nasional memperingati 100 tahun wafatnya Pangeran Diponegoro, sedangkan pengakuan sebagai Pahlawan Nasional diperoleh Pangeran Diponegoro pada tanggal 6 November 1973 melalui Keppres No.87/TK/1973.

Santri Teladan

Uraian di atas merupakan serangkaian sejarah Pangeran Diponegoro yang dengan gigihnya melawan Belanda yang seringkali disampaikan dalam mata pelajaran sejarah. Hampir tidak pernah diulas dengan latar belakang Pangeran Diponegoro. Hingga tidak mengherankan jika banyak masyarakat Indonesia yang tidak mengenal seluk beluk tentang keseharian Pangeran Diponegoro.

Baca Juga : Kejayaan Nusantara, Anakronisme Sejarah dan Penguatan Karakter Bangsa

Perlu diketahui, bahwa sejatinya Pangeran Diponegoro adalah seorang santri tulen. Nama aslinya Abdul Hamid, dan orang-orang menyebutnya Pangeran Diponegoro. Adapun nama lengkapnya adalah Kiai Haji Bendoro Raden Mas Abdul Hamid Ontowiryo Mustahar Herucokro Senopati Ing Alongko Sayyidin Pranotogomo Amirul Mukminin Khalifatullah Tanah Jawi Pangeran Diponegoro Pahlawan Goa Selarong.

Pada usia remaja, Pangeran Diponegoro merupakan seorang santri dan pengikut Thariqah. Pondok pertama yang menjadi persinggahan pertama Diponegoro adalah Pondok Pesantren Gebang Tinanar, Tegalsari, Jetis, Ponorogo. Pondok tersebut diasuh oleh Kiai Hasan Besari. Selain menjadi guru Diponegoro, Kiai Hasan juga merupakan guru dari Ronggowarsito. Maka jangan heran ketika perang melawan rezim penjajah Belanda, Ronggowarsito ikut andil besar dalam perang Diponegoro (1825 M – 1830 M).

Selain itu, Diponegoro juga belajar kitab kuning dan ilmu nahwu kepada Kiai Taftafani, Kertosuro. Dalam hal tafsir, Diponegoro menimba ilmu kepada Kiai Baidlawi Bagelelan (dimakamkan di Bantul). Bersama Kiai Baidlawi, Diponegoro mampu menyelesaikan kajian Tafsir Jalalain. Terakhir, Diponegoro menimba ilmu kepada Kiai Nur Muhammad Ngadiwongso, Salaman, Magelang.

Teladan Santri Masa Kini

Beranjak ke massa sekarang, dunia pesantren sudah tidak memiliki nilai lebih di mata masyarakat. Banyak orang tua yang lebih memilih menyekolahkan anak-anak mereka ke sekolah-sekolah formal. Hingga pada akhirnya, banyak diantara pesantren di Indonesia yang tidak memiliki santri dan pada akhirnya harus ditutup. Perlu disayangkan memang, mengingat pesantren tersebut memiliki nilai historis yang tinggi.

Selain itu, problematika klasik yang acapkali dihadapi oleh pondok pesantren adalah adanya perasaan minder yang dimiliki oleh santriwan-santriwatinya ketika sudah berada di masyarakat. Sebagian mereka akan minder ketika berhadapan dengan teman sebayanya yang lulusan pendidikan formal. Hal ini dapat dibuktikan dengan adanya mindset masyarakat bahwa pesantren hanya tempat untuk menuntut imu agama semata. Padahal dalam dunia pesantren juga diajarkan beberapa pendalaman keilmuan, seperti kewirausahaan, peternakan, pertanian, perkoperasian, dan bahkan kemampuan untuk menjadi seorang pengajar.

Perlu adanya pembangunan kembali daya juang dan kepercayaan diri seorang santri. Penanaman mindset bahwa santri juga tak kalah saing dengan lulusan SMA, SMK, MA, dan bahkan perguruan tinggi perlu segera digalakkan kepada pemuda dan masyarakat. Selain untuk meningkatkan daya saing para santri, hal ini tentunya juga akan menaikkan pamor pesantren dan minat para orang tua untuk menitipkan anaknya ke pondok pesantren. Rekonstruksi ini bisa dimulai dengan pengenalan terhadap masyarakat dengan mengambil beberapa tokoh yang pernah menempuh ilmu di pondok pesantren, tak terkecuali Pangeran Diponegoro. Terlebih, kini santri di bumi pertiwi ini telah memiliki sebuah hari nasional yang membanggakan, Hari Santri Nasional yang jatuh setiap tanggal 22 Oktober (berdasarkan Keppres Nomor 22 Tahun 2015). Wallaaahu a’lam bi al-shawab.

Facebook Comments