Kita Semua Bersaudara

Kita Semua Bersaudara

- in Narasi
2316
0

Setiap bahasa memiliki keunikan tersendiri. Dalam bahasa Indonesia salah satu bentuk keunikan itu bisa dijumpa dari kata “kita” dan “kami”. Berbeda dengan kata “we” dalam bahasa Inggris atau “nahnu” dalam bahasa Arab, kata “kita” dan “kami” terasa lebih kompleks. Dalam arti kepunyaan dan identitas, “kami” dikhususkan terhadap penisbatan bersifat primordial. Sebaliknya, “kita” menggambarkan kesatuan atas aneka sub-intern yang berkohesi dengan saling penerimaan untuk melebur dalam satu tubuh.

Dalam konteks kebangsaan, keberbedaan sebagai manifestasi sunnatullah, “kami” menyempitkan arti kesukuan, marga, dan keturunan; termasuk pada babakan agama. Sementara “kita” telah meluaskan pemaknaan melepas sekat-sekat tersebut dalam ruang bersama bersebut Indonesia. “Kita” merupakan jembatan dari pelbagai identitas untuk merangkai kehidupan harmonis dan ikhtiar memelihara perdamaian. “Kita” digunakan sebagai mantra ampuh mengurai konflik dan meredam keegoisan primordial. Melalui “kita”, adalah semacam kunci atas kesadaraan antarkami yang sama-sama lahir dan tinggal di wilayah Indonesia.

Indonesia yang hingga kini masih patut sebagai representasi keberhasilan menjaga kerukunan dan perdamaian, bukan berarti nihil konflik. Konflik dan perseteruan penah terjadi. Faktor ekonomi-politik yang kemudian disulut melalui bahan pemantik berupa suku-agama seakan-akan menamsilkan hidup rukun dalam balutan multikultural adalah utopia. Namun, melalui kata “kita” sebagai kekhasan bahasa Indonesia, rupanya ampuh mengikat kembali sekat-sekat yang sempat tercerai berai. Konflik yang pernah mendera masyarakat Ambon yang kemudian mengerucut dalam perseteruan antarpemeluk agama, rupanya bisa diredam dengan kesadaran kebersatuan.

Melalui slogan “Katong Samua Basodara”, masyarakat Ambon menjadi lakon cerminan bagaimana slogan itu tidak sekadar simbol dan semacam petuah moralistik. Melainkan benar-benar bisa dilaksanakan dan dibuktikan. Kata “kita” atau “katong” menjadi ikatan persaudaraan dan pondasi perdamaian di atas kehidupan keagamaan dan etnisitas masyarakat Ambon yang multikultural. Imaji persatuan dalam kata “katong” telah memberi arahan dan makna mendalam. Menyadarkan untuk kembali merenungi asal-muasal dan titik persamaan. Kala perbedaan adalah keniscayaan, kata “kita” juga dimaksudkan sebagai pengikat lantaran persatuan/kesamaan sesungguhnya juga merupakan sunnatullah.

“Katong” rupanya mematahkan anggapan banyak orang bahwa konflik Ambon selesai hingga tiga-empat generasi. Sebaliknya, masyarakat Ambon bergerak cepat menanggalkan ke”kami”an dan merujuk ke”katong”an, sehingga sukses mengembalikan kedamaian tidak sampai satu generasi. Tesis Deddy Mulyana dalam Membongkar Komunikasi Budaya (2017) membabar realisasi konkret atas dasar spirit “katong”. Komunitas muslim dan komunitas kristiani bahu-membahu menggalang kerjasama dalam banyak kegiatan. Semisal dalam Musabaqah Tilawatil Quran (MTQ), orang Kristen turut berpartisipasi menjadi panitia. Pembangunan masjid dan gereja juga melibatkan elemen lintas pemeluk agama.

Sekat-sekat berupa: kami orang Jawa, kami bersuku Batak, kami dari Dayak, merupakan perbedaan alamiah. Namun, dengan kata “kita” orang Indonesia, merupakan unsur utama pemersatu sebagai sesama orang yang tinggal dan mencintai Indonesia. Pada cakupan lebih luas, sengkarut rasisme yang masih sering terjadi di ranah global, kata “kita” akan selalu mencari sisi kesamaan. Yakni, di antara perbedaan dan keanekaragaman ras manusia, bukankah “kita” semua adalah manusia. Kemanusiaan merupakan termin aras pemersatu. Dan, kata “kita” telah menjadi obat terhadap penyakit superioritas ras. Inilah yang dilakukan Nelson Mandela untuk menyadarkan masyarakat internasional bahwa “kita”, baik kulit hitam maupun kulit putih adalah bersederajat sama sebagai sesama manusia.

Hal yang kiranya sama juga bisa diimplementasikan dalam ruang kehidupan beragama. Hampir dalam setiap agama, ada banyak aliran, mazhab, sekte dan ormas keagamaan. Keragaman varian pemahaman atas ajaran agama tersebut tak jarang memantik perseteruan berkepanjangan. Masing-masing pihak merasa menjadi yang paling benar. Penggunaan kata “kami” sebagai batas definisi pembeda dengan yang lain sering diuarkan: ”‘kami’ merasa benar karena sesuai Sunnah Nabi, sementara ibadahmu bidah lantaran menyalahi aturan agama”. Padahal, menurut Rumi, masing-masing pihak sama-sama memungut pecahan kaca. Karena itu, meredam fenomena takfiri yang marak belakangan ini, “kami” mestilah diganti dengan “kita” demi menuju persamaan; karena sama-sama memegang kaca. Bukankah perbedaan itu ada titik simpul berupa kesamaan atas satu agama, “kita” sama-sama Islam. Baik NU, Muhammadiyah, Sunni, Syiah, dan lain sebagainya memiliki pangkal sama: memercayai Alquran dan Hadis.

Segmentasi ke”kami”an dalam rupa bersuku-berbangsa sebagaimana tersurat dalam Alquran (syu’uba wa qabaila) juga diselaraskan dengan narasi ke”kita”an berupa kata “li ta’arafu”; di mana menyimpan makna untuk lekas bergumul dan melebur dalam aras tunggal kemanusiaan. Semua perbedaan berpangkal kepada kesamaan sebagai hamba Tuhan. Nabi Saw telah meneladankan kepada kita dengan senantiasa berbaik laku kepada saban orang, gemar berbagi kepada tetangga, dan lekas menjenguk yang sedang terbaring sakit meski mereka berlainan agama. Bilamana tidak bisa bersaudara dalam agama, kita semua tetap bersaudara sebangsa dan bersaudara berdasar sesama manusia. Wallahu a’lam

Facebook Comments