Perilaku warganet di dunia maya atau media sosial bermacam-macam. Ada yang sadar dengan segala dampak yang ditimbulkan dari aktivitasnya, sehingga cenderung berhati-hati sebelum mengunggah, membagikan, maupun berkomentar terhadap suatu narasi atau isu yang sedang menjadi perbincangan di linimasa. Namun, ada pula yang belum sadar dengan pelbagai risiko dari segala aktivitasnya, sehingga perilaku yang muncul cenderung “ringan jari”; mudah mengunggah, membagikan, dan mengomentari semua hal.
Hal tersebut kian mengkhawatirkan ketika linimasa media sosial banyak dipenuhi isu-isu yang sensitif dan mudah menciptakan gesekan di masyarakat, seperti isu-isu SARA. Warganet dengan tipe “ringan jari” akan mudah terhasut dan terprovokasi dengan pelbagai isu bermuatan SARA yang ditebarkan orang atau kelompok tertentu yang tak bertanggungjawab.
Pada gilirannya, warganet dengan tipe tersebut tak sekadar terprovokasi, namun besar kemungkinan akan segera beranjak menjadi seorang provokator pula. Sebab, sifat sebuah isu provokatif bermuatan SARA di media sosial, biasanya tak sekadar menyalakan emosi dan kebencian seseorang terhadap individu atau kelompok tetentu. Lebih jauh, sebuah isu SARA tak jarang juga memancing dan mendorong orang agar ikut membagikannya sehingga kebencian meluas. Dengan kata-kata yang bombastis dan provokatif, aktivitas menebarkan isu SARA seolah-olah dikesankan sebagai aktivitas heroik, atas nama identitas dan kelompoknya. Akibatnya, banyak orang termakan dan ikut menyebarkannya secara luas.
Isu-isu SARA semakin berbahaya ketika ditebarkan di tengah persaingan politik lewat narasi-narasi provokatif dalam kampanye. Isu SARA akan semakin berisiko besar menciptakan perpecahan di masyarakat yang sedang dalam proses memilih pemimpin. Bahkan, menurut pengamat politik dari Lingkar Madani, Ray Rangkuti, bahaya isu SARA lebih berbahaya ketimbang politik uang. Sebab, isu SARA memiliki efek jangka panjang yang menimbulkan perbedaan (Detik.com, 26/12/2017).
Provokator
Melihat hal tersebut, kita semakin sadar betapa bahayanya jika warganet menjadi seorang provokator, terutama provokator isu SARA. Di tangan seorang provokator, media sosial menjadi media tempat menyebarnya bibit-bibit kebencian dan memantik pertikaian, pemusuhan, dan bahkan perpecahan. Tentang sifat provokator ini, Irfan Amalee dalam bukunya Islam Itu Ramah Bukan Marah (2017), memberi gambaran menarik tentang ciri-ciri orang tukang kompor, atau orang-orang yang gemar menyebarkan permusuhan.
Pertama, ia mudah menyebarkan informasi tanpa proses tabayyun, cek dan ricek informasi. Dalam hal ini, Irfan mengutip sebuah hadits, “Cukuplah seseorang itu dikatakan sebagai pendusta kalau dia menceritakan semua yang dia dengar” (HR Muslim). Ciri tukang kompor kedua ialah mudah berprasangka buruk. Dengan hanya melihat sebuah informasi yang sangat terbatas, orang lekas menyimpulkan dan men-judge orang lain. Sedangkan ciri-ciri yang ketiga adalah mudah melaknat. Hanya dengan bermodal zhan atau prasangka, tanpa informasi yang jelas, seorang tukang kompor dengan mudah melaknat seseorang atau sesuatu. Padahal, menurut Rasulullah bersabda, “Seorang Mukmin bukanlah orang yang suka mencela, melaknat, berprasangka buruk, dan mengucapkan ucapan yang kotor” (HR Ahmad dan Al-Tirmidzi).
Tipe-tipe provokator tersebut menggambarkan dengan jelas bagaimana karakteristik seseorang yang gemar menciptakan permusuhan dan kebencian. Jika orang dengan tipe tersebut dihadapkan pada sebuah isu SARA, jelas akan berbahaya. Ia tak memiliki kendali untuk menyaring setiap isu atau informasi yang ia dapat, sehingga isu sensitif tersebut ditebarkan dengan gegabah. Di samping itu, prasangka buruk dan sikap mudah melaknat semakin melengkapi sikap provokatifnya, sehingga isu-isu SARA kemudian benar-benar menyebar dan menciptakan permusuhan secara luas.
Jadi pendamai, kontra SARA
Kita butuh membangun karakter tak gampang terprovokasi. Atau lebih jauh, kita membutuhkan orang-orang yang punya karakter kontra terhadap sikap provokatif, yakni sikap pendamai. Jika seorang provokator gemar menebarkan kebencian dan memecahbelah dengan isu SARA, maka seorang pendamai akan menebarkan kedamaian dan kembali merekatkan ikatan persaudaraan kita bersama. Menurut Irfan Amalee (2017), karakter pendamai ini ia sebut sebagai “tipe jembatan”, yaitu orang yang selalu berusaha membangun persaudaraan dan perdamaian.
Ada beberapa ciri-ciri orang dengan “tipe jembatan”. Pertama, ia selalu menyebarkan kedamaian. Di sini, jelas Irfan, segala tindakan dan ucapannya diarahkan untuk membangun perdamaian. Jika konteksnya dunia maya atau medsos, maka ia adalah seorang warganet yang selalu menebarkan konten perdamaian, baik dalam mengunggah, berkomentar, maupun aktivitas lainnya di dunia maya. Kedua, ia selalu berusaha mendamaikan pihak yang berseteru. Dalam konteks dunia maya, berarti ia adalah seorang wargenet yang ikut mendamaikan wargenet lain yang sedang bertikai dan berseteru di dunia maya karena isu SARA, baik lewat kolom komentar langsung di sebuah forum, atau lewat unggahan-unggahan statusnya yang menyejukkan, menyatukan, dan kontra terhadap isu-isu SARA.
Ciri ketiga adalah menyambung tali silaturahim, bahkan dengan orang yang berusaha memutuskannya. Menyambung tali persaudaraan dengan orang yang berbuat baik itu hal biasa. Namun, berdamai dengan orang yang memusuhi itu luar biasa. Memang tak mudah mendamaikan atau menyambung persaudaraan dengan orang-orang yang sudah termakan provokasi dan kebencian karena isu SARA. Pilihan menjadi seorang pendamai, atau “tipe jembatan” ini, jelas Irfan, seperti sebuah jembatan, risikonya diinjak-injak orang. “Oleh pihak di ujung yang satu dianggap musuh, oleh ujung lain tak dianggap sahabat,” jelasnya. Tapi, jika kita kompak bersatu dan bersama-sama menjadi pendamai, maka perjuangan tersebut tentu akan mudah tercapai.