Perbedaan SARA Bukan Alat Perpecahan

Perbedaan SARA Bukan Alat Perpecahan

- in Narasi
1824
0

Di dalam agama manapun, perdamaian adalah salah satu ajaran yang selalu diterapkan. Di dalam agama Islam sendiri juga mengajarkan perdamaian kepada siapapun. Bahkan, manusia hidup di dunia tugasnya adalah menjadi khalifah fil ard (pemimpin di alam raya). Sebagai khalifah, manusia harus selalu memberikan kedamaian kepada sesama dan seluruh makhluk yang ada di dunia. Jangankan terhadap pemeluk agama lain yang notabene sesama manusia, kepada hewan bahkan benda-benda mati di alam pun manusia dituntut untuk selalu menjaga keharmonian.

Perbedaan suku, agama, ras, dan antar-golongan (SARA) atau bahkan politik bukan menjadi alat pemicu perpecahan dalam berinteraksi. Justru, perbedaan dapat menjadi rahmat apabila dilandasi oleh rasa cinta antar-sesama. Karena, ketika sesuatu dilandasi oleh rasa cinta, maka apapun akan terlihat indah dan tidak menjadi masalah. Sebaliknya, apabila perbedaan dilandasi oleh kebencian, maka apapun akan menjadi masalah yang menimbulkan perpecahan.

Dalam hal ini, umat Islam harus sadar bahwa terdapat tuntunan dalam agama bahwa dalam bermuamalah (interaksi sosial) mengajarkan adanya keharmonisan terhadap sesama. Terhadap pemeluk agama lain, agama Islam mengajarkan agar selalu berbuat adil. Allah SWT berfirman, “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangimu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu, dan membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim.” (QS. al-Mumtahanah: 8-9)

Erat kaitannya dengan ayat tersebut, Imam Ibnu Katsir berkata, “Allah tidak melarang kalian berbuat baik kepada non muslim yang tidak memerangi kalian seperti berbuat baik kepada wanita dan orang yang lemah di antara mereka. Hendaklah berbuat baik dan adil karena Allah menyukai orang yang berbuat adil.” (Tafsir al-Qur’an al-‘Azhim, 7: 247).

Perkara yang tidak diperbolehkan di dalam agama Islam adalah mencampuradukkan (sinkretisme) ajaran agama. Hal ini sesuai dengan kisah di dalam asbabun nuzul (sebab turun) surat al-Kafirun ayat 1-6. Di dalam Tafsir al-Qurthubi dituliskan perkataan kaum Quraisy yang disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW, “Wahai Muhammad, bagaimana kalau kami beribadah kepada Tuhanmu dan kalian (muslim) juga beribadah kepada Tuhan kami. Kita bertoleransi dalam segala permasalahan agama kita. Apabila ada sebagaian dari ajaran agamamu yang lebih baik (menurut kami) dari tuntunan agama kami, kami akan amalkan hal itu. Sebaliknya, apabila ada dari ajaran kami yang lebih baik dari tuntunan agamamu, engkau juga harus mengamalkannya.” (Tafsir Al Qurthubi, 14: 425).

Terhadap perkataan ini, Nabi Muhammad SAW menjawab sesuai dengan wahyu yang turun kepada dirinya, yakni, “Katakanlah (wahai Muhammad kepada orang-orang kafir), ‘Hai orang-orang yang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. Dan, kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah. Dan, aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah. Dan, kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. Untukmulah agamamu dan untukkulah agamaku.” (QS. al-Kafirun: 1-6).

Ayat ini secara tegas menuntut agar umat Islam tidak mencampuradukkan ajaran agama yang dianut terhadap ajaran agama lain. Namun, ayat ini bukan merupakan dasar untuk membenci kelompok lain. Keyakinan boleh berbeda, namun hubungan baik harus tetap dijaga. Al-akhir, damailah Indonesia dengan beragam bentuk dan keyakinan masyarakatnya. Wallahu a’lam.

Facebook Comments