Konsep negara dibangun di atas kesalingpercayaan. Dalam teorinya, semua lapisan diasumsikan memberikan kepercayaan kepada satu kolompok tertentu untuk menjalankan negara. Pihak yang terakahir ini disebut pemerintah, pihak yang pertama disebut rakyat. Inilah yang disebut kontrak sosial.
Artinya, negara lahir dari rahim budaya saling-percaya. Rakyat percaya kepada pemerintah, pemerintah percaya terhadap amanat yang diberikan oleh rakyat. Kepercayaan rakyat berwujud penyerahan mandat pengelolaan, kebijakan, dan regulasi negara. Sementera wujud kepercayaan pemerintah adalah melaksanakan pengelolaan, kebijakan, dan regulasi negara sebagaimana mestinya.
Teori kontrak sosial mengamsumsikan kedua belah pihak yang berkontrak berada dalam posisi beriktikad baik. Tidak ada penghianatan, keculasan, dan penipuan. Kedua belah pihak menjalankan kontraknya sesuai dengan aturan dan kesepakatan.
Teori kontrak sosial –meski sudah klasik dan banyak kritikan – masih releven untuk menganalisis peritiwa-peritiwa yang terjadi di tengah bangsa ini akhir-akhir ini.
Dua Arah
Munculnya tagar #MosiTidakPercaya, kalau kita lacak akar masalahnya, sebenarnya muncul dari tidak berjalannya kontrak dua arah. Ada salah pihak yang kecewa, sebab salah satu pihak keluar dari asas kontrak, yakniberiktikad baik.
Max Weber dalam salah penelitiannya membuat pertanyaan: mengapa warga negara (Barat) sangat patuh terhadap hukum yang ditetapkan oleh pemerintahnya? Ia mencari sebab pertama dan menemukan satu kesimpulan, yaitu pemerintah menjalankan kontrak sosialnya.
Dengan cara apa? Adanya transpransi, keterbukaan dan iktikad baik. Ketika warga negara membayar pajak, warga tahu berapa, kemana, bagaimana dan untuk apa pajak itu digunakan. Warga atas dasar kepercayaan mau membayar pajak dibalas oleh pemerintah dengan pengelolaan, kebijakan, dan regulasi yang terbuka dan transparan.
Dari konteks penelitian Weber itu kita bisa simpulkan, kokohnya kontrak sosial dan kuatnya kesalingpercayaan ketika kontrak itu berjalan dua arah. Kedua pihak setara dan sama-sama melaksanakan kontraknya.
Jika salah satu pihak mengkhianati kontrak, maka pihak yang lain akan protes, melakukan aksi, dan tak jarang aksi-aksi itu dilakukan dengan cara kekerasan.
Tidak ada asap kalau tidak ada api. Artinya tagar #MosiTidakPercaya tidak lahir dari ruang hampa. Ia mempuyai sebab. Ia tidak muncul dengan sendirinya. Sebab itu menurut saya adalah macetnya kontrak sosial dua arah.
Menuju Mosi Kepercayaan
Jika kita sudah mengetahui akar masalahnya, maka hal yang perlu dilakukan adalah strategi agar keluar dari masalah itu. Strategi itu menurut saya adalah tidak boleh menuntut pihak lain agar tertib dan tidak anarkis, jika pihak lain justru malah melakukan sebaliknya.
Dalam alam demokrasi, apalagi Indonesia mengklaim dirinya sebagai Demokrasi Pancasila, keterbukaan dan transpransi –sebagaimana dinyatakan Weber di atas –adalah kunci. Demokrasi yang dibangun atas dasar ketimpangan dan tidak ada iktikad baik, tidak akan kokoh. Ia akan melahirkan konflik vertikal bahkan di beberapa negara sering terjadi hura-hara dan cheos.
Demokrasi Pancasila sejak dini sudah menyiratkan arti penting dari keterbukaan. Hal ini bisa dilihat dari kata sifat yang digunakan, yaitu hikmah/kebijaksanaan dalam permusyaratan perwakilan.
Namanya musyawarah, ya harus terbuka, ada tranprasi. Jika ada klaim, ini kan sudah hasil kesepakatan, ini sudah hasil musyawarah, tetapi dalam realitanya tidak ada keterbukaan dan transprasi, itu bukanlah musyawarah, melainkan kesepakatan elite tertentu.
Untuk itu, jika Indonesia mau keluar dari tagar #MosiTidakPercaya, tidak ada cara lain kecuali kedua belah pihak yang berkotrak –rakyat dan pemerintah –harus sama-sama menjalankan kontraknya.