Belajar Trust Culture sebagai Budaya Santri

Belajar Trust Culture sebagai Budaya Santri

- in Narasi
1930
0

Kepercayaan merupakan modal dasar dalam setiap kesuksesan. Tanpa adanya kepercayaan, setiap “kerja sama” akan selalu dibayang-bayangi perasaan tidak nyaman. Antara satu dengan yang lain takut dicurigai sehingga tidak bisa fokul dalam mengerjakan tugas-tugas mulia.

Dalam konteks kenegaraan, kepercayaan juga mesti dibudayakan. Jangan sampai para pejabat tidak bias fokus dalam bekerja lantaran tidak mendapatkan kepercayaan dari rakyat. Pejabatpun demikian, mesti mempercayai masyarakat.

Mutakhir, budaya saling percaya (trust culture) antara satu komponen masyarakat dengan yang lainnya terkesan melemah. Terbukti banyak kebijakan pemerintah yang sedang didiskusikan banyak yang langsung ditolak. Sebaliknya, banyak kegiatan masyarakat yang dilarang pemerintah padahal belum ada aturan dan kajian jelas. Segala macam “langkah” yang dilakukan kelompok lain seakan dianggap salah dan mesti dihentikan atau dibatalkan.

Ketidakpercayaan tanpa dasar terhadap kelompok lain semacam ini akan merugikan bangunan bangsa. Karena, yang ada di sini bukan waspada melainkan jegal menjegal antara satu kelompok dengan yang lainnya. Bahkan dalam praktiknya, banyak fakta yang diputarbalikkan demi mengelabuhi masyarakat yang jumlahnya banyak. Dengan kata lain, kelompok satu memfitnah kelompok lain sekaligus menyebarkan ke masyarakat untuk selanjutnya masyarakat merapat pada diri pembuat fitnah.

Dalam rangka meminimalisir perilaku negatif yang dilakukan kelompok lain tidaklah mesti menghilangkan kepercayaan. Antara satu kelompok dengan kelompok lain mesti meningkatkan kewaspadaan dengan tetap mencari data dan fakta akurat sehingga mampu menilai kelompok lain dengan seadil-adilnya. Alhasil kewaspadaan dalam diri setiap kelompok akan tecipta. Sementara, dengan adanya trust culture, kelompok lain akan dengan leluasa mengerjakaan tugas-tugas dan berakhir pada kinerja yang baik.

Trust culture dapat dicapai manakala seseorang bisa mengupayakan untuk berperilaku husnuzan(prasangka baik) kepada sesama. Dengan adanya prasangka baik, maka dirinya tidak akan pernah menghalangi atau bahkan menjadikan orang lain merasa tidak nyaman dalam melakukan kebaikan. Orang lain akan merasa merdeka melakukan segala pekerjaan sehingga akan mendapatkan hasil yang maksimal.

Budaya husnuzanmerupakan budaya yang terus ditanamkan kepada santri. Santri harus berprasangka baik kepada sesama, tidak diperkenankan memfitnah, mengadu domba, atau membuat provokasi negatif kepada publik. Bahkan, santri memiliki semboyan bahwa apabila diri seseorang dapat menutupi aib sesame, maka Tuhan akan menutupi aib-aib diri saat harus mempertanggungjawabkan amal di hadapan-Nya. Maka, santri tidak harus melakukan tindakan fisik dalam melihat kemungkaran. Santri lebih mengutamakan mendoakan kebaikan kepada orang yang melakukan kemungkaran sehingga mendapat hidayah dari Tuhan yang maha membolak-balikkan hati.

Selain husnuzan, santri juga selalu dituntut untuk waspada. Santri mesti melestarikan lima (5) tujuan syariah agama, yakni hifz an-Nafs(menjagajiwa), hifz ad-Din (menjaga agama), hifz al-Aql (menjaga akal), hifz an-Nasl (menjaga keturunan), dan hifz al-Maal (menjaha harta). Semua ini dapat dilakukan dengan cara prefentif, yakni selalu waspada.

Dengan menjalankan budaya santri sebagaimana yang tersebut di atas, yakni selalu husnuzan sekaligus waspada, kenyamanan hidup berbangsa akan terasa. Perbedaan golongan, pekerjaan, agama, dan lain sebagainya bukan menjadi masalah. Jistru perbedaan yang ada akan menjadi modal kekuatan dan kenyamanan bersama.

Wallahu a’lam.

Facebook Comments