Langkah Preventif terhadap Radikalisme

Langkah Preventif terhadap Radikalisme

- in Narasi
502
1
Langkah Preventif terhadap Radikalisme

Radikalisme merupakan larangan yang masih diterjang oleh sebagian kelompok masyarakat. Bahkan, terakhir Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan Wiranto menjadi korban aksi radikalisme pada Jumat 11 Oktober 2019. Tanpa alasan jelas, terdapat masyarakat yang menusuk perut dengan senjata tajam saat ia baru saja turun dari mobil.

Peristiwa ini hanyalah satu contoh kecil betapa aksi radikal banyak dilakukan masyarakat. Masih banyak aksi-aksi lain yang tidak tertangkap kamera atau tidak begitu diperlihatkan di muka publik. Yang pasti, ditampakkan ke ruang publik ataupun tidak, aksi kekerasan semacam ini tidak pernah dibenarkan dalam agama maupun negara.

Orang melakukan aksi kekerasan dipastikan dalam diri sudah menyimpan benih-benih kekerasan. Orang yang pernah menjadi korban kekerasan, dimungkinkan akan melakukan aksi kekerasan yang serupa. Sebagai misal, anak kecil yang sering dijewer, dicubit, atau dipukul orang tuanya, dalam hatinya akan berkata bahwa menjewer, mencubit, atapun memukul merupakan perkara yang biasa dan bukan merupakan kesalahan. Sehingga, saat ia bermain dengan teman-temannya, ia akan dengan mudah melakukan aksi kekerasan serupa kepada teman-temannya. Ini bisa terjadi lantaran ia merasa bahwa apa yang dilakukan bukan merupakan kesalahan.

Apabila perilaku kekerasan yang ada pada anak semacam ini terus-menerus dilakukan, maka akan menjadi kebiasaan dan berakhir menjadi sifat. Ia akan berperangai keras karena saking seringnya melakukan kekerasan. Dalam hal apapun, ia akan dengan mudah melakukan kekerasan. Kekerasan dapat berupa fisik dan nonfisik. Dan, semua itu tidak pernah ada yang dibenarkan.

Baca juga :Apapun Dalilnya, Radikalisme Tidak Bisa Ditolerir!

Selain itu, orang melakukan kekerasan juga disebabkan oleh “doktrin sesat” bahwa melakukan kekerasan dalam hal tertentu merupakan perbuatan terpuji. Saat ini menjadi tren aksi kekerasan adalah dalam rangka melakukan jihad. Orang melukai orang lain karena jihad, orang melakukan bom bunuh diri di tempat ibadah penganut agama lain karena jihad, orang melempar bom ke posko polisi karena jihad, dan lain sebagainya.

Orang melakukan aksi seperti itu, bahkan sampai rela mengorbankan diri dengan melakukan bom bunuh diri, tidak merasa bahwa dirinya melakukan kesesatan. Justru ia ingin mendapatkan surga dari Allah SWT. Hanya saja, tidak ada surga diperuntukkan bagi orang yang melakukan bunuh diri dan membunuh orang lain. Justru melakukan kekerasan kepada orang lain dan melakukan penganiayaan terhadap diri sendiri merupakan perbuatan dosa besar.

Beragam aksi kekerasan ini harus dilakukan langkah prefintif. Bagi anak-anak yang dibiasakan melakukan aksi kekerasan, yang dapat dilakukan adalah, orang tua mengurangi tindak kekerasan kepada anak-anak. Jangan sampai orang tua suka melakukan kekerasan kepada anak-anak meskipun dalam rangka mengurangi perilaku buruk anak. Orang tua terkadang merasa kesal saat anak melakukan perilaku negatif, namun orang tua harus bisa mengendalikan diri jangan sampai melakukan kekerasan, baik fisik ataupun nonfisik. Orang tua dapat mengingatkan anak-anak agar tidak melakukan perilaku negatif dengan cara yang halus namun tegas.

Sementara, bagi orang yang melakukan kekerasan atas dasar “jihad”, mereka meski mendapatkan asupan ilmu agama lagi. Agama tidak pernah mengajarkan kekerasan namun rahmatan lil ‘alamin. Bahkan, jika mereka mengikuti Nabi Muhammad SAW, ia diutus tidak lain dan tidak bukan hanyalah untuk menyempurnakan akhlak.

Dengan dua langkah ini diharapkan tindak kekerasan akan pudar sedikit demi sedikit. Ibarat penyakit, yang sudah terjangkit perilaku kekerasan, mereka mesti diobati. Sementara, yang masih sehat, mereka mesti dijaga jangan sampai terkena virus berbahaya ini.

Wallahu a’lam

Facebook Comments