Kemunculan dan perkembangan kelompok radikal-ekstrem dalam Islam memiliki akar sejarah yang panjang dan kompleks. Oleh karena itu, dibutuhkan pembacaan yang melibatkan pendekatan multi-dimensional mulai dari politik, sosial, ekonomi, budaya dan tentunya agama untuk dapat memahaminya secara komprehensif. Membaca fenomena ekstremisme Islam hanya dari satu dimensi saja tentu akan menimbulkan mispersepsi dan distorsi terhadap citra Islam itu sendiri.
Jika ditilik dari perspektif sejarah, kemunculan kelompok-kelompok ekstrem dalam Islam merupakan ekses dari konflik politik setelah wafatnya Rasulullah. Ini sekaligus menunjukkan bahwa kelompok-kelompok ekstrem dalam Islam bukan berakar dari doktrin Islam itu sendiri. Seperti diketahui, pada masa khulafaur rasyidun terjadi berbagai konflik politik akibat suksesi kekuasaan yang tidak memuaskan semua pihak. Dari konflik-konflik politik itulah, muncul berbagai aliran dalam Islam.
Salah satunya adalah aliran Khawarij. Kaum Khawarij adalah kelompok yang membelot dari Ali bin Abi Thalib. Mereka beranggapan, Ali telah melakukan dosa besar lantaran menerima perjanjian damai dari Muawiyyah. Kaum Khawarij boleh jadi merupakan kelompok ekstrem pertama dalam sejarah Islam. Mereka tidak segan menjadikan ayat-ayat al Quran sebagai alat untuk menjustifikasi tindakan kekerasan.
Baca juga :Banalitas Kejahatan, Eichmann dan Para Pembajak Agama
Di masa modern, perkembangan kelompok-kelompok ekstrem dan radikal dalam islam kian kompleks. Kebangkitan Islam di era modern juga diwarnai dengan kebangkitan neo–Khawarij. Kelompok ekstrem muncul dalam wajah dan kemasan baru. Di masa khulafa arrasyidun, kemunculan kelompok ekstrem lebih dilatari oleh perebutan kekuasaan di kalangan muslim. Di era modern-kontemporer ini, kemunculan kelompok ekstrem di dunia Islam dilatari oleh berbagai persoalan, mulai dari isu politik dalam negeri, sampai isu ketidakadilan global dan sentimen anti-Barat.
Sentimen Anti-Barat
Di antara tiga isu tersebut, isu anti-Barat tampaknya yang paling dominan membentuk epistemologi berpikir kaum radikal-ekstrem dalam Islam. Kaum radikal-ekstrem beranggapan bahwa kemunduran Islam selama ini disebabkan oleh dominannya peradaban Barat dalam peradaban dunia. Berkebalikan dengan kaum moderat yang menganggap Barat sebagai inspirator kemajuan peradaban, kaum radikal justru menganggap Barat sebagai musuh atau ancaman.
Bagi kaum radikal-ekstrem, Barat adalah kekuatan yang harus dilawan dengan segala macam cara, termasuk cara-cara kekerasan. Fatalnya, perlawanan itu kerapkali dibungkus dengan jubah agama sehingga mengesankan bahwa apa yang dilakukan kaum radikal merupakan perjuangan di jalan Allah. Awalnya, kelompok-kelompok radikal ekstrem Islam ini bermunculan dan berkembang di Kawasan Timur Tengah.
Bagi masyarakat muslim di kawasan Timur Tengah, Barat adalah simbol kebobrokan moral dan sosial. Dari sisi sosial-budaya, Barat adalah representasi dari konsep liberalisme budaya dan gaya hidup. Asas liberalisme yang diyakini masyarakat Barat membuat mereka adaptif pada budaya seks bebas, konsumsi alkohol dan sejenisnya. Dari sisi politik, sistem demokrasi-sekuleristik ala Barat telah menggusur peran agama dalam sistem pemerintahan dan kenegaraan. Sementara dari sisi ekonomi, sistem kapitalisme Barat kerap dianggap sebagai biang ketidakadilan ekonomi global, dimana negara-negara muslim kerapkali diposisikan sebagai kaum marjinal.
Sentimen anti-Barat itu kian menguat di kalangan kelompok ekstrem-radikal di negara-negara Timur Tengah ketika melihat bahwa rezim-rezim otoriter-korup di negara-negara tersebut disokong oleh Barat. Rezim-rezim otoriter dan korup di negara-negara Timur Tengah ini kerapkali bertindak represif dan opresif terhadap rakyatnya. Dalam situasi yang demikian inilah, kelompok radikal-ekstrem tumbuh dan berkembang biak.
Belakangan, radikalisme-ekstremisme atas nama Islam juga masuk ke Indonesia. Ideologi ini dibawa oleh sejumlah organisasi Islam trans-nasional. Dua dasawarsa terakhir ini, sejumlah organisasi Islam trans-nasional gencar menginfiltrasi ruang publik dengan gagasan-gagasan Islam berkarakter ideologis, politis dan militan. Gagasan-gagasan keislaman yang mereka usung dalam banyak hal bertentangan dengan konsep Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), ideologi Pancasila dan semboyan Bineka Tunggal Ika.
Hampir sama dengan apa yang dilakukan di negara-negara kawasan Timur Tengah, kelompok radikal-ekstrem Islam di Indonesia pun gencar membangun narasi dan opini yang tidak jauh dari sentimen anti-Barat dan anti-pemerintah. Kelompok radikal-ekstrem selalu menggiring opini publik bahwa sistem pemerintahan yang diterapkan di Indonesia saat ini tidak sesuai dengan Islam.
Jika diamati secara obyektif, kelompok radikal-ekstrem Islam di Indonesia ini mengandung sesat pikir yang akut. Bagaimana tidak, mereka mengimpor ideologi Islam dari Timur Tengah bercorak radikal-ekstrem yang sama sekali tidak sesuai dengan konteks sosial, politik dan budaya di tanah air. Tidak hanya itu, mereka juga membajak ajaran dan simbol Islam guna memuluskan agenda mereka mengganti dasar, bentuk dan ideologi negara Indonesia. Mimbar-mimbar khotban dan ceramah keagamaan pun mereka bajak demi mempengaruhi publik.
Sesat Pikir Kaum Radikal-Ekstrem
Setidaknya ada empat sesat pikir kalangan kelompok radikal-ekstrem yang mengatasnamakan Islam di Indonesia. Pertama, isu yang mereka usung tidak relevan dengan situasi sosial-politik di Indonesia. Seperti kita ketahui, umat muslim di Indonesia tidak pernah mengalami situasi ekstremisasi seperti dialami kaum muslim di Timur Tengah. Penyebaran dan perkembangan Islam di Indonesia terjadi melalui pendekatan kultural dan berlansung secara damai.
Tidak hanya itu, kondisi masyarakat muslim Indonesia pun tidak berada dalam kondisi tertindas. Negara Indonesia memang bukan negara Islam, namun memberikan kebebasan beragama bagi kaum muslim. Bahkan, sebagai kaum mayoritas, umat muslim mendapatkan berbagai macam keistimewaan. Ini artinya, doktrin jihad dan perjuangan di jalan Allah yang selalu didengungkan oleh kelompok radikal-ekstrem tidak relevan dengan konteks Indonesia.
Kedua, realitas sosial-politik Indonesia cenderung heterogen alias pluralistik dan berbeda dengan realitas sosial-politik di Timur Tengah. Masyarakat Indonesia, terlepas dari agama yang dianutnya, memiliki karakter yang inklusif dan adaptif pada perbedaan. Oleh karena itu, dalam catatan sejarah, radikalsime dan ekstremisme atas nama Islam tidak pernah dikenal apalagi populer dalam masyarakat Indonesia. Jelas bahwa ekstremisme dan radikalisme Islam adalah produk asing yang dijejalkan paksa di kalangan muslim Indonesia.
Ketiga, logika kaum radikal-ekstrem yang menganggap NKRI dan Pancasila bertentangan dengan Islam adalah logika yang sesat dan menyesatkan. Sejak pertama kali disahkan, konsep NKRI dan Pancasila diterima oleh para pendiri bangsa yang sebagian besarnya merupakan tokoh Islam. Para tokoh Islam itu tidak melihat adanya kontradiksi antara bentuk dan dasar negara dengan ajaran atau nilai Islam.
Keempat, rezim yang berkuasa di Indonesia dalam banyak hal berbeda dengan rezim di sejumlah negara muslim di kawasan Timur Tengah yang cenderung berkarakter otoriter. Pasca-Reformasi 1998, pemerintahan Indonesia dikelola dengan sistem demokratis-terbuka dimana masyarakat diberikan kebebasan untuk mengawasi dan mengkritik pemerintah. Pemerintahan di Indonesia pasca-Reformasi ini dikategorikan sebagai soft–regime yang toleran dan menjamin kesetaraan bagi semua warganegara.
Tindakan membajak agama yang dilakukan oleh kaum radikal-ekstrem sudah sepatutnya kita tolak. Ideologi radikalisme dan ekstremisme yang dibawa oleh gerakan Islam transnasional merupakan ancaman terhadap NKRI dan Pancasila. Lebih dari itu, kelompok radikal-ekstrem yang baru muncul belakangan ini jelas tidak punya sumbangsih apa-apa terhadap kelahiran negara ini. Mereka hanyalah penumpang gelap yang mencoba mengambil alih kemudi di tengah jalan. Maka, keberadaannya di bumi pertiwi ini jelas tidak bisa ditoleransi. Negara bersama masyarakat harus berusaha keras mengenyahkan ideologi tersebut dari tanah air tercinta ini.