Membumikan Jihad dari Pesantren

Membumikan Jihad dari Pesantren

- in Kebangsaan
1926
0

Reaktualisasi makna jihad merupakan kerja akademik yang harus berlanjut secara sistematis, berkelanjutan, interdisipliner, akomodatif yang akulturatif dan holistik edukatif.

Fenomena yang tidak humanis agamis saat ini adalah adanya pemaknaan jihad yang monopilistik politis kearah yang represif kriminal oleh kelompok radikal anarkis mewarnai mind set masyarakat dunia. Bukan hanya sebatas mewarnai, akan tetapi melibatkan banyak generasi muda terpengaruh pemikiran yang radikal bahkan rela melakukan aksi bom bunuh diri ditengah khalayak ramai.

Mereka adalah small group big plan, sementara masyarakat madani dan masyarakat kampus, akademisi, tokoh agama, tokoh budaya tidak cukup kuat membangun peradaban yang mencerahkan, kita semua termasuk dalam kelompok silent majority.

Pada prinsipnya kita semua mendapat tantangan untuk fight dengan kelompok yang mendominasi pemaknaan jihad yang terbatas, dangkal, kaku, tidak mengkaji berdasarkan kajian keilmuan yang interdisipliner.

Dipahami bahwa jihad merupakan kewajiban bersama bila dimaknai sebagai tugas suci, mengemban amanah, menuntut ilmu pengetahuan, serta tetap teguh dan penuh kesungguhan melaksanakan tugas dan tanggung jawab baik sebagai komunitas dalam sebuah negara maupun sebagai komunitas dalam ikatan keyakinan keberagamaan.

Fatwa Majelis Ulama Indonesia Nomor 03 Tahun 2014, menegaskan bahwa jihad wajib dan terorisme haram. Membangun analogi yang menyamakam antara terorisme dengan jihad atau aksi jihadis tidak memiliki dasar dan dalil yang aqli dan naqli, bertentangan dengan norma, etika keberagamaam dan bertolak belakang dengan etika dan adat peradaban manusia, karena jihad dalam makna yang komprehensif merupakan perintah yang wajib dilaksanakan, sedangkan terorisme merupakan musuh kemanusiaan, kejahatan luar biasa dan kejahatan lintas negara.

Selain hal tersebut, terorisme juga merupakan crime against state bahkan menjadi crime against humanity.

Persatuan dan kesatuan umat yang utuh, kokoh serta jauh dari egoisme dan keangkuhan intelektual dari para ulama dan ilmuan, dibutuhkan dalam membangun paradigma keilmuan yang “menghidangkan racikan” makna, interpretasi dan aflikasi jihad yang moderat, inklusif, membumi, membawa nilai yang sejuk, menghembuskan “aroma” kemanusiaan yang damai dan sarat dengan kasih sayang sesuai dengan nilai-nilai agama.

Pesantren Pusat Peradaban

Pertengahan Agustus tahun 2016, wakil Presiden RI Muhamad Yusuf Kalla menghadiri acara haul 90 tahun Pesantren Darussalam Gontor yang didirikan pada tahun 1926. Dalam sambutannya, beliau menaruh harapan besar untuk menjadikan pesantren sebagai lembaga dan sekaligus menjadi pusat peradaban keilmuan bukan hanya di kawasan Asia akan tetapi mendunia. Bukan hanya di pulau Jawa terdapat pesantren yang telah banyak melahirkan tokoh-tokoh bangsa, pada tahun 1930 didirikan pula pesantren Ass’sadiyah di Sengkan Wajo Sulawesi Selatan.

Kedua lembaga pendidikan pesantren tersebut, menjadi icon bagi masyarakat Islam Indonesia yang telah banyak melahirkan ulama, cerdik cendekiawan agar jangan ada pihak yang menyalahgunakan pesantren sebagai wadah mempersiapkan kader yang siap melakukan bom bunuh diri, dan jangan pula ada oknum yang menuding dan menaruh curiga terhadap pesantren.

Pesantren bukan lembaga yang lahir untuk dicurigai menyemai bibit teroris seperti yang pernah diberitakan banyak media asing. Pesantren bukan pula tempat menampung anak-anak yang nakal sehingga orang tuanya memasukkan pesantren agar tidak nakal lagi.

Pesantren bukan juga sekumpulan remaja dan pemuda yang hanya memiliki militansi juang tanpa memiliki pemahaman yang dalam tentang cabang keilmuan yang ditekuninya.

Fenomena adanya oknum pelaku bom bunuh diri yang nota bene dari pesantren, bukan merupakan standar umum untuk melakukan generalisasi terhadap semua pesantren yang hanya melahirkan keluaran yang radikal anarkis seperti yang terjadi di salah satu wilayah di Indonesia.

Pesantren merupakan model pendidikan yang khas dimiliki dalam sistem pendidikan di Indonesia, merupakan lembaga yang melahirkan ulama intelek dan intelek ulama.

Hanyalah oknum tertentu yang menyalah gunakan lembaga pendidikan keagamaan seolah semua pesantren memiliki kurikulum dan pengajar yang menyiapkan santrinya untuk menjadi jihadis anarkis.

Antara konsep jihad dan lembaga pendidikan pesantren merupakan dua hal yang harus melembaga, agar pemahaman jihad yang komprehensif dapat dipahami dan diamalkan masyarakat secara umum.

Diharapkan agar semua pesantren bersinergi menampilkan wajah jihad yang humanis, jihad yang memberi kehidupan bukan jihad yang mematikan terlebih jihad yang mati konyol.

Tahun 2015 diungkap sejumlah pesantren terindikasi radikal. Namun semua itu, indikasinya tidak dapat dijadikan standar untuk menyatakan radikal tidaknya sebuah pesantren. Bukan pesantren yang radikal akan tetapi oknum yang menyalahgunakan pesantren sebagai wadah melakukan radikalisasi.

Pesantren yang masuk kategori radikal jumlahnya sangat tidak signifikan, pesantren yang pengurusnya terindikasi radikal hanyalah kasuistik.

Bahkan dalam pengamatan Kementerian Agama tidak ada pesantren yang memiliki kurikulum yang mengajari santri-santri melakukan jihad dalam arti qital, justeru kita berharap lembaga pesantrenlah yang membumikan makna jihad yang holistik komprehensif.

Bahkan dari pondok pesantren pengajaran fiqhi jihad harus tuntas dipelajari oleh semua santri agar tidak dipahami sepotong sepotong yang berakibat pada aflikasi makna jihad yang bertentangan dengan nilai agama dan nilai kebangsaan.

Dapat ditegaskan bahwa tidak ada pesantren yang radikal anarkis. Perlu diwaspadai indikasi adanya oknum yang menyalahgunakan pesantren sebagai lembaga yang melahirkan kader radikal.

Sekali lagi kita semua harus menjadikan lembaga pesantren sebagai pusat peradaban Islam yang menjadikan Indonesia sebagai pusat peradaban pendidikan keagamaan di mata dunia.

Facebook Comments