Agama adalah obyek perbincangan sekaligus perdebatan yang tidak akan lekang dimakan zaman. Hal ini lantaran fungsi agama yang demikian vital bagi sebagian besar masyarakat. Terlebih pula, agama kerap menampakkan wajah ganda. Di satu sisi, agama kerap menjadi pedoman kehidupan, perdamaian dan menuntun manusia pada moralitas individu dan sosial. Namun, di sisi lain agama kerap menjadi penyebab konflik, peperangan, tindak kekerasan, kultus serta berbagai kekacauan lainnya.
Pangkal persoalannya ialah kerancuan manusia yang kerap gagal membedakan antara agama dengan penafsiran keagamaan. Konsekuensinya, perbedaan agama kerap berujung pada tindakan intoleran atau bahkan kekerasan. Menurut Arthur J D’amo intoleransi atas nama agama muncul lantaran para penganut agama meyakini bahwa hanya agama mereka lah yang paling benar. Klaim kebenaran inilah yang membuat para pemuka dan penganut agama menjadi bersikap eksklusif.
Eksklusivisme agama tampak dalam pandangan yang meyakini bahwa hanya ajaran agama yang mereka anutlah yang menyediakan jalan keselamatan dan kebenaran. Sedangkan ajaran agama lain divonis sesat dan menyesatkan. Pandangan eksklusif ini membawa implikasi sosial, yakni tertutupnya pintu komunikasi dan dialog dengan kelompok lain (the others). Ekskluvisime agama jika dibiarkan akan bereskalasi menjadi tindakan intoleransi juga diskriminasi terhadap penganut agama lain.
Pandangan keagamaan yang eksklusivistik ini jelas tidak cocok diterapkan dalam konteks Indonesia yang multikultur dan multirelijius. Seperti kita ketahui, masyarakat Indonesia terdiri atas entitas yang berbeda suku, agama dan ras. Masing-masing memiliki keunikan sekaligus konsep kebenarannya masing-masing. Semua entitas itu harus dihargai, dihormati dan diposisikan secara egaliter atau setara.
Baca Juga :Intoleransi Agama dan Pentingnya Reformasi Pendidikan Kita
Di sinilah pentingnya kita membumikan teologi keberagamaan yang toleran dan moderat. Secara sederhana, keberagamaan yang toleran dan moderat adalah paradigma atau laku beragama yang adaptif pada perbedaan dan selalu bersikap tidak ekstrem dalam menyikapi segala sesuatu. Toleransi agama adalah hal yang menjadi keniscayaan ketika kita hidup di tengah masyarakat yang heterogen. Tanpa toleransi, maka ikatan sosial dan keberagamaan akan menjadi rapuh. Konsekuensinya, masyarakat menjadi lebih mudah curiga, dipecah belah dan diadu domba hingga berujung konflik sosial.
Tidak kalah penting dari bersikap toleran ialah mengembangkan spirit moderat dalam beragama. Hal ini dapat dilakukan salah satunya dengan memahami ajaran agama sesuai dengan kebutuhan dan konteks zaman yang melingkupinya. Kontekstualisasi ajaran agama ini penting agar agama tidak kehilangan relevansinya dengan problematika zaman dan mampu menjawab kegelisahan serta problem umat manusia.
Menempatkan ajaran agama sebagai doktrin yang kaku, pasti, mutlak dan tertutup bagi penafsiran baru –seperti dipraktikkan oleh kalangan neo-konservatif– akan menebalkan perikaku arogan umat beragama. Sebaliknya, memahami ajaran agama dengan pendekatan kontekstual akan membuat umat beragama bersikap fleksibel dan adaptif pada perbedaan pandangan.
Sinergi Bersama
Membumikan teologi keberagamaan yang moderat dan toleran tentu bukan perkara mudah, namun juga bukan hal yang mustahil. Diperlukan kerjasama dan sinergi antara pemerintah, lembaga pendidikan keagamaan, organisasi sosial-kemasyarakatan, tokoh agama serta masyarakat pada umumnya.
Dari sisi pemerintahan atau birokrasi, kita berharap ada aturan yang tegas mengenai praktik keberagamaan di muka umum. Perlu ada undang-undang yang mengatur perilaku keberagamaan agar tidak berpotensi menimbulkan gesekan sosial. Praktik-praktik intoleransi dan kekerasan atas nama agama baik yang dilakukan secara verbal maupun fisik idealnya diselesaikan melalui jalur hukum.
Pelaku tindakan intoleran dan kekerasan atas nama agama harus dihukum setimpal sebagai pelajaran dan efek jera agar hal serupa tidak terulang. Pemerintah harus berani menindak tegas individu atau kelompok yang menyampaikan ajaran keagamaan yang provokatif, memecah belah dan bertentangan dengan spirit toleransi dan moderasi agama. Panggung-panggung ceramah keagamaan, idealnya streril dari ujaran kebencian, fitnah dan hal negatif lainnya.
Selain pemerintah, kita juga berharap lembaga pendidikan mampu menjadi agen bagi terciptanya individu beragama yang toleran dan moderat. Lembaga pendidikan harus mampu mengaplikasikan model pendidikan berbasis multikulturalisme dan pluralisme. Peserta didik idealnya tidak hanya diajarkan tentang ilmu pengetahuan praktis atau teknologi, namun juga diberikan kesadaran tentang pentingnya beragama secara moderat dan toleran. Sekolah hendaknya bisa menjadi laboraturium bersama untuk belajar tentang apa itu pluralisme dan multikulturalisme.
Kita juga berharap, organisasi sosial-kemasyarakatan menyumbangkan perannya dalam membumikan teologi keberagamaan yang berkarakter toleran dan moderat. Ormas keagaman seperti Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah selama ini dikenal sebagai dua ormas yang berada di baris terdepan dalam menyemai Islam yang toleran dan moderat. Ke depan, kedua ormas itu perlu menggandeng ormas-ormas lain agar mau berkomitmen dalam menyebarkan ajaran agama yang toleran dan moderat.
Tokoh-tokoh agama dan masyarakat yang memiliki modal sosial untuk membangun dan mengarahkan opini publik kita harapkan juga tidak lelah mempromosikan keberagamaan yang toleran dan moderat. Sudah saatnya ruang publik kita diisi oleh narasi-narasi keberagamaan yang santun dan mencerahkan, alih-alih hujatan dan cemoohan yang memecah belah. Para tokoh agama dan masyarakat hendaknya bisa menginspirasi umat beragama untuk berlaku santun dan moderat.
Akhirul kalam, upaya membumikan teologi keberagamaan yang toleran dan moderat tentu merupakan tugas bersama antara pemerintah dan masyarakat sipil. Pekerjaan berat dan mendesak itu harus segera dilaksanakan dan dituntaskan. Mengingat arus gelombang konservatisme agama yang berkarakter intoleran kian mengkhawatirkan. Hanya komitmen dan kesadaran penuh dari masyarakat lah yang mampu membendung arus intoleransi dan kekerasan atas nama agama tersebut.