Memperkuat Teologi Kasih dalam Menangkal Teologi Teroris

Memperkuat Teologi Kasih dalam Menangkal Teologi Teroris

- in Narasi
867
1
Memperkuat Teologi Kasih dalam Menangkal Teologi Teroris

//Apakah kita semua benar-benar tulus menyembah pada-Nya/Atau mungkin kita hanya takut pada neraka dan inginkan surga/Jika surga dan neraka tak pernah ada, masihkah kau bersujud kepada-Nya/Jika surga dan neraka tak pernah ada, masih kah kau menyebut nama-Nya/Bisakah kita semua benar-benar sujud sepenuh hati/Karena sungguh memang Dia, memang pantas disembah memang pantas dipuja.//

Demiikan kira-kira bait-bait lagu Dewa 19 yang diilhami oleh syait-syair seorang sufi perempuan yang sangat masyhur, Rabiah Adawiyah. Syait-syair Rabiah memang selalu menggambarkan kehambaan dan ketulusan cinta yang amat mendalam kepada Tuhan. Ia tidak ingin ada satu pun yang menjadikan kehambaan dan ketulusan cintanya, terbelokkan oleh adanya tujuan lain, termasuk surga dan neraka Saking jengkelnya jika adanya surga dan neraka itu menjadikan tujuan penghambaan manusia berbelok, Rabiah pun bermaksud hendak “membakar surga dan menyiram api neraka”.

Mereka hanya menghamba kepada agama untuk mendapatkan surga, tetapi lupa pada kenyataan bahwa agama dilahirkan untuk menciptakan kerukunan. Coba kita perhatikan, berapa banyak konflik yang diakibatkan oleh semangat beragama yang menggebu-gebu. Banyak sekali nyawa melayang, darah tertumpah hanya karena ingin dikatakan “membela” Tuhan. Tapi, juga kita temukan banyak sekali orang berhasil dirukunkan juga oleh agama.

Konflik dan integrasi adalah bagian tak terpisahkan dalam kehidupan. Keduanya dalam masyarakat sesungguhnya berada dalam hubungan yang dialektis, bukan bertentangan. Keduanya sama-sama dibutuhkan. Keduanya merupakan aspek-aspek dari realitas social yang sama. Hal ini berkaitan dengan pencarian manusia akan pemenuhan hidupnya. Mungkin konflik sering dimaknai secara negative, akan tetapi sebenarnya, konflik bisa berfungsi negatif maupun positif atau dapat berfungsi sebagai factor integrative maupun disintegratif di dalam masyarakat tergantung bagaimana masyarakat itu menyikapinya.

Baca juga :Runtuhkan Ideologi ISIS dengan Ideologi Pancasila

Sungguh agama kita tidak mengajarkan kebencian dan kebiadaban seperti itu. Agama apapun, saya kira akan mengutuk tindakan ini, akan mengecam mereka yang tidak dapat menahan amarah dengan membunuh, atau membakar tubuh manusia. Ini tindakan biadab, bar-bar, dan menyakitkan.

Nilai-nilai keindonesiaan kita juga tidak mengajarkan cara-cara keji seperti itu. Masih ada ruang bertanya, proses pengadilan dan seterusnya. Masih ada pemerintah desa, polisi dan aparat hukum yang berwenang mengurusnya. Ataukah, masyarakat kita sudah jenuh dengan rentetan proses hukum yang kadang berbelit? Atau, yang lebih mengkhawatirkan, akankah agama sudah disalip oleh amarah? Dimana Islam Indonesia yang dianggap sebagai rujukan toleransi umat beragama?

Di tengah letupan amarah, kebencian dan gelombang prasangka yang sedang pasang, kita perlu berhenti sejenak untuk merenung. Kita perlu jeda untuk memikirkan kembali sisi kemanusiaan kita, nilai luhur Nusantara yang sering diagung-agungkan.

Saya kira tidak. Masih ada harapan untuk berbuat baik dan menebar kasih sayang, mengkampanyekan welas asih. Orang-orang dengan beragam komunitasnya masih tetap menebar kebaikan, dengan caranya masing-masing, dengan tiap-tiap kemampuannya.

Seperti halnya agama Islam, merupakan sebuah sistem ajaran yang begitu kompleks. Berjalannya waktu, ajaran yang begitu sempurna semakin memudar. Dan beberapa orang yang menganggap dirinya penganut Islam yang taat, tidak memperlihatkan ajaran Islam itu seperti apa, melainkan memperburuk Islam sendiri. Kita bisa lihat bagaimana ajaran Islam bahkan ayat-ayat suci diperalat demi keuntungan pribadi.

Kehadiran Islam di pelbagai negara mempunyai keanekaragaman dalam hubungan dengan hakikat dan jejak kebudayaan masyarakat di masing-masing negara. Seperti halnya pemikiran Toshihiko Izurtsu yang memiliki ciri kas dari daerah-daerah lainnya. Toshihiko Izutsu merupakan pakar keislaman Jepang yang karya-karyanya banyak dirujuk dan menginspirasi dalam studi Islam, terutama dalam studi al-Quran, tasawuf, dan filsafat.

Menurut Toshihiko Izutsu al-Qur’an bisa didekati dengan sejumlah pendekatan yang beragam, seperti psikologi, sosiologi, antropologi, neurologi, fisiologi, biologi, filsafat analitis, logika simbolik, matematika, elektronik, dan masih banyak lagi, tidak terkecuali semantic, studi tentang makna. Diantara sekian banyaknya pendekatan yang ada, Toshihiko Izutsu konsisten menggunakan pendekatan linguistik khususnya semantik al-Qur’an.

Toshihiko Izutsu juga menyatakan bahwa ditilik dari sudut fakta, ayat al-Qur’an itu ditakdirkan berkembang tidak hanya sebagai suatu agama belaka tetapi sebagai kebudayaan dan peradaban. Oleh karena itu, kandungan al-Qur’an diakui sebagai suatu yang teramat agung dalam lapangan etika sosial yang berisikan konsep-konsep yang berkaitan dengan kehidupan sehari-hari bagi orang banyak di dalam masyarakat.

Facebook Comments