Memutus Mata Rantai Nalar Teror Pasca ISIS

Memutus Mata Rantai Nalar Teror Pasca ISIS

- in Narasi
1225
1
Memutus Mata Rantai Nalar Teror Pasca ISIS

ISIS secara kelembagaan boleh saja sudah tumbang dan tersungkur hingga ke dasar, tapi tidak dengan nalarnya. Nalar dan lembaga adalah dua yang berbeda. Yang pertama adalah ibarat mesin yang bersifat abstrak yang tertanam di alam sadar manusia. Sementara yang kedua adalah perwujudan konkritnya di dalam dunia realita. Jika yang terakhir mudah dideteksi, dilacak, dan dibasmi, maka tidak dengan yang pertama. Ia sangat sulit dideteksi dan dibasmi kalau tidak dengan secara serius dan terus menerus. Kita boleh bergembira dengan runtuhnya ISIS, tapi tugas kita belum selesai. Nalar terror –yang menganggap orang/pihak lain kafir, halal darahnya, harus dimusnahkan –masih terus ada, dan mungkin masih berkeliaran di sekitar kita. Sama dengan kelompok Khawarij, secara kelembagaan sudah musnah berabad-abad yang lalu, tapi nalar Khawarij –kaku, mau benar sendiri, tekstualis, menegasikan orang lain –masih hidup sampai sekarang.

Tugas kita dalam konteks ini adalah memutus mata rantai nalar terror itu. Nalar yang tidak mengakui pluralitas, tidak menghargai pihak lain, tidak mengakuai hukum manusia sebagai pegangan bersama, berusaha untuk mengubah sistem Negara yang sudah disepakati, menegasikan orang/pihak lain –harus sedini mungkin diputus. Nalar seperti ini masih banyak dijumpai di media sosial, bahkan dengan bebas dan riangnya mereka mengampanyekannya. Nalar dan paham seperti inilah yang harus diberantas secara bersama-sama.

Ibarat pohon besar, ISIS adalah batang pohonnya, sementara akar yang menghujam ke dasar tanah adalah nalarnya. Menumbangkan pohon, tentu tidak berhenti hanya memotong batangnya saja, tapi harus mengikis dan membongkar akar-akarnya juga. Karena boleh jadi, sisi batang pohon ini masih bisa menumbuhkan cabang batang pohon lagi. Artinya nalar terror bisa tumbuh secara kelembagaan sesuai dengan situasi dan kondisinya.

Baca juga :HAMKA dan Inspirasi Menjadi Pewarta

Hasil penelitian Aksin Wijaya (2018: 22) dalam bukunya Dari Membela Tuhan ke Membela Manusia: Kritik atas Nalar Agamaisasi Kekarasan menemukan dua poin nalar kaum radikal dan ekstrim ini, yakni al-hakimiyah dan jihad fi sabillah. Al-hakimiyah adalah nalar yang menganggap bahwa hakim, pengusa, dan pembuat hukum yang sejati adalah Allah. Nalar ini berimplikasi, bahwa aturan dan hukum yang tidak berdasarkan pada Allah maka itu adalah thagut, yang harus diperangi. Akibatnya bagi kelompok ini demokrasi, Pancasila, dan segala turunannya adalah sistem thagut, karena itu adalah hasil produk pemikiran manusia. Sistem Negara Kesatuan Republik Indosnesia dengan sendirinya tidak sah, harus diganti. Usaha untuk mengganti ini terus-menerus dilakukan, dengan segala cara, kapan dan di mana pun.

Usaha-Usaha untuk menegakkan kuasa dan hukum Tuhan (al-hakimiyyah al-ilahiyah) mereka sebut dengan istilah jihad fi sabilllah, yakni berjuang dengan segala daya dan upaya di jalan Allah. Berjihad ini harus dilakukan oleh siapa pun yang mengakuai bahwa Allah adalah pengausa dan pembuat hukum yang sebenarnya. Jihad dilakukan dengan segala pengorbanan bahkan sampai mati. Tak syak lagi, perang sering dijadikan sebagai sarana. Bagi kelompok ini, mati di jalan Allah adalah syahid, dan pasti masuk surga.

Kedua poin inilah yang dijadikan oleh kaum radikalisme dan ekstrimisme sebagai landasan baik dalam bersikap, berpikir, dan berprilaku. Kedua poin ini, tentu harus diputus dengan cara, pertama, menggeser nalar dari al-hakimiyah al-ilahiyah (Tuhan adalah hakim/pembuat hukum) menuju al-hakimiyah al-basyariyah (manusia sebagai pembuat hukum). Implikasinya, tidak ada lagi yang mengkalaim, bahwa ini sistem thagut, itu sistem kafir, dan sebagainya. Kedua, dekonstruksi makna jihad fi sabilillah, bahwa jihad itu adalah hudup di jalan Allah, bukan mati di jalan Allah.

Pemutusan nalar ini perlu dialukan sedini mungkin dan oleh segenap komponen masyarakat. Jika nalar terror bisa dibasmi, maka yang akan muncul adalah nalar kedamaian. Setiap upaya untuk men-sakralisasi kekerasan dan agamaisasi kebencian harus dicegah sedini dan secepat mungkin. Dehumanasisasi dengan cara terror harus ditolak mentah-mentah.

Facebook Comments