Memutus Mata Rantai Radikalisme

Memutus Mata Rantai Radikalisme

- in Narasi
866
1
Memutus Mata Rantai RadikalismeIlustrasi

Meski perlawanan terhadap persebaran ideologi radikalisme dan terorisme telah dilakukan hingga saat ini, dan keberadaan ISIS sebagai kelompok teroris transnasional telah dibubarkan, nyatanya terorisme masih saja menjadi ancaman nyata terhadap kebinekaan NKRI. Apalagi kalangan pemeluk agama Islam, mereka bisa saja terjerat dalam ideologi terorisme yang disebarkan oleh oknum-oknum mantan anggota ISIS. Pasalnya, walaupun organisasinya telah hancur, akan tetapi karena pemikiran yang telah mengakar tersebut masih eksis, maka ancaman teror masih saja perlu diwaspadai.

Apalagi di era kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, program penyebaran paham ideologi terorisme justru menjadi kian mudah dan semakin sulit dilacak. Kejadian bom bunuh diri yang dilakukan oleh seorang pemuda di salah satu Pos Pengamanan Polisi di Kartasura pada Juni 2019 merupakan salah satu contoh nyata betapa berbahayanya ideologi terorisme yang disebar lewat media online. Diketahui bahwa pemuda inisial RA (22) ini terpapar paham radikal ISIS dan mencoba untuk membuat bom hanya bermodalkan internet. Pada tahun 2016, remaja yang baru lulus sekolah menengah atas, IAH (18), melakukan aksi teror di gereja di Medan. Dia juga mengalami proses sama self-radicalization dengan belajar merakit bom melalui media sosial.

Identifikasi Sebab

Oleh karena masih maraknya paham radikalisme yang tersebar di Indonesia, pembacaan terhadap kondisi secara menyeluruh harus dilakukan secara komprehensif agar dapat memutus mata rantai ideologi tersebut secara tuntas. Mengingat, meski upaya ditunaikan, radikalisme tetap saja masih mengancam. Terdapat tiga teori yang dapat menjelaskan faktor penyebab kemunculan ideologi terorisme dan mudahnya seseorang terjebak dalam ideologi tersebut.

Pertama, teori struktural. Menurut teori ini, hal-hal bersifat eksternal seperti politik, sosial, budaya, dan ekonomi menjadi faktor penyebab terorisme. Faktor tersebut bisa muncul akibat akumulasi kekecewaan kelompok radikalis terhadap kegagalan elite dalam merealisasikan penegakan hukum (law enforcement) dan cita-cita politik Islam. Ini dapat dipahami karena gerakan keagamaan bercorak radikal selalu memiliki agenda politik seperti mendirikan negara Islam dan formalisasi syariah.

Kedua, teori psikologi. Kondisi diri sesorang juga bisa ditelusuri mengapa seseorang termotivasi dan terpesona untuk bergabung dengan gerakan terorisme. Melalui penjelasan psikologi dapat diketahui latar belakang sosial dan kejiwaan pelaku terorisme, mulai proses rekrutmen, pengenalan, kepribadian, penanaman ideologi, hingga motivasi anggotanya. Misalnya, ditemukan fakta bahwa pelaku terorisme adalah mereka yang mengalami keterasingan sosial (alienasi). Dalam kondisi ini, tak heran para pelaku terorisme dengan sukarela mereka siap menjadi ”pengantin” untuk melakukan bom bunuh diri karena tidak eksistensi mereka sudah sejak awal diabaikan oleh lingkungannya.

Baca juga :Bertolak Dari yang Ada

Ketiga, teori pilihan rasional. Dalam teori ini, kalkulasi untung-rugi merupakan hal yang menjadi pertimbangan pelaku terorisme. Fakta itu menunjukkan adanya alasan ekonomi dan keagamaan di balik keberanian mereka bergabung dengan gerakan radikalisme. Misalnya, dengan dalam masuk jaringan terorisme dan melakukan bunuh diri, keluarga terdekatnya akan mendapatkan kekayaan dalam jumlah besar, dan serta mendapat iming-iming surga kelak ketika ia mau mati syahid.

Langkah Strategis

Beberapa langkah strategis yang dapat dilakukan untuk mencegah terorisme ialah: pertama, mengatasi persoalan ketimpangan dan ketidakadilan sosial, ekonomi, hukum, dan politik. Kita pahami, kondisi Indonesia saat ini sangat jauh dari terwujudnya keadilan dan kesejahteraan. Maraknya kasus korupsi oleh elite politik dan praktik hukum yang tumpul ke atas dan tajam ke bawah. Di sisi lain, aspek ekonomi Indonesia juga masih sangat jauh dari kondisi sejahtera. Maka itu, menyelesaikan persoalan tersebut adalah hal utama yang perlu dilakukan guna mencegah adanya tindakan radikalisme yang dilakukan oleh warga negara Indonesia (WNI).

Kedua, menegakkan pilar-pilar civil society di lingkungan masyarakat. Dalam hal ini, kita bisa menanamkan serta menerapkan prinsip sikap waspada radikalisme dengan senantiasa mengedepankan sikap cinta damai dan toleransi (tasamuh). Keluarga adalah kunci pembangunan pilar-pilar ini agar semakin efektif menghindar dari bahaya ideologi radikalise. Pemahaman agama di keluarga harus makin ditingkatkan agar tidak mudah dipengaruhi kelompok teroris. Misalnya, pemahaman tentang jihad dan hijrah harus benar. Sehingga tidak mudah dimanipulasi pihak lain dengan definisi bahwa jihad agar mendapat surga harus dilakukan dengan bunuh diri. Mengingat, sentimen identitas keagamaan masih menjadi topik sentral yang digunakan oleh radikalis untuk menyulut perilaku radikal di masyarakat.

Ketiga, siskamling dunia maya perlu digalakkan. Siskamling ini bukan hanya dilakukan untuk mendeteksi konten-konten yang menyebarkan paham terorisme dan memblokir serta melaporkannya, namun juga perlawanan terhadap propaganda anti-perdamaian. Dalam konteks tersebut, badan intelijen dan polisi siber harus makin cerdas mengendus situasi seiring dengan kemajuan teknologi yang luar biasa. Hanya, untuk hasil optimal, sinergitas siskamling bersama masyarakat sipil pengguna internet juga harus dilakukan.

Keempat, mendorong peran masyarakat untuk saling mengawasi komunitas di sekitarnya sebagai bentuk strategi membangun sistem deteksi dini (cegah-tangkal) terorisme. Sehingga, jaringan teroris tidak akan bisa beraksi atau membentuk kelompok di daerah tersebut. Wallahu a’lam.

Facebook Comments