Menakar Pencegahan Terorisme Pasca Bubarnya JI

Menakar Pencegahan Terorisme Pasca Bubarnya JI

- in Analisa
133
0

Tepatnya pada tanggal 30 Juni 2024 bertempat di salah satu hotel di Bogor, Jamaah Islamiyah mendeklrasikan pembubaran diri. Dihadiri 16 tokoh seniornya, sebagaimana dalam video yang beredar, mereka menyatakan pembubaran JI dan kembali ke pangkuan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Ada apa sebenarnya? Apakah pengumuman ini menandai akhir perjalanan JI yang disebut kelompok teroris paling berpengaruh di Asia Tenggara? Ataukah ini hanya strategi baru dalam mengamankan diri? Apakah ini berarti sebuah kesuksesan penegakan hukum dan deradikalisasi? Lalu, apa kebijakan ke depan setelah pembubaran ini?

Tentu banyak pro dan kontra menyikapi berita pembubaran ini. Namun, dalam beberapa keterangan, keputusan pembubaran ini bukan hal baru. Jauh sebelumnya telah ada pembicaraan di tingkat elite mereka untuk melakukan pembubaran karena kondisi yang semakin tidak memungkinkan mereka berkembang. Hal ini tentu harus dibaca lebih komprehensif selain dipicu oleh faktor internal kelompok tersebut, termasuk perpecahan internal dan tekanan eksternal, tentu tidak bisa dilepaskan keberhasilan penegakan hukum dan program deradikalisasi pemerintah.

Sejarah JI: Titik Balik Kebijakan Terorisme di Indonesia

Sebelum lebih jauh membahas kerumitan pembubaran JI, kita ketahui kelompok ini merupakan organisasi teroris yang menandai perubahan baru dalam kebijakan terorisme di Indonesia. Jamaah Islamiyah (JI) yang didirikan pada akhir tahun 1980-an oleh Abdullah Sungkar dan Abu Bakar Ba’asyir, dengan tujuan awal untuk mendirikan negara Islam di Indonesia berperan penting dalam mendorong lahirnya kebijakan baru terorisme pada masa itu.

Pengeboman di Bali pada tahun 2002 yang menewaskan lebih dari 200 orang telah mendorong pemerintah melahirkan banyak kebijakan dari regulasi, lembaga penegak hukum khusus terorisme hingga badan anti teror. Aksi-aksi teror yang mereka pentaskan di ruang publik telah banyak menimbulkan banyak korban lewat tragedi yang berulang-ulang. Tahun 2000-an adalah zaman kejayaan pentas aksi terorisme JI pada masanya, termasuk pengeboman hotel JW Marriott di Jakarta pada tahun 2003 dan pengeboman Kedutaan Besar Australia pada tahun 2004 dan masih banyak yang lain.

Keterlibatan JI dalam terorisme di Indonesia membuat organisasi ini masuk dalam Daftar Teroris Teridentifikasi dan Terduga (DTTOT) yang dikeluarkan oleh berbagai negara, termasuk Amerika Serikat dan Australia. Seiring waktu, jaringan JI berkembang luas, mencakup berbagai wilayah di Indonesia dan negara-negara tetangga di Asia Tenggara.

JI telah memainkan peran penting dalam jejaring terorisme di Indonesia. Ia seolah menjadi induk dari kaderisasi pejuang militant yang berangkat ke luar negeri atau memilih jalan sendiri di dalam negeri. Pasca munculnya ISIS dari gelombang Arab Spring di Irak dan Suriah, JI menjadi lumbung kader yang menyumbangkan anggotanya untuk hijrah ke dalam organisasi baru yang lebih militant dan brutal.

JI memang hampir kalah tenar dengan ISIS di Indonesia pada tahun 2014. Seluruh aksi teror banyak dibidani oleh kader instan ISIS terutama JAD. Nampak perubahan aksi teror di Indonesia yang lebih brutal, tetapi tidak dengan persiapan yang matang sebagaimana dilakukan oleh JI.

Namun, di tengah kalar tenarnya dengan kelompok ISIS yang memilih musuh tidak hanya musuh jauh, tetapi musuh dekat pun disikat, JI lebih memilih penguatan organisasi. JI tidak ikut andil dalam euphoria ISIS yang menggemakan perang di berbagai belahan dunia. JI bermain dengan lebih elegan.

Siasat Baru JI Berujung Penegakan Hukum

Di tengah megahnya panggung aksi kader ISIS, di saat yang bersamaan, JI memilih untuk tiarap dengan melakukan kaderisasi, pengumpulan dana hingga konsolidasi organisasi. JI banyak “menitipkan” kadernya di beberapa lembaga masyarakat, partai politik hingga pemerintahan. Ada perubahan yang dilakukan JI dengan pendekatan tamkin atau penguasaan wilayah. Sambil lalu, secara organisasi mereka aktif menggalang dana dan membangun pusat-pusat pendidikan.

Gerakan ini pun tercium oleh aparat penegak hukum. Densus 88, satuan khusus anti-terorisme Polri, telah melakukan berbagai operasi untuk menangkap aktivis JI. Penangkapan ini termasuk tokoh-tokoh penting JI dan simpatisannya. Selain itu, Densus 88 juga menargetkan lembaga pendidikan yang terkait dengan JI, yang sering digunakan sebagai tempat rekrutmen dan penyebaran ideologi radikal. Penutupan pesantren dan lembaga pendidikan lainnya merupakan bagian dari upaya untuk memutus jaringan rekrutmen JI.

Densus 88 juga berhasil membongkar jaringan pendanaan JI, yang seringkali menggunakan jalur amal dan yayasan sosial untuk mengumpulkan dana. Operasi ini termasuk penyitaan aset dan pembekuan rekening bank yang digunakan untuk mendanai kegiatan teroris. Upaya ini telah secara signifikan melemahkan kemampuan JI untuk menjalankan operasinya.

Pembubaran JI : Antara Ketulusan atau Menghindari Stigma dan Jeratan Hukum?

Bubarnya JI yang secara sukarela tanpa intervensi hukum langsung dari pemerintah, berbeda dengan kasus pembubaran FPI dan HTI. Hal ini menunjukkan keberhasilan pendekatan deradikalisasi dan penegakan hukum. Artinya, memang negara tidak perlu melalukan tekanan pendekatan hukum dalam membubarkan organisasi ini.

Satu hal lagi, Program Deradikalisasi bisa dikatakan berhasil. Pembubaran ini menunjukkan bahwa program deradikalisasi yang dijalankan oleh pemerintah efektif dalam mengubah pandangan anggota JI. Inilah kesuksesan yang tidak hanya kesuksesan merubah individu tetapi deradikalisasi organisatoris.

Jika dilihat dari pembubaran ini, terlihat adanya kerapuhan dalam kepemimpinan kelompok tersebut, yang membuat mereka tidak mampu lagi mengorganisir jaringan yang luas dan solid seperti sebelumnya. Ketakutan terhadap penegakan hukum terhadap aset-aset JI telah menyebabkan mereka menjadi terpecah.

Namun, hal penting diperhatikan dengan bubarnya JI secara organisasi, individu bergerak tanpa beban masa lalu. Anggota JI yang telah bubar dapat bergerak lebih bebas tanpa beban label dan beban masa lalu yang terkait dengan JI, sehingga mereka bisa masuk ke sektor-sektor publik tanpa dicurigai. Mereka bisa masuk ke sektor pemerintahan, organisasi kemasyarakatan dan partai politik dengan bebas.

Begitu pula, lembaga di bawah JI dengan demikian seolah terbebas dari stigma afiliasi. Lembaga-lembaga yang sebelumnya terkait dengan JI kini dapat beroperasi tanpa keterikatan langsung, sehingga lebih sulit untuk diawasi. Mereka seolah menjadi lembaga legal yang tidak terkait dengan organisasi teroris.

Demikian pula, lumbung dana yang selama ini aktif akan berjalan kembali. Pendanaan kegiatan ini bisa menjadi lebih tersembunyi karena tidak lagi terpusat pada satu organisasi yang teridentifikasi. Dan tentu saja, tidak ada penegakan hukum yang bisa menjerat mereka karena bubarnya organisasi ini. Tentu ini akan menjadi pekerjaan rumah bagi aparat penegak hukum untuk lebih jeli mengidentifikasi gerakan mereka.

Kebijakan Pasca Bubarnya JI

Pembubaran JI bukan berarti pembubaran ideologi dan cita-cita mereka. Perlu kewapadaan yang lebih ekstra dalam melihat persoalan ini. Karena itulah, langkah-langkah kontra-terorisme perlu difokuskan pada beberapa area kunci:

  1. Pemantauan Mantan Anggota: Meskipun JI telah bubar, pemantauan terhadap mantan anggota harus tetap dilakukan untuk memastikan mereka tidak kembali ke aktivitas teroris atau mendirikan organisasi baru yang memiliki aktivitas yang sama.
  2. Penguatan Program Deradikalisasi: Program deradikalisasi perlu diperkuat dan diperluas, mencakup dukungan psikologis dan sosial untuk mantan anggota teroris.
  3. Pengawasan Finansial: Pengawasan yang ketat terhadap aliran dana yang mencurigakan harus terus dilakukan untuk mencegah pendanaan terorisme. Pengawasan ini akan lebih berat karena secara organisasi JI telah dibubarkan.
  4. Pendidikan dan Penyadaran: ruang publik dan masyarakat perlu ditingkatkan agar tidak mudah tersusupi oleh invidu dan kelompok yang selama ini aktif di JI dengan memanfaatkan lembaga dan organisasi publik.

Bubarnya JI adalah kemenangan signifikan dalam perang melawan terorisme secara struktural, namun tantangan kulturalnya tentu masih ada. Pemerintah dan masyarakat harus terus bekerja sama untuk memastikan bahwa ideologi radikal tidak kembali bangkit dengan memakai strategi baru.

Facebook Comments