Kata santri menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) berati “orang yang mendalami agama Islam, orang yang beribadat dengan sungguh-sungguh (orang yang shaleh), orang yang mendalami pengajiannya dalam agama Islam dengan berguru ketempat yang jauh, seperti pesantren dan lain sebagainya. Nurkholis Madjid berpendapat jika kata Santri berasal dari kata “Cantrik” (bahasa sansekerta atau jawa), yang berarti orang yang selalu mengikuti guru. Sedang versi yang lain menganggap kata “Santri” sebagai gabungan antara kata “saint” (manusia baik) dan kata “tra” (suka menolong). Sehingga kata pesantren dapat berarti tempat pendidikan manusia baik-baik.
Berbicara mengenai Santri maka tidak akan jauh dari pondok pesantren, ketika berbicara tentang pondok pesantren maka kita tidak akan jauh dari Nahdlatul Ulama (NU). Organisasi keagamaan terbesar di Indonesia bahkan di dunia tersebut memang identik dengan pondok pesantren dan para santrinya. Hal tersebut terbukti ketika KH. Hasyim Asy’ari pendiri NU mengeluarkan fatwa tentang resolusi jihad dapat membakar semangat para santrinya untuk berjuang mengusir penjajah bangsa Indonesia.
Kalangan Santri NU dalam menjalankaan kesehariannya tidak serta merta melepaskan pembahasan mengeai Khittah NU. Khittah ini terkait dengan asas, dasar, sikap, dan perilaku santri NU dalam kehidupan sehari-hari, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Secara garis besar Khittah ini oleh pemahaman bahwa Islam adalah rahmat bagi seluruh alam. Dalam mengamalkan Al Qur’an prinsip yang dipegang teguh santri NU adalah memahami dan mengambil dasar dari Al Qur’an secara utuh dan menyeluruh. Prinsip ini yang dijadikan landasan penting dalam mengambil hukum(istinbath).
Termasuk di dalam sini adalah sikap para santri NU terhadap menjaga dan menegakkan NKRI. Santri NU telah terbukti dalam sejarah perkembangan bangsa dalam menjaga dan mempertahankan keutuhan NKRI. Dalam rangka kerangka pemikiran seperti ini para Santri sangat paham jika NKRI ini adalah sebagai wujud hasil komiten dan perjuangan bersama anatar tokoh bangsa dari berbagai latar belakang, baik dari yang muslim maupun yang non muslim. Dari kalangan muslim ada Agus Salim, Wahid Hasyim, Soekarno, Muhammad Hatta dan tokoh-tokoh muslim yang lain. Sedangkan dari kalangan non muslim ada AA Maramis dan beberapa tokoh non muslim lain. Persatuan dan kemauan untuk saling mengerti demi kemaslahatan seluruh bangsa Indonesia terbukti mampu menjaga keutuhan NKRI hingga sekarang. Hal tersebut yang harus diteladani oleh para santri di zaman sekarang ini.
Jihad Kontekstual
Dalam konteks kekinian dengan arus globalisasi yang semakin bebas ini negara-negara asing tidak lagi menjajah secara fisik NKRI namun menjajah melalui pengaruh ideologi. kita harus memandang bahwa Jihad mengalami peleburan makna dan metamorfosa bentuk. Pada awalnya jihad dimaknai dalam makna qital seperti yang dipahami oleh mainstream muslim. Yakni mengangkat senjata memerangi orang-orang kafir yang memusuhi Islam dan kaum muslim. Perang ini dilakukan dalam rangka menolong agama Allah. Ini pemahaman awal menganai jihad. Namun dewasa ini juga masih banyak pemahaman jihad yang seperti itu, pemahaman radikal yang seharusnya tidak pas untuk dijalankan di Indonesia. Pemahaman tersebut dibawa oleh kelompok-kelompok tertentu yang tidak suka dengan persatuan bangsa Indonesia dengan tujuan memecah belah bangsa. Dengan kedok pesantren mereka membangun kekuatan untuk menyebarkan ajaran radikal mereka.
Semakin gencarnya kelompok-kelompok radikal menyebarkan ajarannya membuat generasi pemuda Indonesia mulai banyak yang terpengaruh, termasuk kaum muda yang gagal dalam memahami tentang jihad. Santri sebagai salah satu agen penerus perjuangan para ulama harus merasa memiliki tanggung jawab untuk mejaga persatuan bangsa ini dari rong-rongan kaum radikal yang semakin hari semakin menggerogoti sendi-sendi dalam berbangsa dan bernegara. Perjuangan santri dalam melawan kejahatan ideologi saat ini sangat diperlukan sebagai salah satu bentuk lain dari berjihad. Radikalisme sangat berbahaya bagi bangsa Indonesia sehingga melawan radikalisme adalah sebuah jihad mutakhir.
Santri harus dapat memberikan contoh bagi para pemuda di Indonesia untuk bersungguh-sungguh dalam belajar mendalami ilmu agama sebagai salah satu wujud jihad menjaga persatuan NKRI. Hal ini harus menjadi motivasi bagi para pemuda khususnya kaum santri untuk serius belajar kepada para alim ulama. Belajar mencari ilmu harus diniati ikhlas karena mencari ridlo Allah SWT, bukan karena yang lain. Keikhlasan mencari ridla Allah ini juga dapat menjadi wujud jihad yang lain.
Setelah mencari ilmu dan ilmu telah didapatkan, maka bentuk jihad selanjutnya adalah mengamalkan ilmu yang didapat sebanyak mungkin dengan ikhlas. Bentuk jihad dengan menyebarkan ilmu kepada orang lain ini dalam rangka usaha dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, agar generasi-generasi penerus bangsa Indonesia ini memiliki bekal yang kuat dalam berbangsa dan bernegara agar tidak mudah untuk dipengaruhi oleh ideologi-ideoogi radikal.
Terakhir bentuk jihad di zaman now adalah berupaya untuk memperbaiki diri untuk menjadi peribadi yang baik. Selain itu upaya lain yang perlu dilakukan adalah membatasi diri dari bersahabat dengan kaum radikalis dengan memegang teguh ideologi negara Pancasila dan Undang-undang Dasar (UUD) 1945. Hal tersebut juga salah satu wujud jihad yang nyata dalam menjaga keutuhan bangsa Indonesia. Dan yang terakhir tak kalah penting adalah santri harus mampu menerima, saran, kritik dan masukan dari pihak lain agar kehidupan menjadi lebih baik dan tidak menjadi pribadi yang kagetan dalam berbagai persoalan kemasyarakatan maupun dalam menjalankan berbangsa dan bernegara.