Mengapa Ramadan Menjadi Momentum Aksi Teror Kelompok Radikal?

Mengapa Ramadan Menjadi Momentum Aksi Teror Kelompok Radikal?

- in Faktual
1150
0
Mengapa Ramadan Menjadi Momentum Aksi Teror Kelompok Radikal?

Densus 88 menangkap sejumlah teroris di sejumlah tempat di Lampung. Enam teroris dibekuk, 2 diantaranya tewas lantaran melawan petugas. Penangkapan itu diwarnai aksi tembak-menembak antara teroris dan Densus.

Diketahui, para teroris itu berafiliasi dengan Jamaah Islamiyyah (JI). Penggerebekanitu pun dilatari informasi adanya rencana serangan teror yang akan dilakukan di momen akhir bulan Ramadan dan pada saat perayaan Idul Fitri.

Ramadan memang menjadi momentum bagi kelompok radikal-ekstrem untuk unjuk diri dengan melakukan aksi teror. Dalam beberapa tahun terakhir, kelompok radikal selalu memanfaatkan bulan Ramadan untuk melancarkan aksi kejinya. Terakhir, aksi teror di bukan Ramadan terjadi pada tahun 2019 lalu.

Yakni ketika sebuah bom meledak di Pos Polisi Kartasura, Jawa Tengah. Peristiwa yang terjadi di penghujung bulan Ramadan itu dilakukan oleh teroris yang berafiliasi dengan Jamaah Ansharud Daulah (JAD). Sebelumnya, deretan teror di bulan Ramadan berkali-kali terjadi. Pada tahun 2012, terjadi dua kali aksi terorisme.

Yakni penembakan Pos Polisi Gemblengan dan pelemparan granat ke Pos Pengamanan Gladak, Solo Jawa Tengah. Pelaku juga merupakan anggota JAD. Pada Ramadan tahun 2016, terjadi bom bunuh diri di Kantor Mapolresta Solo, Jawa Tengah. Pelaku yang merupakan anggota JAD itu diketahui sebagai simpatisan ISIS. Di Ramadan tahun 2017 terjadi teror bom panci di Kampung Melayu, Jakarta Timur. Aksi teror ini menewaskan lima orang. Lagi-lagi, pelakunya ialah anggota JAD.

Sedangkan pada tahun 2018, aksi teror besar terjadi di tiga gereja di Surabaya. Pelakunya adalah lima orang yang merupakan satu keluarga (bapak, ibu, dan anak). Aksi ini menewaskan 13 korban. Peristiwa ini terjadi beberapa hari menjelang bulan suci Ramadan. Sehari setelahnya, aksi serupa terjadi di Mapolresta Surabaya dan juga dilakukan oleh satu keluarga. Para pelaku bom Surabaya ini diketahui berafiliasi dengan JAD dan ISIS. Masih di tahun 2018, sehari jelang Ramadan Mapolda Riau diserang sejumlah teroris. Satu provost dan dua wartawan terluka. Aksi ini dilakukan oleh kelompok JAD.

Mencegah Teror Keji di Bulan Suci

Dari serangkaian peristiwa teror yang terjadi di bulan Ramadan atau mendekati Ramadan itu ada satu benang merah yang tampak. Yakni bahwa pelaku kebanyakan berafiliasi dengan organisasi JAD atau ISIS. Dua organisasi teroris ini memang dikenal memiliki doktrin kepada para anggotanya, yakni menjadikan Ramadan sebagai momentum aksi teror. Pertanyaannya, mengapa mereka menjadikan Ramadan sebagai momentum aksi teror? Ada setidaknya tiga tinjauan untuk melihat fenomena ini.

Pertama, tinjauan teologis yakni adanya keyakinan bahwa Ramadan merupakan bulan jihad. Keyakinan ini merujuk pada sejumlah peristiwa peperangan yang dimenangkan umat Islam di bulan Ramadan. Antara lain yang monumental ialah Perang Badar dan peristiwa Fatkhul Makkah.

Kedua, adanya kerancuan dalam memaknai apa itu jihad. Selama ini, penafsiran jihad di kalangan kelompok radikal cenderung sempit dan ekstrem. Jihad semata dimaknai sebagai qital, alias perang fisik yang dimanifestasikan ke dalam aksi penyerangan pada individu atau kelompok yang dipersepsikan sebagai musuh.

Ketiga, secara sosiologis, kaum radikal memanfaatkan momentum Ramadan karena memahami betul bahwa fokus pemerintah dan aparat keamanan lebih mengarah pada pengamanan ibadah, aktivitas mudik, dan sejenisnya. Hal ini membuat aparat keamanan dan masyarakat sedikit lengah mengantisipasi manuver kaum radikal.

Maka, di bulan suci Ramadan ini, baik aparat keamanan maupun masyarakat sipil hendaknya tidak boleh lengah dan menurunkan kewaspadaan terhadap pergerakan kelompok radikal. Para teroris sepertinya tidak pernah benar-benar berhenti melancarkan aksi. Mereka hanya menunggu momen yang tepat. Dan, Ramadan kerap dipilih sebagai waktu yang tepat melancarkan aksi teror.

Di saat yang sama dan tidak kalah pentingnya ialah bagaimana memahami diktum “Ramadan sebagai bulan jihad”. Di titik ini, kita perlu memproduksi tafsir jihad yang relevan dan kontekstual dengan kondisi Indonesia kekinian. Penafsiran jihad yang cenderung tekstualistik dan sempit, yakni mengkonotasikannya dengan peperangan fisik (qital) kiranya tidak lebih relevan dengan situasi kebangsaan kita hari ini. Berangkat dari situasi kebangsaan kita hari ini, yang dibutuhkan umat Islam Indonesia ialah jihad konstruktif. Yaitu bagaimana mewujudkan kehidupan berbangsa bernegara, dan beragama yang berbasis pada prinsip keadilan dan perdamaian.

Dengan reinterpretasi dan rekontekstualisasi makna jihad itu, diharapkan tidak ada lagi aksi-aksi terorisme. Baik di bulan Ramadan maupun di luar bulan suci tersebut. Ramadan idealnya diisi dengan ibadah mahdhah dan ibadah sosial. Jika masih belum mampu, maka idealnya kita tidak merusak atawa mengotori kesucian Ramadan dengan tindakan destruktif seperti tindakan teror dan kekerasan.

Facebook Comments