Menguji Nalar Publik Keberagamaan Kita

Menguji Nalar Publik Keberagamaan Kita

- in Narasi
1020
0
Menguji Nalar Publik Keberagamaan Kita

Isu agama menjadi isu yang seksi di negeri ini. Hampir tidak ada hari tanpa pembicaraan tentang agama. Penelitian menunjukkan, agama menempati nomor wahid dalam urutan hal yang paling banyak diperbincangkan masyarakat, selain politik, human interest, sex, dan humor di dunia maya.

Agama yang dihadirkan di ruang publik adalah agama dalam bentuk kulit, artifisial, dan luarnya saja. Akibatnya, umpatan, saling klaim, menyalahkan, bahkan menegasikan sering terjadi.

Kondisi ini diperparah dengan penetrasi media sosial. Ketika semua elemen masyarakat bisa aktif terlibat. Media sosial menyebabkan –sebagaimana ungkapan Tom Nicholas –domokratisasi, semua setara dan sama-sama bisa berkontribusi dalam menyuarakan opini.

Dalam konteks politik, ini sangat bagus dalam mengawal kebijakan publik. Akan tetapi, dalam konteks keberagamaan, sering terjadi keributan, kegaduhan, dan sesat-menyesatkan atas dasar keyakinan. Media sosial tak ubahnya seperti pasar. Ribut, semua mau bersuara, dan sesekali terjadi perselisihan, cek-cok, bahkan perkelahian.

Dalam konteks inilah, apa yang salah dengan nalar publik keberagaman kita? Komaruddin Hidayat pernah melontarkan bahwa masyarakat kita belum bisa membedakan (bukan memisahkan!) tiga ruang, yakni ruang privat, ruang komunal, dan ruang publik.

Privat, Komunal, dan Publik

Kekacauan terjadi sebab kita belum bisa menempatkan diri kita pada tiga level itu. Pertama, ruang privat adalah adalah ruang ekskulisif bagi diri/agama/kelompok masing-masing. Setiap agama mempunyai ruang privat yang hanya terbatas pada penganut agama itu saja.

Baca Juga :Menjaga Nalar, Menolak Mentalitas Instan

Truth claim (klaim kebenaran) umpamanya adalah wilayah privat. Itu hanya bisa dilontarakan pada level individu dan kelompok. “saya yang paling benar, agama saya yang paling sahih, dan keyakinan saya yang paling valid,” hanya bisa diucapkan pada ruang privat.

Kedua, ruang komunal, adalah ruang ekspresi yang dalam konteks kelompok/anggota kita saja. Artinya ruang itu terbatas pada komunal, kumpulan manusia yang didasarkan pada persamaan agama, keyakinan, atau ideologi tertentu.

Mejid, Gereja, Madrasah, Pesantren, dan tempat eksklusif lainnya adalah ruang komunal. Ruang ini adalah perluasan dari ruang privat. Cuma ia lebih kompleks dan lebih berwarna. Meskipun demikian, ruang ini masih tetapi pada satu titik persamaan.

Ketiga, ruang publik. Ia adalah ruang bersama, tanpa terikat oleh perbedaan latar belakang masing-masing. Jurgen Habermas menyatakan, ruang publik (public sphere) adalah ruang yang memungkinkan warga negara untuk berunding mengenai hubungan bersama sehingga menjadi sebuah institusi yang memungkinkan intraksi dalam hal-hal yang berbeda.

Dalam ruang publik, truth claim agama tidak sah lagi. Sebab akan ada pihak/agama lain yang tersakiti. Kita tidak bisa lagi menyatak di ruang publik, “saya/kami yang benar, saya/kami yang paling baik, dan seterusnya.” Ia adalah ruang bersama, tempa bertemunya berbagai keragaman dan perbedaan.

Ada satu ilustrasi yang sangat apik dari Gus Dur tentang ketiga ruang itu. Gus Dur mengibaratkan negara itu seperti rumah besar nan megah. Rumah itu memiliki kamar-kamar yang banyak, ruang tamu, dan halaman rumah yang luas. Kamar-kamar yang banyak itu adalah ruang privat bagi setiap penghuni rumah. Kamar itu adalah simbolisasi dari agama, suku, etnis, dan segala macam primordialisme masing-masing penghuni rumah.

Di dalam kamar (ruang privat), setiap orang bisa bebas mengekspresikan pendapatnya, mengatakan kamilah agama yang paling benar, kamilah suku yang paling rajin, dan segala macamnya. Sebab itu adalah ruang privat bagi individu dan kelompok masing-masing.

Ketika di kamar, setiap penghuni bebas mengatur tata ruang kamarnya, mau bertindak kayak apa pun boleh, menonton sambil angkat kaki, mau menyetel TV sesuai dengan seleranya, semua bebas sesuai dengan kemauannya.

Akan tetapi kebebasan itu mempunyai batasannya ketika kita berada di ruang tamu dan halaman rumah.Sebab kedua ruang ini adalah simbol dari ruang publik.Tempat bertemunya bermacam latar belakang dari kamar-kamar yang berbeda.

Di ruang tamu, kita harus berusaha memahami penghuni kamar lain, bersikap toleran, dan akomodatif. Sebab ruang itu adalah ruang bersama. Tempat di mana segala macam bentuk primordialisme harus ditanggalkan. Di ruang tamu kita tak bisa lagi pentantang-petenteng, bersikap seenaknya dewe, dan tak mau memahami penghuni lain, kebebasan kita dibatasi dengan kebebasan orang lain, adalah prinsip utama dalam membangun hubungan di ruang tamu dan halaman rumah.

Penetrasi media sosial menyebabkan tiga tuang di atas tidak bisa dibedakan lagi. Media sosial mendobrak dinding-dinding ketiga ruang itu. Media sosial menghilangkan sekat-sekat pembatas. Di sinilah terjadi benturan yang berakibat adanya konflik, polarisasi, tak jarang perkelahian.

Agama dan Public Reason

Untuk itu bagaimana mengelola ruang publik keberagamaan biar tetap kondusif, aman, nyaman, dan harmoni? Usulan Jown Rals dalam konteks ini bisa digunakan. Agama yang sifatnya plural ketika ditampilkan dalam ruang publik sering terjadi benturan dan kegaduhan.

Nalar publik (public reason) menghendaki agar agama yang dihadirkan di ruang publik adalah agama yang bisa diterima siapapun. Untuk diterima siapa pun, maka menghendaki dua syarat.

Pertama, substansif-universal. Artinya yang ditampilkan di ruang publik adalah substansi, inti terdalam dari agama. Inti terdalam itu bersifat universal. Sesuatu yang substantif-universal diterima siapapun dan di manapun.

Dengan demikian, agama membawa nilai maslahat kepada semua kalangan. Nilai-nilai substantif-universal itu mendamaikan semua, dan tidak mengakibatkan kegaduhan dan konflik.

Kedua, rasional. Agama yang dihadirkan harus rasional. Bisa diterima dinalar dan diterima oleh semua. Setiap pihak harus melepas segala bentuk primordiailisme dan masuk kepada inti agama yang rasional.

Mengelola nalar publik keberagamaan kita diharapkan kita bisa lepas dari kegaduhan, polarisasi, dan konflik. Upaya saling memahami dan saling memberdayakan bisa diupayakan.

Facebook Comments