Internet telah mengubah pola konsumsi generasi saat ini terhadap informasi nilai-nilai nasionalisme. Mereka dulunya biasa “memakan” materi nasionalisme dari bangku sekolah dan tokoh masyarakat. Namun kondisi saat ini sudah sangat jauh berbeda, kini mereka bermigrasi ke media-media konvergensi yang lebih instan dan kerap menyajikan konten secara parsial, bahkan ada yang sampai menyesatkan.
Pola konsumsi generasi millenial terhadap informasi wawasan kebangsaan yang berubah ini harus direspon oleh seluruh masyarakat secara cepat dan tepat. Pola interaksi sosial dan pembicaraan tentang nilai-nilai dan wawasan kebangsaan di ruang maya harus benar-benar di kawal. Terlebih saat ini, nasionalisme generasi muda bisa dibilang tipis. Hal ini ditandai dengan semakin “lakunya” ideologi radikal di kalangan generasi muda Indonesia.
Semua itu berkat jerit payah kelompok radikal dalam memproduksi dan menyebarkan kontens radikal di dunia maya. Sementara, generasi muda masih labil dan masih dalam tahap mencari jati diri menjadi lahan empuk garapan mereka (radikalis).
Dirga Maulana (2018) dalam sebuah artikelnya menjelaskan bahwa kelompok radikal menjadikan situs atau media online sebagai ladang menyebarkan ideologi mereka karena media atau situs itu memiliki keunggulan yang luar biasa; jangkauannya luas melewati batas-batas negara, mampu mempengaruhi seseorang secara efektif dan mampu menyampaikan pesan secara berantai.
Menarik sekali ketika kita mencermati hasil kajian Penelitian Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial (PSBPS) Universitas Muhammadiyah Surakarta bersama Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta pada tahun 2017 lalu. PSBPS dan PPIM menemukan bahwa saat itu situs-situs radikal mendominasi belantara dunia maya. Sementara, situs organisasi Islam arus utama (NU dan Muhammadiyah) yang rajin memproduksi konten-konten yang menekankan integrasi dan toleransi umat serta menyejukkan, masih kalah dengan situs-situs organisasi Islam kontemporer seperti eramuslim.com, VAO-Islam.com dan lainnya.
Dalam kajian ini juga ditegaskan bahwa Era Muslim dan VAO Islam kerap memproduksi konten yang mengajak intoleransi, menyebar kebencian, dan memprovokasi. Tetapi, inilah kenyataannya, bahwa situs-situs Islam Kontemporer seperti VAO Islam dan sejenisnya itulah yang lebih “digandrungi” oleh generasi muda. Bagaimana tidak, era muslim dikunjungi sampai 9.5 juta lebih, sementara NU Online hanya 6.5 juta pwngunjung.
Di sinilah ladang “jihad” sesungguhnya bagi generasi muda saat ini. Lantas, apa yang bisa dilakukan oleh generasi muda dalam menyikapi ruang maya yang disesaki oleh konten-konten negatif dan melemahkan jiwa nasionalisme? Di tengah nilai-nilai dan jiwa nasionalisme di nadi generasi millenial semakin menurun, langkah konkret perlu dirumuskan dan dijadikan sebagai agenda bersama agar ruang maya disesaki oleh narasi-narasi nasionalisme dan hal positif lainnya.
Lantas, apa yang harus dilakukan untuk menjadi millenial nasioanlis? Pertama, meningkatkan literasi media ditingkat sekolah. Penguatan literasi media, baik ditingkat guru maupun siswa merupakan langkah strategis dalam membentuk generasi saat ini dengan pemahaman kebangsaan yang komprehensif.
Kedua, pemerintah harus memfasilitasi situs-situs yang menggelorakan nasionalisme. Dominasi situs radikal, sebagaimana yang telah dijelaskan pada paragraf awal tulisan, mencerminkan betapa lalainya pemerintah. Kita mengerti bahwa konten-konten yang menolak konsep naionalisme yang ada dalam sebuah internet bak peluru yang bisa menembus pikiran pembacanya. Sementara kita tak bisa membendung mereka. Untuk itu, cara yang paling efektif dan strategis adalah membuat situs-situs yang misi utamanya adalah menggelorakan nasionalisme. Dan ini perlu campur tangan pemerintah, terutama untuk memfasilitasi situs-situs yang gerakan utamanya adalah melakukan kontra narasi.
Setelah itu, membuat konten-konten cinta nasionalisme yang menarik dan unik, sesuai selera masyarakat saat ini. Kemudian yang tak kalah pentingnya adalah aktif menyebarkan konten positif yang damai dan cinta Indonesia di dunia maya. Cara-cara inilah yang tetap harus kita gelorakan.