“Manusia telah tiba di alam virtualitas, ketika teknologi digital mengambil alih kebiasaan interaksi dengan bertatap muka menjadi interaksi di dunia maya”. Itulah kutipan dari James Brook dalam karya seminalnya, Resisting the Virtual Life (2012). Dalam karya tersebut Brook tampak meratapi disrupsi kehidupan manusia modern dari fase analog ke fase digital. Brook barangkali adalah satu dari sekian pemikir di zaman modern yang memandang sinis pada terjadinya perubahan kehidupan sosial manusia secara drastis akibat adanya perkembangan di bidang teknologi komunikasi dan informasi.
Alih-alih mengikuti jejak sinisme dan pesimisme para pemikir modern yang menuduh perkembangan teknologi komunikasi dan informasi sebagai biang dari semua persoalan manusia modern, kita sepatutnya lebih bisa obyektif dalam melihat persoalan ini. Perkembangan teknologi komunikasi dan informasi memang kerap menyisakan problem sosial bagi manusia. Namun, di sisi lain, pesatnya perkembangan teknologi komunikasi dan informasi juga telah menyumbang banyak andil bagi kemajuan peradaban manusia.
Bagaimana tidak? Berkat kemajuan teknologi komunikasi dan informasi lah manusia memungkinkan untuk mengakses informasi dan pengetahuan dari seluruh penjuru dunia. Kini, informasi dan pengetahuan tidak dikuasai secara monopolistik oleh golongan kecil orang saja. Sebaliknya, setiap individu kini dimungkinkan untuk memiliki akses yang setara pada sumber-sumber informasi dan pengetahuan. Jika dulu, sumber-sumber pengetahuan kanonik dikuasai oleh kelompok tertentu, kini kondisinya sudah jauh berbeda.
Apalagi ketika media sosial dengan berbagai platform-nya menjamur dengan demikian masifnya dalam satu dekade belakangan ini. Keberadaan media sosial, sebagaimana dijelaskan oleh Shiefthi Dyah Alyusi dalam bukunya Media Sosial, Identitas dan Modal Sosial telah mengubah nyaris seluruh aspek dalam kehidupan manusia. Tidak hanya dalam konteks cara berkomunikasi dan berinteraksi, namun juga mengubah cara orang dalam berpikir dan mengonstruksi ide atau wacana.
Keberadaan media sosial memungkinkan terciptanya simpul-simpul pertemuan baru yang nyaris tidak pernah dibayangkan sebelumnya. Sebelum era media sosial, manusia nisbi memiliki keterbatasan dalam membentuk lingkaran-lingkaran pertemanan dan komunitas-komunitas baru yang didasari oleh kesamaan ide, cita-cita, agenda dan keberpihakan yang sama terhadap sebuah isu. Pasca kehadiran media sosial, lingkaran pertemanan dan komunitas itu tumbuh subur laiknya jamur di awal musim penghujan. Dari simpul-simpul pertemanan dan komunitas itu lahirnya berbagai macam wacana, pemikiran hingga solidaritas sosial sampai gerakan politik.
Baca Juga :Media Sosial, Hiperrealitas dan Matinya Kebenaran
Begitu dahsyatnya kekuatan media sosial, sehingga ia bisa menjadi kanal untuk menginisiasi dan mewujudkan gerakan transformasi sosial. Media sosial, di satu sisi bisa berperan secara konstruktif. Namun, di sisi lain media sosial juga bisa menampakkan wajah yang destruktif alias merusak. Dua kemungkinan itu -konstruktif atau destrktif- tentu tergantung pada individua tau kelompok yang menggunakannya. Sebaagai sebuah hasil dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, media sosial niscaya bersifat netral alias bebas nilai (value free). Tinggal bagaimana manusia sebagai penggunanya. Apakah kita akan lebih menonjolan sisi destruktif media sosial, atau sebaliknya memaksimalkan potensi konstruktifnya?
Media Sosial sebagai Modal Transformasi Sosial
Memaksimalkan potensi konstruktif media sosial dapat dilakuan salah satunya dengan menjadikan media sosial sebagai ruang publik virtual. Selama ini, gagasan terkait ruang publik hanya dipahami dalam konteks dunia nyata tanpa menyentuh dunia maya. Gagasan tentang ruang publik (public sphere), sebagaimana merujuk pada pemikiran filosof Jerman Jurgen Habermas, diartikan sebagai are(n)a terbuka dimana semua individu dan kelompok dalam sebuah bangsa atau negara memiliki hak yang setara untuk menyampaikan gagasan dan pendapatnya tanpa takut akan adanya intervensi baik oleh masyarakat maupun negara.
Dalam karya momumentalnya, The Structural Transformation of the Public Sphere, Habermas menjelaskan akar kemunculan ruang publik borjuis di kawasan Eropa yang diinisiasi oleh kelompok masyarakat kelas borjuis. Kemunculan ruang publik merupakan tuntutan dari kelompok borjuis yang menginginkan adanya ruang dimana masyarakat sipil (non-negara dan non-militer) memiliki kebebasan dan otonomi untuk mengekspresikan diri dalam konteks seni dan sastra. Dalam perkembangan selanjutnya, konsep ruang publik diadopsi ke dalam sistem politik demokrasi. Keberadaan ruang publik yang bebas dipandang sebagai salah satu pilar tegaknya demokrasi.
Konsep ruang publik ini agaknya relevan jika dikembangkan dalam konteks relasi masyarakat di media sosial. Bagaimana pun juga, media sosial memiliki mekanisme dan pola relasi antar-individu yang kurang lebih sama dengan relasi sosial di dunia nyata. Hanya saja, media sosial mampu memangkas keterpautan jarak dan mampu menganulir kewajiban tatap muka dalam interaksi dan komunikasi. Dengan menjadikan media sosial sebagai ruang publik virtual, kemungkinan besar berbagai residu persoalan yang ditimbulkan karena keberadaan media sosial dapat diatasi dan dicegah dari awal. Selebihnya, dengan menjadikannya sebagai ruang publik virtual, diharapkan kita bisa memaksimalkan potensi rekonstruktif dari media sosial. Jika itu terwujud, media sosial akan menjadi modal penting bagi transformasi sosial yang rekonstruktif, bukan sebaliknya justru menjadi lahan subur bagi bersemainya berita bohong, fitnah dan ujaran kebencian yang berwatak destruktif.
Untuk menjadikan media sosial sebagai ruang publik virtual, kita perlu mengembangkan setidaknya empat asas di media sosial. Pertama asas kesetaraan, yakni persamaan hak bagi seluruh individu atau kelompok di media sosial untuk mengakses informasi, menyebarluaskannya dan mendiskusikannya demi kepentingan bersama (collective interest). Asas kesetaraan ini menjadi penting agar tidak terjadi ketimpangan relasional di media sosial. Media sosial seharusnya mampu mewadahi semua entitas dalam bingkai kesetaraan.
Kedua, asas kebebasan bertanggung jawab dimana semua pihak bebas mengungkapkan dan mengekspresikan gagasannya selama itu dilakukan dengan tanpa melanggar koridor dan aturan hukum. Jaminan kebebasan berpendapat dan berekspresi ini tentu harus disertai sikap bertanggung jawab disamping juga harus didukung dengan kemampuan literasi digital dan media sosial yang mumpuni. Kebebasan dan berpendapat akan membuka ruang bagi demokratisasi media sosial yang memungkinkan terjadinya diskursus wacana dan pertukaran ide.
Ketiga asas independensi, dimana semua entitas di media sosial memiliki hak dan kebebasan untuk berpendapat dan berekspresi tanpa takut terhadap tindakan intimidasi dan ancaman dari otoritas apa pun (negara, masyarakat maupun agama). Media sosial idealnya bebas dari intervensi otoritas apa pun, sehingga bisa meminimalisasi praktik hegemonik yang kerap dilakukan oleh negara maupun otoritas agama. Independensi di media sosial juga akan melahirkan iklim diskusi dan dialog yang sehat.
Arkian, kita tentu tidak bisa memandang sinis dan pesimis pada perkembangan media sosial yang penetrasinya nyaris tidak bisa kita hindari. Hari ini sebagian besar manusia di dunia hidup dalam konsep masyarakat jaringan (network society) yang saling terhubung satu sama lain. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang mewujud salah satunya dalam media sosial telah menjadikan dunia layaknya sebuah lanskap tanpa sekat (the flat world).
Dalam konteks masyarakat jaringan, nyaris tidak ada manusia yang sanggup menarik diri apalagi mengucilkan diri dari jejaring pergaulan global, terutama yang terjadi dalam media sosial. Satu hal yang bisa kita lakukan ialah membenahi mekanisme komunikasi dan pola interaksi di media sosial agar ke depan media sosial lebih sering menampakkan wajah konstruktif ketimbang destruktif. Ketika media sosial mampu bertransformasi menjadi ruang publik virtual, besar kemungkinan akan lahir perdebatan dan diskursus publik yang lebih berorientasi pada kepentingan bersama. Jika itu terwujud, maka niscaya media sosial akan menjadi bagian penting dari perubahan sosial.