Jatuhnya rezim Bashar al-Ashad di Suriah rasanya terlalu simplifikatif jika dilihat lewat kacamata agama, tetapi juga cukup kompleks sebagai sebuah realitas politik. Nyatanya, dua hal itu, agama dan politik, cukup punya kelindan satu sama lain, apalagi untuk konteks negara-negara Timur Tengah.
Masalahnya, kejatuhan Bashar al-Ashad yang secepat kilat itu sekaligus membuka angin segar bagi meletupnya narasi dogmatis. Di ruang media Indonesia, kecenderungan memompa semangat kebangkitan sistem politik khilafah Islam sudah mulai terasa.
Ya, euforia orang terhadap suksesnya Hayat Tahrir al-Sham (HTS) dalam menggulingkan rezim Bashar al-Ashad berujung, salah satunya, pada diseminasi wacana politik-agama yang dianggap sebagai solusi praktis di tengah kompleksitas tantangan global. Narasi ini jelas mengaburkan batas antara aspirasi keagamaan dan kepentingan geopolitik. Pada giliranya, ia berisiko menyesatkan pemahaman masyarakat.
Sebuah artikel di The Conversation (2024), misalnya, menjelaskan bagaimana kejatuhan rezim Assad tidak semata-mata disebabkan oleh tekanan dari kelompok oposisi, tetapi juga karena dinamika geopolitik yang melibatkan kekuatan besar seperti Rusia, Turki, dan Iran. Dengan kata lain, kemenangan HTS tidak terlepas dari dukungan strategis dan politis aktor-aktor eksternal. Sayangnya, aspek ini sering kali terabaikan dalam liputan media di Indonesia, yang pada titik tertentu justru lebih fokus pada romantisme perjuangan dogmatis.
Realitas Politik di Balik Konflik
Kalau kita mau sedikit lebih fair, konflik Suriah cukup benderang menunjukkan bahwa agama hanyalah salah satu elemen dalam struktur yang lebih besar. Di satu pihak, Bashar al-Assad memang diduga kuat memerintah dengan tangan besi lewat sistem negara keamanan (security state). Tapi semestinya juga lebih sadar bahwa keruntuhan dramatis rezimnya dikarenakan berbagai faktor, termasuk perpecahan internal, korupsi, dan ketidakmampuan untuk merespons protes damai yang berujung pada pemberontakan bersenjata. Hanya saja, narasi perjuangan agama yang dikonstruksi oleh media justru sering kali menyederhanakan kompleksitas ini, sekaligus mengabaikan peran struktur ekonomi dan politik dalam memicu keruntuhan rezim tersebut.
Kemenangan HTS, misalnya, tidak bisa dilepaskan dari dukungan logistik dan militer yang diterima dari berbagai aktor eksternal. Di balik layar, Rusia, Turki, dan Iran memainkan peran penting dalam menentukan arah konflik. Turki, misalnya, memiliki kepentingan strategis untuk menjaga pengaruhnya di negara kawasan, sementara Iran terus memperjuangkan eksistensinya sebagai kekuatan dominan di Timur Tengah. Dengan demikian, narasi yang menyatakan bahwa keberhasilan HTS murni hasil perjuangan agama mengabaikan fakta bahwa realitas geopolitik adalah faktor penentu utama.
Risiko Disinformasi
Dalam konteks Indonesia, euforia terhadap HTS memunculkan risiko baru: penyebaran disinformasi. Sebuah artikel di harian Kompas (2024) menyebut bahwa narasi yang dikembangkan HTS sering kali menyesatkan, terutama ketika diadopsi oleh kelompok-kelompok tertentu untuk mendukung agenda politik mereka sendiri.
Seturut dengan itu, media sosial di Indonesia juga menjadi ladang subur bagi penyebaran narasi tersebut. Tidak hanya membingkai HTS sebagai representasi perjuangan Islam, tetapi beberapa konten di media sosial juga mempromosikan ideologi politik yang bertentangan dengan nilai-nilai kebangsaan.
Diseminasi narasi khilafah oleh kelompok tertentu kerap didasarkan pada asumsi bahwa sistem politik Islam adalah jawaban universal atas segala permasalahan. Narasi ini berbahaya karena mengesampingkan keragaman sejarah dan konteks sosial-politik negara-negara Muslim, termasuk Indonesia. Dalam kasus Suriah, klaim bahwa kemenangan HTS merepresentasikan “kebangkitan Islam” menutupi fakta bahwa konflik tersebut lebih banyak dipengaruhi oleh rivalitas geopolitik dan persoalan struktural daripada semangat religius semata.
Perlunya Perspektif Kritis
Menyoal narasi yang berkembang, ada urgensi bagi kita untuk melihat lebih kritis klaim-klaim yang memanfaatkan simbol agama untuk tujuan politis. Dalam kasus Suriah, penting untuk memahami bahwa kemenangan HTS tidak serta-merta membuktikan superioritas sistem politik berbasis agama. Sebaliknya, konflik ini mengajarkan bahwa agama, seperti elemen sosial lainnya, rentan dimanipulasi untuk memenuhi agenda kekuasaan.
Salah satu pendekatan yang bisa digunakan untuk membongkar hegemoni narasi tersebut adalah dengan menggali lebih dalam peran aktor-aktor eksternal dan dampak konflik terhadap masyarakat sipil. Dengan memahami bagaimana Rusia, Iran, dan Turki memanfaatkan konflik Suriah untuk memperluas pengaruh mereka, kita dapat melihat bahwa perjuangan agama yang diklaim HTS lebih merupakan alat propaganda daripada kenyataan di lapangan. Kebijakan militer Turki di wilayah Idlib, misalnya, lebih didasarkan pada kepentingan nasionalnya daripada dukungan ideologis terhadap HTS.
Di titik ini, narasi konflik Suriah seharusnya menjadi bahan refleksi untuk memperkuat daya kritis dalam menyikapi isu-isu global. Kecenderungan untuk mengadopsi narasi dogmatis tanpa mempertimbangkan konteks dan dinamika yang melatarbelakangi konflik dapat menciptakan polarisasi di tingkat lokal. Hal ini bukan saja berbahaya bagi kohesi sosial, tetapi juga membuka peluang bagi kelompok radikal untuk memanfaatkan situasi.
Sebagai bangsa yang majemuk, Indonesia perlu belajar dari kompleksitas konflik Suriah. Narasi agama yang hegemonik harus diimbangi dengan pemahaman yang lebih menyeluruh tentang realitas politik, ekonomi, dan sosial. Dengan demikian, kita dapat mencegah narasi simplistis yang berpotensi mengancam stabilitas nasional. Sekali lagi, jatuhnya Bashar al-Assad di Suriah bukan karena kesandung sebuah batu, bukan juga kemenangan agama atas sekularisme. Ia adalah hasil dari interaksi kompleks antara kepentingan lokal dan geopolitik yang jauh lebih kompleks daripada sekadar mengibarkan bendera tauhid.