Kenali Tiga Kelompok Penumpang Gelap Demokrasi yang Menyulut Disintegrasi

Kenali Tiga Kelompok Penumpang Gelap Demokrasi yang Menyulut Disintegrasi

- in Narasi
103
0
Kenali Tiga Kelompok Penumpang Gelap Demokrasi yang Menyulut Disintegrasi

Demokrasi itu ibarat lahan subur yang memungkinkan semua tumbuh di atasnya. Baik itu pohon yang bermanfaat karena buahnya atau rumput-gulma yang lebih pantas dianggap hama. Di dalam sistem demokrasi, semua gagasan bisa muncul dan berkembang. Mulai dari gagasan yang konstruktif, maupun destruktif. Semua saling berkontestasi di ruang publik dan berebut posisi menjadi yang paling dominan.

Karena karakteristiknya yang terbuka dan bebas, sistem demokrasi juga rawan ditunggangi oleh penumpang gelap (free rider). Fenomena penumpang gelap demokrasi ini berkembang di banyak negara. Tidak terkecuali di Indonesia. Di era pasca Reformasi 1998 ini kita bisa melihat bagaimana demokrasi kita juga diwarnai oleh penumpang gelap.

Penumpang gelap dalam demokrasi Indonesia itu dapat kita identifikasi ke dalam setidaknya — kategori. Pertama, penumpang gelap yang mewujud pada kelompok sepataris berbasis primordialisme kesukuan. Mereka memanfaatkan kebebasan berekspresi untuk menuntut kemerdekaan atau pemisahan diri dari wilayah NKRI.

Kelompok separatis ini juga kerap memakai cara-cara kekerasan bahkan pemberontakan secara terbuka. Sebut saja misalnya kelompok KKB di Papua. Mereka sebenarnya bisa eksis karena berlindung di balik sistem demokrasi yang memungkinkan mereka mengekspresikan pandangan politiknya. Ironisnya, kebebasan itu justru dimanfaatkan untuk menyuarakan agenda separatisme.

Kedua, penumpang gelap yang mewujud pada kelompok oposisi destruktif yang kerjanya adalah mendelegitimasi kinerja dan wibawa pemerintah. Kelompok oposisi destruktif ini selalu menilai kebijakan pemerintah dari sisi negatif. Alhasil, apa pun yang dilakukan pemerintah selalu salah dimata mereka. Mereka juga menganggap bahwa setiap persoalan yang dihadapi bangsa dan negara Indonesia ini bermula dari kebijakan pemerintah.

Menunggangi Demokrasi, Memantik Disintegrasi

Kelompok oposisi destruktif ini sebenarnya merupakan barisan sakit hati yang kalah dalam kontestasi politik praktis dan tidak mendapatkan kursi di kekuasaan. Untuk melampiaskan kekecewaannya mereka berpura-pura menjadi oposisi yang kritis terhadap pemerintah demi mendapat simpati publik. Padahal, mereka sebenarnya tidak sedang memperjuangkan kepentingan rakyat, alih-alih memuaskan syahwat politiknya saja.

Ketiga, penumpang gelap demokrasi yang mewujud pada kelompok radikal ekstrem. Nyaris sama dengan kelompok separatis, mereka memanfaatkan iklim kebebasan demokrasi untuk mengusung agenda melawan otoritas pemerintahan yang sah. Hanya saja, kelompok ini membungkus gerakannya dengan ideologi keagamaan.

Kelompok radikal-ekstrem ini menjadikan agama sebagai senjata politik untuk upaya merebut kekuasaan. Mereka menghendaki perubahan radikal menyeluruh atas bentuk, sistem politik, dan konstitusi bernegara. Tujuan mereka adalah mendirikan negara berbasis agama di wilayah Indonesia.

Menariknya, sepak terjang ketiga kelompok ini dikenal lihai dalam berkamuflase dan bertransformasi. Kelompok separatis misalnya kerap kali memakai narasi ketidakadilan dan startegi playing victim. Yakni membangun narasi bahwa mereka adalah korban dari kebijakan pemerintah pusat yang tidak adil.

Kelompok oposisi destruktif, tidak kalah lihai. Mereka acapkali menunggangi isu-isu yang tengah mencuat ke permukaan untuk menyerang atau mendelegitimasi pemerintahan yang sah. Apa saja yang tengah menjadi trending topic di ruang publik niscaya akan dipelintir oleh kelompok oposisi destruktif untuk mendelegitimasi negara.

Membangun Ekosistem Demokrasi yang Sehat

Demikian juga kelompok radikal-ekstrem. Mereka bisa menyusup ke mana saja, mulai dari organisasi keagamaan, instansi pemerintah, bahkan sampai ke gerakan-gerakan mahasiswa di kampus-kampus. Mereka menunggangi gerakan mahasiswa dan masyarakat sipil untuk menciptakan kekacauan sosial (social chaos). Pola ini sudah terjadi di banyak negara, terutama negara-negara Timur Tengah.

Tiga kelompok penumpang gelap demokrasi itu memang punya tujuan yang berbeda-beda. Namun, mereka disatukan oleh satu benang merah yang sama, yakni upaya menciptakan konflik yang berujung disintegrasi bangsa. Inilah bahaya sesungguhnya yang harus kita lawan. Tujuan Reformasi bukan untuk menjadikan bangsa ini terpecah-belah, apalagi berganti ideologi. Tujuan reformasi adalah demokratisasi.

Demokratisasi yang diusung oleh gerakan Reformasi adalah penguatan sistem birokrasi yang profesional dan akuntabel (bebas dari praktik KKN), penyelenggaraan kehidupan bernegara yang sesuai konstitusi, dan kehidupan sosial-keagamaan yang inklusif. Ini artinya, demokratisasi yang diusung gerakan Reformasi bukanlah kebebasan absolut yang justru berpotensi membahayakan integrasi bangsa.

Di tengah kemelut aksi demonstrasi massa yang berakhir ricuh di sejumlah daerah, kita patut merenungkan kembali agenda Reformasi. Apakah dua dekade lebih era Reformasi ini agenda demokratisasi kita sudah berjalan di rel yang benar? Atau justru sebaliknya, demokratisasi kita kian menjauh dari cita-cita Reformasi?

Mengembalikan esensi demokratisasi cita-cita Reformasi 1998 hanya bisa dilakukan dengan menganulir para penumpang gelap demokrasi itu sendiri. Maka dari itu, kita harus membangun ekosistem demokrasi yang steril dari kelompok oposisi destruktif, gerombolan separatis, dan tentunya kaum radikal-ekstremis.

Keberadaan masyarakat sipil (civil society) yang rasional, kritis, dan independen menjadi syarat utama mewujudkan demokrasi yang sehat. Rasional dalam artian selalu mengedepankan akal, bukan emosi dalam menyelesaikan persoalan. Kritis dalam artian tidak mudah percaya dengan segala informasi dan narasi di media mainstream maupun media sosial. Dan, independen dalam artian tidak mudah dimobilisasi pandangan dan sikap politiknya demi kepentingan partisan, atau gerakan tertentu.

Facebook Comments