Menyoal Ceramah Politik

Menyoal Ceramah Politik

- in Narasi
1386
1
Menyoal Ceramah Politik

Ada yang berkata bahwa jangan bawa agama dalam persoalan politik sebab posisi agama yang terlalu suci, dianggap tidak layak bersentuhan dengan segala macam hal yang bersifat profan. Meski begitu, tidak dapat disangkal bila kekuatan agama yang berangkat dari moralitas religius, dalam beberapa hal acap kali memiliki irisan dengan narasi politik. Dalam beberapa kesempatan, hal tersebut tentu dapat menjadi jalinan ikatan yang saling menguatkan antara moralitas religius dan moralitas politik. Narasi yang dihadirkan berangkat dari realitas bahwa manusia merupakan mikro kosmik dari sesuatu yang transenden. Sehingga realitas kehidupannya baik aspek sosial maupun lainnya menjadi bagian yang seyogyanya diatur. Oleh sebagian pihak, moralitas yang dianggap berwenang untuk mengatur hal tersebut adalah moralitas agama. Sehingga tidaklah mengherankan bila kemudian beberapa aspek kehidupan sering kali diarahkan kepada moralitas agama.

Salah satu aspek dalam agama yang belakangan ini ramai diperbincangkan karena terkenai irisan dengan isu politik adalah perihal mengenai khutbah yang dilakukan beberapa pemuka agama. Tentu apa yang terjadi belakangan ini, bukanlah fenomena baru. Meski demikian tidak dapat disangkal berkat peranan hal tersebut, dinamika politik yang ada cukup menghangat belakangan ini. Beberapa pemuka agama baik yang diakui publik sebagai pemuka agama atau pun karena pengakuannya sendiri, kerap lalu lalang menghangatkan jagat informasi dengan beberapa gumaman mengenai politik yang dibungkus dalam bentuk pengajian. Hal ini dilakukan tidak hanya melalui perjumpaan langsung, melainkan juga memanfaatkan saran media digital. Sangat disayangkan beberapa di antara mereka malah mengumandangkan ide politik yang bernuansa kebencian dan menyerukan permusuhan terhadap pihak yang tidak satu identitas dengan kelompoknya tersebut. Karena kondisi yang ada dirasa sudah cukup mengkhawatirkan, Menteri Agama Republik Indonesia pun pada April 2017 lalu sampai menyerukan 9 poin penting yang diharapkan dapat menjadi pegangan bagi para penceramah terkait ceramah di rumah ibadah. Dari sini kita bisa melihat bahwa sejatinya kekhawatiran kita terhadap keadaan yang ada bukalah sekedar omong kosong. Sebaliknya hal tersebut nyata di depan mata bangsa ini.

Belajar dari negara lain

Menarik bila kita mencoba memperhatikan bagaimana penerapan kebijakan terkait ceramah ini di negara-negara lain. Hal ini penting sebagai sebuah pembanding agar kita tidak gampang termoderasi dengan upaya pengontrolan cara berfikir yang kerap didesain guna membentuk kebenaran tunggal yang mungkin saja sengaja dilahirkan karena dilatari oleh persoalan mayoritas dan minoritas. Dengan melihat kebijakan yang diterapkan negara-negara lain untuk hal-hal yang berkaitan dengan agama diharapkan mampu mendorongkan cara berfikir yang lebih terbuka untuk melihat latar dan efek yang dikhawatirkan dari apa yang terjadi di Indonesia saat ini. Untuk melihat hal tersebut setidaknya tulisan ini akan menyajikan dua contoh kebijakan yang pernah dikeluarkan dua negara yang berbeda terkait ceramah di rumah ibadah.

Baca juga :Khutbah: Strategi(S) Bagi Transformasi Laku Damai

Contoh yang pertama adalah kebijakan dari negara Arab Saudi. Bila kita melihat di negara Arab Saudi, maka bisa jadi kita akan dikagetkan dengan sikap negara ini terhadap kebijakan khutbah yang dikeluarkan negara ini. Negara ini dijadikan contoh, sebab seringkali ketika hendak berbicara mengenai Islam maka tentu nama negara ini tidak akan bisa dilepaskan. Bahkan belakangan seringkali kita mendengar ungkapan bahwa bila hendak menerapkan Islam yang Kaffah, maka sistem politik dan sosial negara ini haruslah menjadi rujukan utama. Seperti diketahui bersama, sistem pemerintahan negara ini yang menganut sistem monarki menjadikan pemerintahnya memiliki wewenang penuh untuk melakukan kebijakan apa pun di wilayah tersebut. Salah satu kebijakan yang berkaitan dengan persoalan di atas adalah langkah penangkapan yang dilakukan pemerintah Arab Saudi pada September 2017 lalu terhadap para imam-imam yang disinyalir membangkang. Dalam reportase BBC Indonesia, hal ini dilakukan pemerintah Arab Saudi karena pemerintah Arab Saudi mencurigai adanya upaya penyebarluasan ide pembangkangan mereka kepada masyarakat melalui Khutbah yang dilakukan para imam tersebut.

Penggunaan wewenang untuk menjaga stabilitas juga diterapkan di negara Singapura. Sebagai negara yang memiliki keragaman etnis dan agama, pemerintah Singapura bahkan sampai mengatur sebuah sistem filterisasi terhadap isi ceramah serta pihak yang akan menyampaikannya. Hal tersebut mereka lakukan karena mereka menghindari adanya infiltrasi unsur-unsur yang berpotensi menimbulkan perselisihan. Keberagaman yang diyakini sejak lama ada di negara ini berupaya untuk dirawat agar kelangsungan negara dan peradaban di negara ini pun tetap terjaga.

Melalui 2 contoh negara yang berbeda tersebut, mestinya fikiran masing-masing dari kita mulai untuk tergerak. Setidaknya kita mulai berfikir terhadap posisi keberpihakan kita sebagai individu dalam negara ini. Bila negara monarki seperi Arab Saudi dan negara demokratis seperti Singapura bahkan sampai memberlakukan kebijakan yang ekstrim untuk menjaga keutuhan negaranya, apakah kita yang merupakan individu (bagian) dari negara ini masih akan berposisi sebagai pembakar api kebencian hingga akhirnya negara dan peradaban bangsa ini musnah? Satu hal yang perlu kita ingat bersama, telalu mahal harga yang harus dibayar nantinya bila pemikiran kerdil yang pro pada ceramah kebencian tetap dipertahankan.

Facebook Comments