Edukasi Perdamaian Berbasis Digital Bersama Milenial

Edukasi Perdamaian Berbasis Digital Bersama Milenial

- in Narasi
1058
1
Edukasi Perdamaian Berbasis Digital Bersama Milenial

Modernitas telah membawa serta kemudahan sekaligus ancaman yang melaten. Misalnya, salah satu produk modernitas adalah internet, telah mengilhami segenap manusia untuk melahap informasi sebanyak-banyaknya, tapi sekaligus rawan dengan konten berbahaya yang termuat dalam informasi tersebut. Celah ini ternyata digunakan oleh sebagian kelompok ekstrimis untuk melakukan indoktrinasi. Berbagai platform media sosial dimaksimalkan, demi mendapatkan jihadis militan untuk dijadikan sebagai pejuang ideologi-ideologinya.

Dalam konteks Indonesia, hal ini sungguh memprihatinkan. Apalagi, mengingat jumlah pengguna internet yang mencapai 143,2 juta, misi kelompok ekstrimis-radikalis yang terbalut apik di berbagai konten di media sosial, sangat rawan membikin pengguna internet kagum dan simpati. Terlebih usia-usia produktif, katakanlah 16-25 tahun, rentan usia yang mudah disusupi ideologi garis keras. Mereka yang tidak dibekali prinsip kemanusiaan, baik yang disarikan dari ajaran agama maupun ilmu sosial-humaniora, dengan mudah akan tergelincir dalam rayuan palsu radikalisme, yang seolah-olah menjanjikan surga tapi nyatanya mengangkangi kemanusiaan. Surga macam apa?

Maka dari itu, mewaspadai persebaran ideologi radikalisme di media sosial amatlah perlu. Sebagaimana riset yang dilakukan Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, bahwa ada 51,1% responden mahasiswa dan pelajar memiliki opini intoleran terhadap aliran minoritas Islam yang dipersepsikan berbeda dengan mayoritas, seperti Ahmadiyah dan Syiah. Sementara 34,3% responden yang sama memiliki opini intoleran terhadap pemeluk agama lain selain Islam. (Tirto.id)

Temuan tersebut membuktikan, betapa banyak generasi muda yang memiliki paham intoleran, karena itu perlu segera ditindaklanjuti, agar tidak menjadi konflik terbuka. Tidak bisa dibayangkan, jika opini tersebut lalu berubah menjadi sikap dan perilaku, tentu hanya akan membuat kegaduhan di masyarakat, dan baik umat mayoritas maupun minoritas pada akhirnya akan rugi, baik materi maupun nonmateri.

Hasil survei PPIM juga dikuatkan dengan pernyataan Zainut Tuhid Sa’adi, Wakil Ketua MUI, yang mengatakan bahwa paham radikalisme mulai dikenal seseorang semenjak di SMA hingga perguruan tinggi. (Sindonews.com) Hal ini wajar belaka, mengingat secara psikologis, kaum muda tengah bersemangat mencari jati diri; dan jika cocok dengan ajaran radikalisme, mereka tak segan untuk jadi martirnya!

Lebih lanjut juga dikatakan, bahwa media yang paling mudah digunakan untuk menebarkan virus radikalisme adalah media sosial. Seseorang, terutama generasi milenial yang lahir berbarengan dengan kemajuan teknologi internet, bisa hanya seharian di kamar, tapi tanpa diketahui orang tua, tengah mengonsumsi konten radikalisme. Maka tidak mengherankan jika sejarah radikalisme-terorisme di Indonesia banyak melibatkan kaum muda, dan ini sungguh ironis; mengingat mereka sebagai tulang punggung Indonesia di masa mendatang.

Baca juga :Menyoal Ceramah Politik

Maka dari itu, upaya MUI dalam menangani radikalisme di kalangan remaja patut diapresiasi, yakni dengan melakukan pendekatan edukatif. Dikabarkan, MUI menggandeng Polri, untuk memberikan informasi-informasi berkaitan dengan radikalisme dan ancamannya. Selain itu, juga melakukan sosialisasi terhadap kawula muda.

Melibatkan kaum milenial

Sebenarnya, MUI telah melakukan upaya yang bagus, tapi masih ada yang luput. Bahwa edukasi perdamaian tidak hanya ditujukan kepada generasi milenial, tapi juga harus dilakukan oleh milenial itu sendiri. Memosisikan milenial sebagai obyek agaknya kurang pas, mengingat potensi yang ada di dalamnya. Mengerahkan milenial berpaham toleran untuk berjuang bersama berantas radikalisme di dunia maya agaknya lebih efektif, dibanding hanya kerja sama lintas sektoral antar lembaga pemerintah. Satu hal yang mesti dipahami, bahwa milenial enggan dan akan bosan jika diceramahi/dinasihati. Milenial juga butuh diakui eksistensinya. Karenanya, pendidikan teman sejawat (milenial toleran menyebarkan konten positif, untuk mengedukasi milenial intoleran) sepertinya tepat dilakukan. Apalagi mengingat kemampuan milenial dalam memainkan berbagai platform media sosial; tentu menjadi keunggulan tersendiri.

Konten-konten toleransi tersebut bisa disisipkan dalam bentuk tulisan, gambar, meme, maupun video. Media-media yang digunakan akan menemukan segmen peminat masing-masing, dan jika hal ini dilakukan oleh segenap milenial toleran, tentu akan menjadi gerakan yang besar. Membersihkan radikalisme di media sosial tidak dengan cara mengutuk mereka, melainkan dengan jalan mengajak netizen untuk berpikir, dengan menjelaskan konsep-konsep hidup bermasyarakat; bahwa kebebasan individu dibatasi kebebasan kolektif, dan kebebasan kolektif didasarkan pada etika-moral yang dirumuskan para founding father Indonesia (Pancasila, UUD 45, Bhineka Tunggal Ika, dan NKRI). Pun, etika-moral yang termuat dalam sistem kepercayaan yang berkembang di Indonesia; yakni agama. Bahwa semua agama yang ada di Indonesia, memiliki titik temu dalam aspek mengupayakan kehidupan masyarakat yang damai, sekalipun dari segi akidah ada perbedaan.

Dengan begitu, yang dibutuhkan kita hari ini adalah gerakan bersama kaum milenial di dunia maya. Bahwa kesadaran milenial akan tugas tersebut, mesti ditumbuhkan secara perlahan. Maka, segenap masyarakat, baik keluarga, sekolah, dan siapapun yang terlibat dalam pendidikan kaum remaja, mesti mampu menyadarkan peran milenial, agar tidak terlena dengan cinta-cintaan dan hidup hedon yang menguras energi, waktu, dan materi. Sudah saatnya, milenial bangkit melawan radikalisme, dan menjadikan media sosial sebagai medan perjuangan. Tanpa milenial yang sadar, rasanya sulit untuk menciptakan dunia maya (dan tentu juga nyata) yang lebih arif dalam menerima perbedaan, dan menjadikannya sebagai warna yang indah.

Facebook Comments