Mewujudkan Islam Kaffah Tanpa Khilafah

Mewujudkan Islam Kaffah Tanpa Khilafah

- in Narasi
2781
0

Di antara argumen kelompok maupun individu yang pro-khilafah, termasuk konteks Indonesia, adalah keyakinan bahwa kesempurnaan dalam berislam harus didukung oleh sistem negara yang secara formal menerapkan pula syariat Islam. Perjuangan mendirikan negara Islam, bagi kelompok ini, merupakan cita-cita yang harus diraih untuk mewujudkan—dalam istilah populer disebut “Islam kaffah”.

Itulah sebabnya, para aktivis pro-khilafah bersemangat melakukan indoktrinisasi kepada jemaah internal yang telah berkomitmen mendukung perjuangan ini, dan juga kepada masyarakat umum serta kelompok-kelompok pengajian binaannya. Indoktrinisasi ini kemudian dibungkus dalam medan “dakwah”, yang dalam terminologi lain disebut sistem pengkaderan model usroh, yaitu membentuk kumpulan-kumpulan kecil dengan tujuan mengarahkan mereka untuk mencapai tingkat keteladanan yang tinggi, menjalin persatuan, dan sebagainya.

Berdasarkan pemikiran di atas, yang dimaksud berislam secara kaffah menurut pelacakan Nur Khalik Ridwan (2004: 53), merujuk pada konsep al-Qur’an udkhulu fi as-silmi kaffatan (Q.S, al-Baqarah: 208); mati syahid merujuk pada kredo ‘isy kariman aw mut syahidan; dan kebathilan adalah musuh kami, yang sering merujuk ayat idha ja’a al-haqq wa zahaqa al-bathila inna al-bathila kana zahuqa (Q.S, al-Isra’: 81).

Penggunaan jargon-jargon itu jika tidak ekstra hati-hati memahaminya akan terjerumus pada pemahaman yang tekstual dan dampaknya, sangat berbahaya mempengaruhi wilayah kognisi dan psimotorik pendengar/pembacanya. Sebab, para ideolog di kelompok-kelompok gerakan Islam yang memang selalu menjadikan Q.S, al-Baqarah: 208 itu sebagai alat untuk “menghipnotis” sekaligus mendoktrin lawan bicaranya, dengan tanpa memberikan penjelasan dan interpretasi makna yang memadai. Ayat itu pasti dipahami sesuai dengan terjemahan dan pemahaman yang tekstual, “masuklah dalam Islam secara menyeluruh”.

Namun jarang mempertanyakan, apa yang dimaksud udkhulu, al-silmi, dan kaffah dalam ayat tersebut? Padahal kalau memang serius melacak dari segi bahasa, misalnya, barangkali kita akan temukan makna lain yang tidak tunggal, dan tidak selalu diterjemahkan secara tekstual.

Reinterpretasi kaffah

Lihat dan baca Qamus al-Marbawi, karangan Muhammad Idris ‘Abd al-Rauf al-Marbawi, yang menerjemahkan kata udkhulu, berasal dari kata dakhala, mempunyai dua makna, yakni masuk dan memulai (al-Marbawi, tt: 195). Sedangkan kata al-silmi, menurut Ibrahim Anis, dalam al-Mu’jam al-Wasith, ternyata tidak hanya bermakna “Islam”, tapi juga bermakna al-shuluh (damai), al-musalim (keselamatan, orang yang menyukai keselamatan) (Anis, dkk, tt: 446). Kata kaffatan, menurut Farra’, seperti yang tertuang dalam Ma’ani al-Qur’an, di-nashab-kan karena sebagai masdhar (kata benda), dan maknanya berarti ma’an dan jami’an, yang biasanya digunakan dalam sebuah ungkapan, “berdirilah secara bersama-sama”, dan “berdirilah semuanya” (al-Qayyumi, Jld. II, tt: 536).

Dari pengertian secara bahasa itu, maka dapatlah dimengerti bahwa terdapat pemahaman yang lain, yang tidak melulu merujuk pada makna tunggal, “masuklah dalam Islam secara menyeluruh”. Seperti beberapa contoh terjemahan berikut: mulailah dalam kedamaian secara bersama-sama/masuklah dalam kedamaian secara bersama-sama/mulailah dalam agama Islam secara bersama-sama/masuklah dalam Islam secara bersama-sama/masuklah mereka yang suka keselamatan secara bersama-sama/mulailah orang yang suka keselamatan secara bersama-sama (Ridwan, 2004: 54).

Dengan adanya beberapa pilihan terjemahan yang begitu banyak dan dapat dijadikan alternatif untuk melakukan pembacaan terhadap maksud Q.S, al-Baqarah: 53, secara pasti menepis makna tunggal yang selama ini mengendap dan bertahan lama di hadapan penafsir kelompok usroh. Jauh lebih berbahaya lagi, pemahaman Q.S, al-Baqarah: 208 menurut kacamata mereka yang berasaskan pada penafsiran tunggal tadi, dibenturkan degan jargon atau kredo berikutnya, ‘isy kariman aw mut syahidan (hidup mulia, atau mati syahid). Seolah-olah muncul kesan, untuk mengimplementasikan Q.S, al-Baqarah: 208 dalam kehidupan sehari-sehari, setiap muslim dianjurkan (dan bahkan diwajibkan?) agar menjalankan kredo ‘isy kariman aw mut syahidan.

Bagaimana cara dan bentuk ‘isy kariman aw mut syahidan? Oleh mereka, kelompok usroh, jawabannya selalu mengarah pada implementasi jihad dalam arti fisik, perang, dan sejenisnya yang identik dengan kekerasan dalam melakukan apa yang mereka anggap sebagai amar ma’ruf nahi mungkar. Pemahaman yang demikian sungguh sesat dan menyesatkan.

Mewujudkan Islam kaffah, tidak harus menegakkan Khilafah Islamiyah, yang membawa seseorang kepada pola pikir anti-Pancasila dan NKRI. Islam kaffah dalam keseharian bernegara lebih mementingkan isi kacang daripada kulitnya, yang berarti, selama bangsa ini damai, rukun, kondusif, sejahtera, makmur, dan dengan sendirinya kita aman sentosa dalam beribadah meski tanpa label negara agama/syariah, maka secara substansial kita telah mewujudkan Islam kaffah itu.

Facebook Comments