Khilafah (Bukan) Solusi

Khilafah (Bukan) Solusi

- in Narasi
1439
0

Dalam sejarah politik manapun, konsensus politik yang dicapai oleh kelompok mayoritas tidak serta-merta diterima oleh sebuah orang atau lapisan masyarakat. Karena pada dasarnya sbuah keputusan tidak bisa memuaskan semua pihak, pasti ada yang merasa dirugikan dengan alan masing-masing. Akan tetapi, kesepakatan mayoritas harus diterima dengan lapang dada. Dari sinilah muncul kelompok sempalan yang sering membawa misi sparatis (Sri Yunanto, 2017).

Dalam konteks keindonesiaan, sejarah politik membeberkan betapa diskursus antara kelompok begitu ketat dan alot, terutama awal-wal kemerdekaan yang mencuat perdebatan panjang terkait bentuk dan dasar negara. Ada kaum nasionalis-sekuler dan ada kelompok santri-abangan yang menginginkan Indonesia berdiri sebagai negara berlandaskan syariat Islam. Dari diskursus ini, meskipun sempat lahir Piagam Jakarta yang menunjukkan bahwa Indonesia adalah negara agama, namun kemudian lahirlah sebuah konsensus bahwa Indonesia tidak berlandaskan syariat islam, juga bukan sekuler, tetapi Indonesia adalah negara kesatuan yang berlandaskan Pancasila.

Dalam perkembangan selanjutnya, muncul kelompok-kelompok yang mengaku ingin mengembalikan sejarah di masa lampau, yakni Piagam Jakarta. Ada yang melalui politik dengan cara mendorong amandemen UU, ada juga yang melalui gerakan keagamaan. Barangkali munculnya gerakan Darul Islam atau Negara Islam Indonesia (NII) adalah salah satu wujud kelompok yang hendak mengembalikan sejarah itu.

Akan tetapi, lagi-lagi, kelompok ini tidak mendapatkan dukungan politik yang siginifkan, bahkan dalam masa Soeharto, kelompok ini dituduh sebagai kelompok pemberontak pemerintah sehingga para elite pimpinan ini banyak yang menjadi buronan militer dan dihukum mati.

Meskipun demikian, kelompok minoritas ini lantas mati. Alih-alih mati, saat ini ideologi dan misi yang dianggap suci itu mencuat kembali. Selain dipengaruhi oleh faktor sejarah, ditengarai kelompok ini muncul sebagai akibat atau respon terhadap kondisi kekinian.

Pertama, bahwa khilafah adalah solusi krisis yang terjadi saat ini. Ketidakadilan, korupsi, gaya hidup yang semakin bebas, menjamurnya kejahatan, asusila, dan semakin keringnya etiak dan mooral dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, oleh kelompok ini, dituding sebagai gagalnya pemerintahan Pancasila. Oleh sebab itu, harus ada formulasi yang mengganti itu, yakni khilafah.

Kedua, hegemoni Barat. Bagi umat islam yang memegang teori konspirasi, menganggap dan menilai bahwa persoalan terorisme merupakan skenario barat untuk menghancurkan Islam. Jadi, orang barat membuat ‘boneka’ untuk mengobrak-abrik Islam dan boneka itu lahir dan umat Islam sendiri tetapi yang membiayai Barat. Pembiaran Israel yang membunuh orang Palestina juga menjadi dasar semangat kebangkitan Islam yang salah satu ekspresinya adalah membentuk negara Islam. Mereka berasumsi bahwa negara adalah jalan yang paling otoritatif, efektif, dan signifikan untuk melakukan perubahan, bahkan perlawanan.

Ketiga, mimpi kebangkitan Islam. Roamantisme masa lalu kembali digulingkan oleh kelompok Islam tertentu. Argumen yang mereka gaungkan adalah, heroisme pemikiran Islam di masa lalu. Bahwa Islam pernah berjaya dan ketika itu umat Islam berda dalam panji Islam yang satu, yakni sistem khilafah, Abbasiyah dan Turki Usmani.

Islam dan Pancasila

Sebagai negara demokrasi, setiap orang dijamin untuk berpendapat dan menentukan pilihannya sendiri-sendiri dalam konteks pemimpin dan beragama. Jadi, negara tidak akan intervensi secara membabi buta bahwa warga harus beragama ini dan itu. Agama hanya sekedar fasilitator. Dengan demikian, sah-sah saja seseorang berpendapat bahwa khilafah adalah solusi atas segala krisis yang terjadi di Indonesia.

Akan tetapi, pendapat tersebut tidak boleh dipaksakan, terlebih kalau pendapat itu dipaksa diterapkan berimplikasi terhadap eksistensi bangsa dan negara Indonesia. Untuk itu, tulisan ini hendak memberikan pemahaman yang mendalam terhadap kelompok yang ngotot mendirikan Negara Islam di Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar mereka paham benar akan karakter dan tradisi Indonesia secara mendalam.

Pertama, Islam dan Pancasila sejalan. Tentu para pendiri bangsa, kaum santri kala itu yang menginginkan Islam sebagai landasan dalam menjalan roda pemerintahan, menerima Pancasila sebagai ideologi bangsa tanpa melalui pertimbangan yang masak-masak. Bahwa kaum santri kala itu menyadari bahwa esensi Pancasila itu kompatible dengan Islam seperti Ketuhanan Yang Maha Esa, keadilan dan lain sebagainya.

Sebenarnya mayoritas umat Islam Indonesia tidak lagi mempersoalkan kompatibilitas Islam dan Pancasila. Yang menjadi masalah bersama saat ini adalah kelompok-kelompok yang anti-Pancasila. Terhadap fenomena ini, Sri Yunanto (2017: 33-34) memberikan dua tugas pokok anak bangsa: pertama meyakinkan secara telologis-historis bahwa Pancasila merupakan ideologi yang sudah benar dan pas; kedua, dengan segera mengatasi berbagai penyakit dalam praksis kenegaraan yang menunjukkan keteladana tidak baik seperti korupsi, sehingga kelompok yang anti-Pancasila tidak memiliki argumen historis, telogis, maupun empiris.

Jika saat ini pemerintahan Pancasila menunjukkan kegagalan, maka yang gagal bukanlah ideologi Pancasila, melainkan orang yang tidak menjalankan dan mempraktikkan Pancasila secara utuh. Dan yang penting, bahwa ideologi Pancasila tidak menghambat perjuangan Muslim untuk memasukkan subtansi ajaran Islam dalam UU.

Kedua, esensi khilafah. Khilafah adalah sistem pemerintahan berdasarkan wahyu Tuhan. Sementara yang menjalankan disebut sebagai khalifah. Terkait hal ini, Nurcholis Madjid mempunyai pandangan luar biasa. Bahwa kekhalifahan dalam Alquran (Albaqarah:3132), menjadi pangkal sumbangan Muslim terhadap umat manusia sekarang ini. Sebab, manusia adalah pelaksana tugas ilahiah di muka bumi, yang berfungsi memakmurkan dunia. Jadi, esensi khilafah dan khalifah sejatinya adalah tanggung jawab global.

Jadi, tanggung jawab itu tidak melulu harus dipenuhi dan diwujudkan dalam bentuk pemerintahan yang berlandaskan wahyu Tuhan. Yang diperlukan khalifah saat ini adalah kemampuan intelektual. Dan kesalehan sosial. Ilmu dan kebebasan itu memerlukan petunjuk ilahi sebagai ‘spiritual safety net’ yang dapat memberikan arah bagi pengguna ilmu (Yusnasril Ali, 2002).

Jadi, yang mengatakan bahwa khilafah adalah satu-satunga solusi krisis yang dialami dunia dan sebagai cara untuk meraih kebangkitan Islam kembali tidak hanya dangkal dalam pemahaman sejarah, melainkan juga intelektual. Sebab, orang yang pandai adalah orang yang mampu hidup dimanapun ia tinggal, sekalipun di negeri sekuler, tetapi ia tetap gigih memperjuangkan nilai-nilai universal Islam.

Dalam konteks Indonesia, perjuangan untuk memakmurkan bumi sangat terbuka. Untuk itu, tinggalkan ego sektoral dan pandangan yang sempit. Indonesia adalah Negara Pancasila. Marilah menaman saham untuk kesejahteraan dan kemajuan Indonesia. Jangan menunggu negeri ini bubar karena tenaga terkuras untuk perdebatan dan saling sikut sani-sini dengan kelompok berbeda pandangan. Fokus kita adalah, bagaimana menjadi Indonesia yang hebat ini maju dan masyarakatnya sejahtera.

Facebook Comments