Mudik Virtual dan Urgensi “Supporting System” di Masa Pandemi

Mudik Virtual dan Urgensi “Supporting System” di Masa Pandemi

- in Narasi
1962
0
Mudik Virtual dan Urgensi “Supporting System” di Masa Pandemi

Tahun ini perayaan hari Idul Fitri bisa dipastikan akan mengalami sejumlah penyesuaian. Pandemi Covid-19 yang belum mereda mengharuskan umat Islam menyesuaikan diri dengan keadaan. Salah satunya ialah tidak mudik ke kampung halaman. Sebenarnya sejak jauh hari, pemerintah sudah mengeluarkan aturan pelaran mudik, baik nasional maupun regional. Namun, di tengah pemberlakukan larangan itu, masih saja ada masyarakat yang nekat mudik dengan berbagai macam cara. Mulai dari menyewa travel gelap, mengelabuhi polisi hingga melewati jalan tikus.

Jika dinalar secara obyektif, perilaku yang demikian itu sebenarnya tidak begitu mengherankan. Bagi masyarakat Indonesia terutama yang beragama Islam, mudik lebaran telah menjadi tradisi wajib tahunan yang tidak boleh dilewatkan. Bahkan, meski harus melalui perjalanan yang panjang, macet dan melelahkan, masyarakat tetap melakoninya dengan riang gembira. Mudik bagi sebagian besar masyarakat Indonesia telah menjadi semacam identitas kultural yang tidak bisa diganggu-gugat.

Menurut sosiolog Imam B. Prasodjo, mudik adalah fenomena sosial-budaya, keagamaan, sekaligus ekonomi. Di dalam mudik, ada dimensi sosio-kultural yakni keterikatan seseorang dengan asal-usulnya, yakni keluarga dan leluhur di kampung halaman. Dari sisi ekonomi, mudik juga menjadi sarana distribusi kekayaan dari wilayah urban (perkotaan) ke wilayah rural (pedesaan) yang tentu berdampak bagi ekonomi di daerah tujuan mudik. Terakhir, mudik juga memiliki dimensi keagamaan lantaran momennya dilakukan menjelang perayaan hari besar agama seperti Idul Fitri atau Idul Adha.

Senada dengan Prasodjo, Fathorrahman Gufron dalam artikelnya berjudul “Mudico Ergo Sum” menyebut mudik sebagai perjalanan kultural sekaligus spiritual. Lebih spesifik Ghufron menjelaskan bahwa mudik ialah bagian dari upaya menemukan kembali (reinventing) dan penyegaran kembali (refreshing) jati diri manusia dengan kembali ke akarnya. Di dalamnya terkandung makna kontemplatif (mudzakarah) dan evaluasi diri (muhasabah).

Di tengah situasi pandemi ini, mudik tentu merupakan aktivitas yang mutlak harus ditunda. Mobilitas manusia dari satu tempat ke tempat lainnya sangat berpotensi membuat penyebaran virus kian masif. Dalam konteks ini, larangan mudik yang dikeluarkan pemerintah wajib diapresiasi sekaligus didukung. Sebagai gantinya, masyarakat bisa mudik secara virtual, yakni menggunakan teknologi komunikasi digital untuk halal bi halal, atau sekadar menyambung silaturahmi dengan keluarna, kerabat dan handai-taulan. Meski di tengah suasana pandemi, maaf-memaafkan, halal bi halal dan silataruhami tetap harus dijaga.

Terlebih di masa pandemi ini, ketika nyaris semua orang mengalami beban psikologis yang lebih berat ketimbang hari-hari biasa di luar masa pandemi. Pandemi yang sudah berlangsung sekira dua bulan ini tidak pelak telah membuat sebagian besar masyarakat berada dalam tekanan psikologis alias depresi yang memprihatinkan. World Health Organization (WHO) sendiri menyebut bahwa pembatasan sosial yang melarang orang bertemu dan berkerumun telah meningkatkan angka penderita depresi dunia secara drastis.

Baca Juga : Lebaran Virtual dan Spirit Kemenangan Melawan Pandemi

Di masa-masa sulit ini, selain menjaga kesehatan dan tentunya menjaga stabilitas keuangan, salah satu yang tidak kalah penting ialah menjaga kewarasan berpikir dan stabilitas kejiwaan kita. Hal itu dapat diupayakan dengan memperkuat supporting system di lingkaran terdekat kita. Supporting system itu bisa kita dapatkan dari hubungan kekeluargaan, pertemanan maupun komunitas yang harmonis, hangat dan dilandasi sikap saling peduli.

Dalam konteks ini, kita terbilang beruntung lantaran supporting system dalam masyarakat bisa dibilang sangat kuat. Institusi keluarga, komunitas, masyarakat dan lembaga agama telah menjadi institusi penting yang menyokong terciptanya supporting system dalam masyarakat Indonesia. Maka tidak mengherankan jika kita bisa melewati segala problematika sosial dengan mengoptimalkan jejaring sosial yang secara organik telah terbentuk tersebut.

Perayaan Idul Fitri yang identik dengan silaturahmi, halal bi halal, kumpul keluarga, kiranya bisa menjadi momentum untuk mempekuat supporting system yang sangat kita butuhkan di masa pandemi ini. Esensi dari penguatan supporting systemtentu bukan pada kuantitas pertemuan fisik, melainkan lebih pada kualitas relasi sosio-psikologis yang dilandasi sikap kesalingpengertian dan kesalingpedulian (mutual understanding dan mutual solidarity). Jadi, meski tidak bisa mudik, kita masih bisa memperkuat supporting system kita melalui komunikasi virtual. Kecanggihan teknologi informasi dan komunikasi kiranya bisa mendukung kebutuhan manusia untuk saling terkoneksi, tanpa harus bersimuka secara fisik.

Berbagai kabar gembira dan positif sekaligus saling menguatkan antarkeluarga, saudara dan teman ialah strategi yang bisa kita tempuh untuk menjaga stabilitas psikologis selama pandemi. Hal ini penting lantaran kondisi kejiwaan kita akan sangat berpengaruh pada tingkat imunitas tubuh. Kian stabil psikologis kita, bisa dipastikan akan kian kuat pertahanan tubuh kita dalam menangkal serangan virus dari luar. Demikian pula sebaliknya. Jika kondisi psikologis kita mengalami depresi, otomatis imunitas tubuh kita pun mengalami kerentanan. Dalam kondisi pandemi yang rawan membuat orang stress dan depresi ini, keterhubungan meski secara virtual akan sangat membantu menjaga kondisi psikologis tetap stabil. Relasi antarmanusia dalam bingkai supporting system akan menjadi modal manusia untuk saling menguatkan satu sama lain. Oleh karena itu penting bagi umat Islam untuk menjadikan momentum Idul Fitri ini tidak hanya sebagai ajang silaturahmi atau halal bi halal, namun juga menjadi momentum untuk saling memberikan pesan positif dan saling menguatkan demi bersama-sama mengalahkan pandemi. Arkian, selamat merayakan hari kemenangan. Selamat mudik ke kampung halaman secara virtual. Ceritakan kabar positif dan sebarkan optimisme kepada kerabat dan taulan. Saling menguatkan ialah satu dari sekian banyak strategi untuk bertahan di tengah pandemi.

Facebook Comments