Lebaran Virtual dan Spirit Kemenangan Melawan Pandemi

Lebaran Virtual dan Spirit Kemenangan Melawan Pandemi

- in Narasi
2169
2
Lebaran Virtual dan Spirit Kemenangan Melawan Pandemi

Idul Fitri sebagai akhir dan puncak perjalanan umat Islam menjalani rangkaian ibadah Ramadan sudah di depan mata. Dalam hitungan hari, hari kemenangan seluruh umat Islam itu akan tiba. Sebagaimana datangnya hari yang sangat dinantikan, umat Islam tentu bersuka cita menyambut datangnya Idul Fitri. Sayangnya, gempita perayaan Idul Fitri tahun ini bisa dipastikan akan sedikit meredup. Sebabnya apalagi jika bukan pandemi virus Covid-19 yang belum kunjung mereda. Penyebaran virus Covid-19 mengharuskan umat Islam menjalani Ramadan dan merayakan Idul Fitri dalam suasana dan cara berbeda.

Di bulan Ramadan, sebagian besar masjid sepi lantaran kebijakan pembatasan sosial mengharuskan umat melaksanakan rangkaian ibadah Ramadan di rumah. Demikian pula ketika lebaran tiba. Sholat Ied yang biasanya dilaksanakan di masjid atau di lapangan dengan penuh gegap gempita kini harus dilaksanakan di rumah masing-masing. Majelis Ulama Indonesia (MUI), Nahdlatul Ulama (NU) dan Muhammadiyah sebagai tiga organisasi Islam paling otoritatif di negeri ini telah mengeluarkan fatwa tentang keharusan menjalankan sholat Ied di rumah.

Tidak hanya itu, lebaran tahun ini juga bisa dipastikan akan lebih sepi ketimbang lebaran tahun-tahun sebelumnya. Larangan mudik yang ditetapkan pemerintah sejak jauh hari menyebabkan sebagian besar umat Islam tidak dapat merayakan lebaran dengan sanak saudara, kerabat dan taulan di kampung halaman. Pemerintah dan lembaga keagamaan pun menganjurkan masyarakat menjalin silaturahmi lebaran melalui komunikasi virtual. Barangkali inilah “lebaran virtual” pertama kalinya untuk umat Islam.

Baca Juga : 10 Hari Terakhir Ramadhan, Ayo Bangkit Lawan Covid-19

Pandemi Covid-19 yang mengharuskan kita merayakan lebaran dengan kewajiban pembatasan sosial seharusnya tidak menjadi penghalang kita untuk tetap menjalin silaturahmi, bermaaf-maafan dan halal bi halal dengan sanak-saudara. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi saat ini telah memungkinkan manusia saling terhubung dan berkomunikasi tanpa bertatap muka.

Kemunculan internet pada dekade 1980-an yang kemudian mencapai puncaknya pada booming media sosial pada era 2000-an awal telah melahirkan apa yang disebut Mannuel Castels sebagai masyarakat jaringan (the network society). Yakni kelompok masyarakat yang saling terhubung secara virtual di dunia maya. Castels menyebut, masyarakat virtual dicirikan dengan karakteristik komunikasinya yang terbuka dan fleksibel. Teori Castels tentang masyarakat jaringan ini mendapat pengejawantahannya dalam konteks saat ini, dimana umat Islam dipaksa merayakan lebaran secara virtual. Tentu tidak mudah bagi umat Islam untuk menjalani the new normal ini.

Memaknai Pandemi Sebagai Ujian dari Allah

Meski demikian, kita tidak patut bersedih, apalagi mengutuki keadaan. Kondisi pandemi ini tidak lain merupakan ujian dan musibah dari Allah Swt. Sebagai orang beriman kita tentu wajib menjalaninya dengan penuh kesabaran. Lagipula, Idul Fitri tahun ini hanya berkurang dari sisi kegempitaan perayaan seremonial yang sebenarnya bersifat luaran alias artifisial belaka. Secara esensial, nilai sakralitas Idul Fitri tetap tidak berkurang sedikit pun. Dimana pun kita menjalani sholat Ied, lewat cara apa pun kita bersilaturahmi, dan dalam kondisi apa pun kita merayakan lebaran, makna Idul Fitri yang paling hakiki ialah kembalinya manusia ke dalam kondisi suci tanpa dosa setelah sebulan lamanya menjalani ibadah puasa dengan ikhlas dan sabar.

Komaruddin Hidayat dalam bukunya The Wisdom of Life; Menjawab Kegelisahan Hidup dan Agama menyebutkan bahwa Idul Fitri ialah semacam hadiah dari Allah bagi umat Islam yang mampu menjalankan puasa dengan menahan diri tidak makan, minum dan berhubungan seksual, menahan diri dari berpikir, berucap dan berperilaku negatif, serta senantiasa menautkan hati dan pikirannya hanya pada Allah. Karunia Idul Fitri menurut Hidayat ialah prestasi spiritual yang akan menumbuhkan dan menyegarkan komitmen umat Islam pada nilai kemanusiaan.

Lebih lanjut, Hidayat menyebut bahwa hakikat Idul Fitri bukanlah pesta perayaan atas terbebasnya kekangan hawa nafsu selama bulan Ramadan. Jika premis itu yang dipahami, maka Idul Fitri akan berakhir menjadi sebuah seremoni yang berlebihan, konsumtif, namun nirmakna. Idul Fitri adalah ungkapan syukur kita pada Allah atas kemenangan menjalani ujian kesabaran dan keikhlasan selama bulan Ramadan. Dengan logika yang demikian ini, umat Islam akan menyadari bahwa pasca Ramadan dan Idul Fitri, mereka akan kembali mengemban tugas-tugas kemanusiaan dengan lebih tangguh dan bersemangat.

Spirit kemenangan yang terkandung dalam Idul Fitri itulah yang kiranya relavan untuk kita kembangkan dalam konteks kekinian, dimana umat manusia tengah berjibaku melawan pandemi Covid-19. Sebaran virus yang kian meluas tidak hanya merenggut banyak nyawa, namun juga telah melemahkan sendi-sendi perekonomian nasional. Jutaan masyarakat saat ini mengalami kesulitan hidup karena kehilangan penghasilan bahkan pekerjaan. Maka dari itu, spirit Idul Fitri hendaknya bisa kita reaktualisasikan dan kontekstualisasikan untuk menyelesaikan problem sosial dan ekonomi akibat pandemi Covid-19 ini.

Mengejawantahkan Spirit Kemenangan Idul Fitri

Dalam tradisi masyarakat Indonesia pada umumnya, lebaran Idul Fitri identik dengan pakaian baru. Secara sosio-filosofis, hal itu dapat dimaknai sebagai ekspresi atau verbalisasi simbolik dari suasana jiwa yang baru dan suci setelah selama sebulan melakukan proses penyucian diri dan jiwa. Suasana fisik dan batin yang serba baru dan suci itu hendaknya bisa dikonversikan ke dalam kesadaran untuk membangun solidaritas, baik sesama muslim, sesama bangsa, sesama manusia maupun sesama makhluk ciptaan Allah.

Abdul Munir Mulkhan dalam buku Kesalehan Multikultural; Berislam Secara Autentik di Aras Peradaban Global menyebut bahwa solidaritas sosial tidak harus dimaknai secara sempit sebagai tindakan karikatif dari si kaya kepada si miskin. Lebih dalam dan luas dari itu, solidaritas sosial dapat dipahami sebagai komitmen bersama untuk menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan sehingga setiap individu atau kelompok sosial terjamin hak-haknya sebagai manusia yang bermartabat dan merdeka. Maka, solidaritas sosial hendaknya diletakkan dalam bingkai kerendahhatian, sikap saling menghormati dan kesetaraan. Tanpa ketiganya, solidaritas sosial tidak akan pernah terwujud.

Dalam konteks pandemi Covid-19 ini, solidaritas sosial berbasis kemanusiaan dan kesetaraan menjadi modal sosial-kultural yang penting. Tanpa solidaritas sosial, perang melawan pandemi akan berjalan tidak solid, sporadis bahkan berjalan sendiri-sendiri. Pasca lebaran ini, kita akan menghadapi tantangan yang tidak kalah beratnya. Ancaman penularan virus Covid-19 mewajibkan kita untuk tetap mematuhi aturan pembatasan sosial, dan menerapkan protokol kesehatan Covid-19. Begitu pula ancaman krisis ekonomi juga memaksa kita bekerja dan berpikir lebih keras dan inovatif. Krisis dan kesulitan tidak untuk kita ratapi, alih-alih kita sikapi dengan optimisme dan kreatifitas. Kiranya momentum hari lebaran Idul Fitri ini bisa memompa semangat kebersamaan, solidaritas dan kemanusiaan kita dalam menghadapi pandemi Covid-19. Jika kita bisa melawan hawa nafsu negatif selama sebulan penuh, lantas meraih kemenangan dan kembali suci, besar kemungkinan kita juga bisa melawan pandemi ini dan meraih kemenangan di babak akhir. Yang kita butuhkan saat ini ialah optimisme dan kesadaran bahwa pandemi ini bisa diakhiri atau minimal dikendalikan jika kita disiplin dalam menerapkan pembatasan sosial dan patuh pada protokol kesehatan Covid-19. Akhirul kalam, selamat merayaan Idul Fitri 1441 Hijriah, semoga kemenangan dan kesucian kita melahirkan semangat dan kekuatan baru dalam melawan pandemi Covid-19.

Facebook Comments