Mungkinkah Indonesia Menjadi Basis Gerakan Teroris Internasional?

Mungkinkah Indonesia Menjadi Basis Gerakan Teroris Internasional?

- in Faktual
625
0
Mungkinkah Indonesia Menjadi Basis Gerakan Teroris Internasional?

Empat warganegara Uzbekiztan ditangkap Densus 88 Antiteror 24 Maret 2023 lalu karena diduga menyebarkan propaganda terorisme di media sosial. Ketiganya diketahui sebagai anggota jaringan teroris internasional. Sedangkan satu diantaranya menjadi penyandang dana. Diketahui, mereka berasal dari Suriah dan masuk Indonesia melalui Singapura dan Malaysia.

Penangkapan ini menimbulkan beragam spekulasi. Mungkinkan mereka adalah anggota ISIS yang pindah dari Suriah ke Indonesia? Jika benar, apakah kepindahan ini merupakan bagian dari upaya menjadikan Indonesia sebagai basis gerakan ekstremisme setelah mereka gagal di Suriah? Jawaban pastinya tentu harus menunggu penyelidikan aparat keamanan lebih lanjut. Namun, sebagai sebuah spekulasi pertanyaan itu kitanya valid.

Bagaimana tidak? Pasca kekalahan ISIS di Irak dan Suriah, gerakan ekstremisme dan terorisme global seolah kehilangan induknya. Mereka tercerai-berai ke dalam sel-sel kecil yang tiarap karena kekurangan sumber daya untuk melakukan aksi. Alhasil, pasca kekalahan ISIS nyaris tidak aksi-aksi terorisme besar, khususnya di Indonesia. Aksi teror umumnya dilakukan dalam skala kecil, perorangan dan terkesan acak alias tidak terrencana matang.

Kekalahan ISIS tidak diragukan merupakan pukulan telak bagi gerakan terorisme global. Tampaknya, jaringan teroris internasional tengah mencari wilayah yang bisa dijadikan sebagai basis gerakan radikal-ekstrem pasca kekalahan mereka di Irak dan Suriah. Bisa jadi, Indonesia ditarget menjadi semacam The Next Syiria. Anggapan itu tentu bukan berlebihan, mengingat Indonesia memiliki segala syarat untuk menjadi basis gerakan radikal-ekstrem berskala internasional.

Empat Alasan Mengapa Indonesia Mustahil Menjadi Basis Gerakan Terorisme Internasional

Antara lain, Indonesia memiliki penduduk muslim terbesar di dunia. Selain itu, di Indonesia juga sudah eksis sel-sel jaringan teroris lokal yang berafiliasi dengan gerakan teroris internasional. Sebut saja misalnya Jamaah Ansharud Daulah (JAD), Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), Mujahidin Indonesia Timur (MIT) dan sejenisnya.

Fakta lainnya ialah bahwa kondisi Indonesia saat ini tengah ada dalam situasi rawan konflik akibat polarisasi. Maraknya politik identitas dan politisasi agama bisa menjadi semacam trigger bagi kebangkitan kelompok radikal ekstrem. Jika itu terjadi, maka celah masuknya jaringan teroris internasional itu akan terbuka lebar.

Namun, apakah Indonesia benar-benar bisa menjadi basis gerakan teroris internasional. Saya pribadi tidak yakin. Ada sejumlah alasan untuk menjelaskan mengapa Indonesia mustahil menjadi basis gerakan teroris internasional.

Pertama, dari segi ideologis kita memiliki Pancasila yang menjadi falsafah kebangsaan dan bersifat final serta mengikat. Pancasila merangkum seluruh ideologi besar dunia, mulai dari islamisme (sila pertama), sosialisme-komunisme (sila kelima), dan liberalisme-demokrasi (sila keempat). Keberadaan Pancasila dengan semboyannya Bhineka Tunggal Ika merupakan benteng bangsa dari virus ideologi transnasional radikal.

Kedua, dari sisi teologis, umat Islam Indonesia mayoritas berwatak moderat dalam artian bersikap inklusif dan toleran terhadap perbedaan. Jika ada kelompok konservatif atau radikal, jumlahnya sebenarnya jauh lebih sedikit. Namun, mereka terlihat dominan karena aktif bersuara di ruang publik, terutama di media sosial.

Ketiga, kita memiliki organisasi keislaman berhaluan moderat dengan pengikut sampai puluhan juta umat. Muhammadiyah sebagai organisasi moderat yang aktif di jalur pemberdayaan sosial-kemasyarakatan mengkalim memiliki anggota tidak kurang dari 20 juta orang. Sedangkan Nahdlatul Ulama yang identik sebagai ormas penjaga tradisi dan lokalitas Nusantara tercatat memiliki anggota sebanyak 80 juta orang. Selama NU dan Muhammadiyah eksis, mustahil kiranya jaringan teroris internasional bisa membangun basis gerakannya di negeri ini.

Terakhir, secara watak dan karakteristik mayoritas umat Islam Indonesia itu tidak suka berkonflik apalagi berperang. Kondisi ini berbeda dengan umat Islam di kawasan Timur Tengah yang memang memiliki kecenderungan senang berkonflik bahkan berperang. Mayoritas muslim di Indonesia lebih mengedepankan kondusifitas sosial ketimbang memperjuangkan kepentingan ideologi yang rawan menimbulkan kekacauan.

Sinergi Hulu dan Hilir dalam Penanggulangan Terorisme

Ke depan yang perlu dilakukan ialah memastikan gerakan radikalisme dan terorisme bisa diberangus hingga ke akarnya. Penegakan hukum di level hilir tentu harus dibarengi dengan upaya pencegahan dan deteksi dini di level hilir. Langkah sigap aparat keamanan khususnya Densus 88 Anti-Teror kiranya harus dibarengi dengan pendekatan sosio-kultural untuk mencegah inividu menjadi radikal.

Penguatan narasi kontra-ekstremisme utamanya yang berbasis digital menjadi kebutuhan mendesak yang tidak dapat ditunda. Mengingat, propaganda ekstremisme dan terorisme hari ini lebih banyak disebar melalui dunia maya, khususnya media sosial. Seperti kita lihat belakangan ini, kanal-kanal media sosial banyak didominasi oleh narasi-narasi kaum radikal-ekstrem.

Mereka sengaja memanipulasi tafsir ayat Alquran, menyelewengkan makna hadist, dan mengaburkan fakta sejarah, demi membelokkan pandangan umat ke arah ektremisme. Dunia maya dank anal medsos telah menjadi arena baru pertempuran ideologi keagamaan. Maka, saatnya mengambil alih kembali ruang publik digital kita dari dominasi kaum radikal.

Facebook Comments