‘Nasionalisme Berketuhanan’: Konsep Keserasian Demokrasi dan Islam di Indonesia

‘Nasionalisme Berketuhanan’: Konsep Keserasian Demokrasi dan Islam di Indonesia

- in Narasi
25
0

Di Indonesia, Islam dan demokrasi tidak berseberangan, melainkan saling bergandengan. Organisasi-organisasi Islam tidak merongrong pemerintah yang sibuk menjalankan demokrasinya dan pemerintah juga tidak mengontrol dan membredel kegiatan-kegiatan keagamaan organisasi-organisasi Islam. Walaupun pada kenyataannya tentu saja tidak sedemikian bersih, akan tetapi secara umum demokrasi Indonesia dan praktik keberagamaan Islam di Indonesia ada pada tingkat kerjasama yang baik dan saling mendukung.

Untuk membahas lebih dalam tentang selarasnya demokrasi dan gerakan Islam di Indonesia, artikel ini memperkenalkan tulisan Jeremy Menchik tentang nasionalisme Indonesia yang berketuhanan dan konsep “toleransi kembar” yang digagas oleh Alfred C. Stepan. Keduanya akan menunjukkan bahwa Islam dan demokrasi di Indonesia tidak berseberangan, melainkan saling mendukung satu sama lain.

Para ahli telah mengakui adanya sebuah pola kerjasama yang baik di Indonesia antara pemerintah dengan organisasi-organisasi keagamaan. Jeremy Menchik, ahli hubungan politik internasional dari Boston University, menyebut pola kebangsaan Indonesia sebagai nasionalisme yang berketuhanan (godly nationalism). Ia melihat bahwa Indonesia sebagai suatu bangsa diikat oleh sebuah pemahaman tentang ketuhanan bersama, yang dijalankan dalam kerjasama yang selaras dengan organisasi-organisasi religius di masyarakat. Toleransi terbentuk walaupun tidak jatuh sepenuh-penuhnya pada liberalisme di seperti negara-negara Eropa-Amerika. Hal ini dijabarkan secara lengkap dalam buku yang ditulisnya, “Islam and Democracy in Indonesia: Tolerance without Liberalism”.

Konteks demokrasi di Indonesia tentu tidak bisa disamakan dengan demokrasi di negara-negara lain. Indonesia sebagai negara korban penjajahan memiliki peluang dan tantangannya sendiri, yang tidak bisa dipukul rata dengan negara-negara kesejahteraan (welfare states) dengan pola demokrasi mereka sendiri. Masyarakat Indonesia telah tumbuh sebagai masyarakat majemuk yang bersama-sama berjuang di bawah derita kolonialisme, sehingga hidup bersama dalam keberagaman ini mendarah-daging dan menjadi semboyan yang mendasari demokrasi kita di Indonesia. Oleh karena itu, ketika keberagaman dan kebersamaan yang menjadi dasar demokrasi ini juga terus berkembang bersamaan dengan berbagai konteks agama yang juga tumbuh di tengah masyarakat. Oleh karena itu, wajar saja jika demokrasi dan kehidupan beragama dapat bersandingan di konteks demokrasi Indonesia.

Hal inilah yang disebut oleh Menchik sebagai nasionalisme yang berketuhanan. Masyarakat Indonesia membangun semangat kebangsaannya melalui keagamaannya. Semangat kebangsaan itu dijalankan dengan kerjasama yang baik antara pemerintah dengan organisasi-organisasi keagamaannya. Kerjasama yang baik ini tentu hanya dapat dihadirkan melalui keterbukaan akan konteks masyarakat Indonesia yang majemuk.

Masih sehubungan dengan hal ini, seorang ahli political scientist asal Amerika bernama Alfred C. Stepan juga melihat Indonesia sebagai sebuah negara sekuler yang dapat dengan baik menempatkan kerjasama yang positif dengan institusi-institusi keagamaan. Selain Indonesia, ada juga India dan Senegal yang menerapkan pola serupa terhadap agama. Pola kerjasama ini disebutnya sebagai “toleransi kembar”. Dalam pola kerjasama ini, demokrasi Indonesia menempatkan sebuah jarak yang sehat antara pemerintah dengan institusi-institusi keagamaan.

Di satu sisi, pemerintah memberikan keleluasaan bagi institusi keagamaan untuk menjalankan kegiatan agamanya dengan bebas. Di sisi lain, institusi-institusi keagamaan itu juga memberi kebebasan bagi pemerintahannya untuk menjalankan demokrasi yang efektif. Pola toleransi kembar ini membuat keberadaan institusi-institusi keagamaan dan pemerintah saling mendukung dalam menjalankan tugasnya masing-masing di tengah masyarakat.

Pola baik toleransi kembar ini tentu didukung oleh perkembangan demokrasi dan Islam yang bertumbuh secara bersamaan di Indonesia melawan kolonialisme. Ketika zaman kolonial dahulu, gerakan Islam sangat ditolak dan kerap menjadi korban diskriminasi oleh para penjajah. Demokrasi yang datang bersama benih-benih kemerdekaan itu yang kemudian mulai membuat Islam memperoleh hak-haknya dan posisi setara di tengah masyarakat. Walaupun pada awalnya ditolak, demokrasi justru didukung oleh gerakan-gerakan Islam sejak Indonesia terlepas dari pola pemerintahan yang otoriter sejak awal-mula era reformasi.

Dari pengalaman akan penjajahan dan otoritarianisme ini masyarakat Indonesia telah belajar akan pentingnya harmoni antara demokrasi dengan kehidupan beragama. Kerasnya pola pemerintahan yang tunggal dan otoriter dalam bentuk apapun akan menghambat kehidupan umat beragama masyarakat Indonesia. Otoritarianisme dengan kekuasaan yang absolut tidak akan memberikan ruang yang cukup bagi rakyat Indonesia untuk menjalankan kehidupan beragamanya.

Oleh karena itu, jarak yang sehat antara pemerintah dan institusi keagamaan penting bagi berjalannya demokrasi dan kehidupan beragama. Melalui toleransi kembar ini pemerintah Indonesia dapat secara efektif menjalankan demokrasi demi kehidupan bersama masyarakat Indonesia yang majemuk, dan organisasi-organisasi keagamaan dapat menjalankan fungsinya untuk mengajarkan nilai-nilai luhur di tengah masyarakat. Demokrasi dan Islam tidak saling berseberangan di Indonesia. Keduanya saling mendukung dengan memberi jarak yang sehat dan dengan gerakan yang bersinergi demi kehidupan bersama masyarakat yang beragam.

Facebook Comments