Noktah Hitam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Indonesia Dalam Kacamata Umat Beragama

Noktah Hitam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Indonesia Dalam Kacamata Umat Beragama

- in Narasi
79
0
Noktah Hitam Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan Indonesia Dalam Kacamata Umat Beragama

Situasi kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) di Indonesia saat ini tidak dalam keadaan “baik-baik saja”. Meski peristiwa pelanggaran KBB yang dilaporkan tersebut tidak banyak; sebab tidak setiap hari terjadi kasus KBB. Tapi tetap saja, persoalan tersebut jadi “hutang masalah” yang menuntut untuk diselesaikan.

Padahal jelas termaktub dalam Undang-Undang Dasar 1945 pasal 2 ayat 2 yang menyatakan bahwa, “Setiap warga diberi kemerdekaan atau kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agama dan kepercayaan itu.”

Selama dua dekade terakhir aturan tersebut dimasukkan dalam konstitusi pada amandemen UUD 1945 di tahun 2000, dalam prakteknya masih banyak kasus-kasus yang melibatkan pelanggaran KBB utamanya oleh pemeluk agama minoritas yang ada di Indonesia.

Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PUSAD) Paramadina, Ihsan Ali Fauzi, di tahun 2023 lalu pernah mengatakan bila pendirian dan pengelolaan rumah ibadah di Indonesia masih memicu kontroversi di sejumlah daerah.

Kasus Pelanggaran Kebebasan Beribadah Maret-Mei 2024

Agaknya, pendapat tersebut (ternyata) masih relevan hingga saat ini. Merujuk dari laporan Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (SEJUK) sepanjang bulan Maret sampai Mei 2024 terdapat 6 kasus pelanggaran hak beribadah kelompok minoritas di Indonesia, dengan rincian sebagai berikut:

17 Maret; di Balaraja, Tangerang, viral persekusi oleh puluhan orang yang melarang rumah salah satu jemaat Kristen digunakan untuk beribadah. 21 Maret; Semboja, Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, sepuluh orang menggeruduk pos pembinaan umat Gereja Kemah Injili Indonesia (GKII). Mereka mencopot paksa plang pos pembinaan umat GKII dan melarang tempat tersebut digunakan untuk ibadah.

30 Maret; Tangerang, beredar video persekusi terhadap beberapa jemaat muda, anak-anak dan perempuan, di rumah doa POUK Tesalonia, Teluk Naga, Tangerang, yang sedang menyiapkan Paskah. 19 April; Pandeglang, Banten, viral video berita pendeta harus memberi pernyataan maaf mengklarifikasi bila rumahnya(lah) yang digunakan untuk beribadah, bukan gereja. Sebagai respon kemarahan warga atas narasi video di media sosial bila di sana berdiri gereja.

5 Mei; Tangerang Selatan, viral video persekusi berupa kekerasan dan penganiayaan oleh warga terhadap mahasiswi Universitas Pamulang (Unpam) yang sedang menggelar doa rosario bersama teman-temannya di kontrakan mereka. 8 Mei; Gresik, Jawa Timur, viral video pembubaran ibadah di salah satu rumah jemaat Gereja Protestan di Indonesia Bagian Barat (GPIB) Benowo, Betiting, Cerme, Gresik, Jawa Timur.

Semua kasus pelanggaran tersebut dialamatkan kepada urusan gangguan ketertiban dan kenyamanan warga setempat atas alasan “beribadah di tempat yang bukan semestinya (baca: selain gereja)”. Di lain sisi, sudah bukan rahasia bila umat Kristiani di Indonesia masih banyak yang kesulitan mendapatkan izin pembangunan rumah ibadah.

Hal ini menjadikan pemerintah Indonesia, pada 2023 lalu, yang direpresentasikan oleh Menteri Agama (Menag) merespon bab persoalan itu dengan mewacanakan pergantian peraturan terkait izin pendirian rumah ibadah yang nanti hanya membutuhkan satu surat rekomendasi dari Kementerian Agama (Kemenag) saja (yang hingga sekarang masih menunggu putusan resmi).

Meski demikian, urusan toleransi ini tidaklah tepat jika hanya berpangku tangan kepada pemerintah. Sebab, seyogianya kita sebagai manusia yang tinggal di tengah masyarakat heterogen ini, menyadari bila kerukunan dan kedamaian tidak akan terwujud dalam kehidupan sosial kita bila tidak bersikap toleran yang dimulai dari diri sendiri.

Toleransi; Bentuk Kedewasaan Dalam Beragama

Lebih dari tujuh dekade Negara Kesatuan Republik Indonesia ini berdiri. Dari awal landasan dasar dan konstitusi negara ini dirumuskan oleh para founding fathers, mereka telah mengamini kemajemukan yang ada di bumi Nusantara yang terdiri dari beragam ras, suku, budaya, adat, dan agama, sehingga rentan terhadap konflik kelompok yang akan memecah persatuan bangsa.

Oleh karena itu, dibentuklah landasan ideologi Pancasila di mana semboyan Bhinneka Tunggal Ika jadi kalimat yang dicengkram erat oleh cakar Garuda Pancasila. Dan sebagai warga negara Indonesia, kita dituntut untuk turut serta mengamini Pancasila sebagai dasar ideologi kita dalam bernegara.

Namun bukan berarti kita melelang ideologi keagamaan yang kita miliki dengan ideologi Pancasila. Sebab, sejatinya prinsip dasar di dalam Pancasila tidaklah bertentangan dengan prinsip agama yang diyakini oleh sebagian besar penduduk Indonesia.

Dalil dalam Islam yang termaktub dalam Alquran surah Al Hujurat ayat 13 menyatakan bahwa Tuhan menciptakan manusia dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, dan menjadikan kita berbangsa-bangsa dan bersuku-suku agar kita saling mengenal satu sama lain.

Pun dalam Injil 1 Yohanes 4: 7-8 tertulis bila kita harus saling mengasihi satu sama lain, sebab kasih itu berasal dari Allah; dan setiap orang yang mengasihi, lahir dari Allah dan mengenal Allah. Siapa pun yang tidak mengasihi, ia tidak mengenal Allah, sebab Allah adalah kasih.

Dua nukilan penjelasan ayat tersebut yang bersumber dari kitab suci Islam dan Kristen, sejatinya sama-sama mengekspresikan sikap kemanusiaan yang berbudi luhur; dengan mencintai kedamaian dan menebarkan kasih. Dapat dikatakan bila agama ada untuk kepentingan umat manusia dan agama juga menjunjung tinggi keluhuran nilai (dan sikap) kemanusiaan, yang selaras dengan Pancasila. Sehingga, mengamini ideologi Pancasila sebagai pedoman bersama tidaklah berbenturan dengan ideologi agama.

Inilah kemudian yang jadi landasan konsep moderasi beragama yang saat ini tengah gencar digaungkan sebagai solusi “titik tengah” untuk mengonter sikap-sikap eksklusif dan intoleran yang dilakukan oleh oknum-oknum umat beragama. Bahwasanya, meski kita memiliki kepercayaan mutlak atas keimanan agama masing-masing, tidak lantas jadi faktor yang dapat menafikan kenyataan bila ada banyak perbedaan keyakinan selain dari yang kita miliki (ketahui).

Maka, baik adanya jika kita hentikan coretan hitam yang mencoreng wajah toleransi umat beragama di negara majemuk ini. Agar tidak lagi ada kekangan kebebasan atau pemangkasan hak asasi manusia, terkhusus pada hak kebebasan beragama dan berkeyakinan. Bukankah kita ingin mewujudkan keselarasan dan harmoni antar sesama umat manusia?

Facebook Comments