Opini Kebencian, Disosiasi, dan Aksi Teror

Opini Kebencian, Disosiasi, dan Aksi Teror

- in Narasi
659
1
Opini Kebencian, Disosiasi, dan Aksi TerorIlustrasi

Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Wiranto menjadi target dari serangan teror di Kabupaten Pandeglang, Banten, pada Kamis (10/10/2019). Wiranto ditusuk saat tiba di Alun-alun Menes, Pandeglang usai, menghadiri acara di Universitas Mathla’ul Anwar.

Polres Pandeglang lantas mengamankan dua orang tersangka penyerangan Wiranto di Lapangan Menes, Pandeglang, Banten. Berdasarkan informasi yang didapat, kedua orang pelaku penusukan yang diamankan yakni Syahril Alamsyah dan Fitri Andriana binti Sunarto. Fitri Andriana diketahui merupakan warga Desa Sitanggai, Kecamatan Karangan Kabupaten Brebes, namun saat ini berdomisili di Kampung Sawah Kecamatan Menes, Kabupaten Pandeglang. Sedangkan Syahril tercatat sebagai warga Desa Tanjung Mulia Hilir, Kecamatan Medan Deli, Kota Medan, Sumatera Utara.

Dari serangkaian penyelidikan kepolisian, diketahui kalau kedua pelaku tersebut terpapar ideologi ekstrimis. Tepatnya adalah ideologi ISIS.

Opini Kebencian

Kejadian yang menimpa Wiranto menjadi serangkaian bukti bahwa kaum ekstrimis tidak segan-segan melakukan aksi teror kepada siapa saja. Mereka tidak lagi takut dan sembunyi-sembunyi. Bahkan kepada pejabat yang mendapat kawalan ketat pun, mereka bisa melancarkan aksinya.

Aksi teror para ekstrimis yang masih terus terjadi, mengindikasikan bahwa gerakan teror ini memiliki akar penyebabnya yang terus tumbuh dan berkembang. Jika diteliti lebih jauh, akar penyebab berkembangnya teror ini tentu bermacam-macam. Salah satunya karena berkembangnya “opini kebencian”. Yakni sikap benci kepada pihak lain disertai dengan dalil-dalil agama, sehingga melahirkan serangkaian pandangan ekstrim.

Opini kebencian ini disebarkan dengan berbagai macam cara. Bisa melalui komunikasi dalam kelompok yang tertutup, seperti halaqah-halaqah agama yang eksklusif. Dikatakan eksklusif karena tidak menerima kelompok lain, tidak mau berdialog dengan pemikiran yang berbeda, juga bersifat doktrinasi. Kelompoknya hanya boleh mengambil pengetahuan dari golongannya dan merasa bahwa golongannya paling benar, sementara golongan lain salah.

Baca juga :Memerangi Nalar Radikalisme

Opini kebencian juga bisa disebarkan melalui medsos. Di medsos bisa dijumpai serangkaian broadcast yang isinya ujaran kebencian, akun-akun bot yang diproduksi untuk propaganda kebencian, serta informasi hoax yang terus membingungkan warganet. Akibat dari tersemainya arus kebencian di medsos, maka banyak para pengguna medsos yang mudah terpapar dengan opini kebencian tersebut. Mereka sudah tidak paham apakah informasi yang diterima termasuk hoax atau bukan.

Disosiasi yang Berlebihan

Opini kebencian yang terus-menerus diterima oleh masyarakat, lama kelamaan akan merasuk ke dalam kejiwaan. Dalam kondisi inilah masyarakat rentan terpapar oleh gangguan identitas berupa disosiasi. Sebagaimana dijelaskan dalam situs hellosehat.com, disosiasi adalah keadaan dimana manusia terbawa suasana, daydreaming (menghayal) saat sedang melamun atau saat sedang bekerja. Gangguan identitas disosiatif yang lebih parah mengakibatkan seseorang kehilangan kontrol atas pikiran, memori, perasaan, perbuatan, hingga kesadaran atas identitasnya.

Nampaknya inilah yang terjadi pada para terorisme. Akibat menerima opini kebencian terus-menerus, mereka kemudian menghayalkan kondisi ideal sebagaimana yang ada dalam opini-opini tersebut. Seperti mati syahid mendapat surga, membunuh kaum kafir untuk kemuliaan hidup, negara Indonesia adalah Thagut, tentara dan polisi di Indonesia adalah pasukan Thagut, dan sebagainya. Akibatnya, mereka kehilangan kontrol atas dirinya sehingga tidak ragu-ragu melakukan perbuatan sebagaimana yang dikhayalkan.

Mereka tidak takut melakukan bom bunuh diri karena menurut mereka akan mati syahid dan pahalanya surga. Mereka tidak takut melukai aparat negara, sebab menganggap bahwa aparat tersebut adalah pasukan Thagut. Mereka juga tidak segan membunuh orang lain yang berbeda agama karena dipandang sebagai jihad. Sungguh, mereka ini telah mengalami disosiasi yang berlebihan sehingga tega berbuat ekstrim kepada pihak lain.

Upaya Penyadaran

Jika sudah demikian adanya, maka tidak ada cara lain selain melakukan upaya penyadaran. Opini kebencian yang menjadi akar dari disosiasi sehingga berujung pada tindakan ekstrim, harus “diperangi”. Cara memeranginya tentu bukan dengan kekerasan, tetapi dengan counter atas opini-opini tersebut.

Jika penyemaian opini kebencian dilakukan melalui kegiatan keagamaan, maka menjadi tugas para tokoh agama untuk membuat forum keagamaan yang menebarkan nilai-nilai kebaikan. Para tokoh agama dengan disokong pemerintah, bahu-membahu membina masyarakat agar menjadi pribadi yang positif, yakni pribadi yang senantiasa menebarkan kasih-sayang.

Kemudian, jika penyebaran opini kebencian melalui medsos, maka menjadi tugas warganet untuk mengisi medsos dengan postingan dan informasi positif. Pemerintah dalam hal ini juga dibutuhkan sebagai kontrol dan pengawasan. Dengan demikian, opini kebencian bisa diminimalisir dan bibit ekstrimisme bisa dipupus sejak dini.

Facebook Comments