Penggunaan senjata kimia dalam konflik bersenjata kembali terjadi di Khan Sheikhoun, Provinsi Idlib (4/4), menambah catatan panjang tragedi kemanusiaan yang timbul akibat penyalahgunaan teknologi untuk kepentingan produksi senjata pemusnah massal.
Menilik sejarah, pola perang yang tidak manusiawi dengan menggunakan kimia sebagai jenis senjata pemusnah massal ini sudah digunakan sejak lama, yaitu pada awal abad 20-an. Amerika misalnya tidak kurang dari sepuluh kali memakai senjata ini dalam perangnya; di Jepang (1945), di Vietnam (1962-1971), dalam pembantaian rakyat Iran dan Kurdi (1988), di Irak (2003 dan 2004), dsb. Begitu pula Israel ketika menyerang warga sipil Palestina denganWhite Phosphorusatau Fosfor Putih (2008 – 2009). Tentu penggunaan senjata ini telah menimbulkan jatuhnya jutaan korban.
Faktanya, sebagaimana dilaporkan Arms Control Association, sampai saat ini masih terdapat sebelas negara yang menyimpan dan bahkan berlomba-lomba mempercanggih sistem persenjataan pemusnah massal mereka, yaitu Amerika, Rusia, Cina, Prancis, Inggris, India, Pakistan, Israel, Iran, Suriah, dan beberapa negara pecahan Uni Soviet.
Perlu diketahui bahwa senjata kimia adalah senjata yang memanfaatkan sifat racun senyawa kimia untuk membunuh, melukai, atau melumpuhkan musuh. Penggunaan senjata kimia ini berbeda dengan senjata konvensional maupun senjata nuklir karena efek merusak pada senjata kimia ini bukan pada daya ledaknya. Menurut Konvensi Senjata Kimia (Chemical Weapons Convention) yang dianggap sebagai senjata kimia adalah penggunaan produk toksik yang dihasilkan organisme hidup (misalnya botulinum, risin, atau saksitoksin). Menurut konvensi ini juga segala jenis zat kimia yang beracun, tanpa memperdulikan asalnya, dianggap sebagai senjata kimia kecuali jika digunakan untuk tujuan yang tidak dilarang.
Selain senjata kimia, senjata lain yang termasuk kategori mematikan atau pembunuh massal adalah, 1) senjata nuklir, yaitu senjata yang mendapat tenaga dari reaksi nuklir dan mempunyai daya pemusnah yang dahsyat dan bahkan mampu menghancurkan kota; 2) Senjata Biologis, yaitu senjata yang menggunakan patogen (bakteri, virus, atau organisme penghasil penyakit lainnya) sebagai alat untuk membunuh, melukai atau melumpuhkan musuh.
Penggunaan senjata pemusnah massal, termasuk senjata kimia, untuk menarget korban manusia tentu tidak dapat diterima, karena dapat mengancam eksistensi kemanusiaan. Berbagai konferensi internasional telah diselenggarakan guna mencapai kesepakatan bersama menghentikan penggunaan senjata ini.
Lalu bagaimana pandangan Islam, selaku agama sumber moral, terhadap penggunaan senjata kimia dalam peperangan? Menjawab pertanyaan ini, Ahmad Supiansyah, menuliskannya dalam sebuah skripsi dan berkesimpulan bahwa secara umum hukum Islam tidak melarang konflik bersenjata akan tetapi membatasi atau mengatur konflik bersenjata sehingga hak-hak sipil dapat dilindungi. Dan secara prinsip, hukum Islam melarang penggunaan senjata pemusnah massal, walaupun tidak mengaturnya secara jelas terperinci karena munculnya istilah senjata pemusnah massal baru muncul pada abad ke-20 Masehi. Penggunaan senjata pemusnah massal bertentangan dengan prinsip hukum perang yang berlaku di dalam Islam.
Terkait penggunaan senjata kimia ini juga, Yusuf al-Qardlawi, menjelaskan bahwa menurut syariat Islam, hukumnya sama dengan senjata pemusnah massal lain, yakni haram digunakan. Karena prinsip Islam dalam peperangan adalah tidak boleh membunuh orang yang tidak turut atau tidak memiliki hubungan apa pun dengan peperangan yang terjadi. Nabi SAW juga melarang membunuh wanita dan anak-anak. Adapun para khalifah setelahnya melarang membunuh para pemuka agama dan pegawai usaha. Dengan demikian, tidak mungkin Islam memperbolehkan pembunuhan terhadap jumlah manusia yang sangat banyak, secara membabi-buta.
Islam juga melarang perusakan terhadap bumi, menebang pohon, menghancurkan rumah, atau meruntuhkan bangunan tanpa alasan yang jelas. Sebab, perbuatan-perbuatan seperti ini termasuk bentuk fasad yang diharamkan oleh Allah, dan para pelakunya sangat dimurkai (QS. al-Baqarah [2]: 205). Menyimpan senjata semacam ini, diperbolehkan hanya ketika posisi umat Islam terancam oleh musuh yang memilikinya.