Sekolah sebagai Penyemai Perdamaian

Sekolah sebagai Penyemai Perdamaian

- in Narasi
2261
0

Hari Pendidikan Nasional yang diperingati setiap 2 Mei menjadi momentum untuk selalu mengingatkan kita akan pentingnya pendidikan bagi kemajukan bangsa. Pendidikan diharapkan mampu menghasilkan generasi yang tak sekadar cerdas, namun juga memiliki akhlak atau moralitas. Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional, Pasal 3 menyebutkan: Tujuan pendidikan nasional adalah mengembangkan potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.

Pendidikan bertujuan membangun manusia Indonesia yang berkepribadian dan bisa memberi manfaat bagi kehidupan bersama, termasuk berkontribusi dalam mengupayakan terciptanya perdamaian. Sebagaimana juga tergambar dalam mukadimah UUD 1945, tentang tujuan berdirinya bangsa Indonesia yang melandasi dibentuknya Undang-Undang Dasar, yakni …mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial… Sampai di sini, kita tentu sepakat bahwa salah satu tujuan pendidikan nasional adalah untuk menciptakan dan membangun perdamaian bangsa, bahkan ikut mengupayakan perdamaian dunia.

Perdamaian terjadi ketika suatu masyarakat memiliki kemampuan mengatasi atau mengelola konflik. Konflik bagaimana pun akan selalu ada karena manusia pada dasarnya memang diciptakan berbeda-beda, dengan kepentingannya masing-masing. Perdamaian suatu masyarakat akan sangat bergantung pada sejauh mana masyarakat memiliki kesadaran tentang pentingnya hidup saling menghormati, menghargai, toleransi, dan selalu mengupayakan hubungan yang baik; mengedepankan dialog ketika terjadi konflik. Konflik bukan alasan untuk bertikai. Justru konflik menghendaki dialog untuk mencari jalan keluar bersama. Perdamaian bukan tentang penyeragaman, namun bagaimana hidup rukun bersama meski dalam perbedaan.

Kesadaran untuk saling menghormati, toleran, dan selalu mengutamakan dialog ketika terjadi konflik tersebut harus ditanamkan, dikembangkan, dan selalu dirawat, bahkan sejak kecil. Sikap-sikap tersebut masuk dalam 18 jenis karakter bangsa yang harus ditanamkan dalam pendidikan yakni; religius, jujur, toleransi, disiplin, kerja keras, kreatif, mandiri, demokratis, rasa ingin tahu, semangat kebangsaan, cinta Tanah Air, menghargai prestasi, bersahabat/komunikatif, cinta damai, gemar membaca, peduli lingkungan, peduli sosial, dan bertanggung jawab. Karakter toleran, cinta damai, dan demokratis merupakan aspek-aspek yang harus ditanamkan dalam pendidikan guna membangun spirit perdamaian dalam diri seseorang.

Sampai di sini, kita bisa mengajukan pertanyaan; apakah praktik pendidikan kita saat ini sudah menanamkan spirit perdamaian tersebut dengan baik pada anak didik? Anak didik yang memiliki spirit perdamaian dalam dirinya cenderung bisa membangun hubungan yang harmonis dengan lingkungannya; sesama teman, guru, masyarakat, dan semua orang di lingkungan sekolah. Sebaliknya, anak didik yang tak memiliki spirit perdamaian akan cenderung merusak harmoni di lingkungan sekolah lewat pelbagai tindakannya. Sayangnya, kita masih sering mendengar kabar tentang tawuran antar pelajar, bullying di lingkungan sekolah, atau kekerasan senior pada junior, dan lain sebagainya, yang menunjukkan bahwa spirit perdamaian itu masih belum sepenuhnya terpancar di lingkungan sekolah.

Bahkan, berdasarkan data yang dirilis Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menurut survei International Center for Research on Women (ICRW), sebanyak 84% anak di Indonesia mengalami kekerasan di sekolah (kpai.go.id). Terlepas dari apakah angka kekerasan tersebut terjadi antar sesama anak didik atau dengan guru atau pihak lainnya, tidak sepantasnya sekolah menjadi tempat munculnya benih kekerasan. Sekolah, sebagai lingkungan pendidikan utama setelah keluarga, mestinya menjadi lingkungan yang bisa menanamkan dan menyemai nilai-nilai kasih sayang, kepedulian, persahabatan, dan perdamaian dalam diri anak didik. Lingkungan sekolah harus menggambarkan kehidupan yang damai, di mana hubungan antara semua komponen (siswa, guru, staf, dll) terjalin harmonis. Jika terjadi konflik, sekolah–dalam hal ini guru, harus bisa mengelola konflik agar bisa diselesaikan secara damai.

Dari ruang kelas

Di sekolah, terutama sekolah umum, berkumpul anak-anak dari pelbagai latar belakang. Mereka berkumpul di lingkungan sekolah dengan karakter masing-masing yang berbeda. Baik secara budaya, etnis, suku, atau agama. Tidak jarang, perbedaan-perbedaan tersebut menjadi pemicu konflik yang kemudian mengarah pada pelbagai bentuk kekerasan, dikriminasi, maupun penindasan, baik secara psikis maupun fisik. Alhasil, sekolah tidak menjadi tempat yang aman dan nyaman bagi anak didik, namun justru menjadi tempat yang menakutkan. Sekolah tidak lagi terimajinasikan sebagai “taman” yang menyenangkan untuk belajar, sebagaimana pemikiran Bapak Pendidikan Nasional kita, Ki Hadjar Dewantara.

Sekolah harus menjadi tempat yang bisa menanamkan spirit perdamamaian dalam diri setiap anak didik, agar terbangun mental saling peduli, bersahabat, bersaudara, dan sadar tentang pentingnya menjaga kedamaian di sekolah. Banyak cara bisa dilakukan guru untuk bisa menanamkan karakter cinta damai kepada anak didiknya. Rizal Panggabean (2015), dalam tulisannya yang berjudul Menejemen Konflik di Sekolah memberi uraian menarik tentang bagaimana menciptakan suasana sekolah yang aman, damai, dan harmonis dengan Menejemen Konflik Berbasis Sekolah (MKBS).

Hal penting yang harus diupayakan dalam MKBS, lanjut Rizal, adalah bagaimana merancang proses belajar yang tak sekadar mengejar aspek akademik, namun lebih jauh juga mengasah keterampilan sosial dan keterampilan hidup. Baik keterampilan sosial maupun keterampilan hidup, keduanya merupakan komponen pokok yang penting dimiliki seseorang untuk menghadapi masalah dan mengelola konflik. Di antaranya mencakup kemampuan siswa dalam mengelola konflik secara konstruktif, memecahkan masalah dalam hubungan antar-pribadi, dan membangun dialog dan komuniasi dengan orang lain.

Rizal juga memberi contoh tentang bagaimana membangun kelas yang damai (peaceable classroom). Guru harus membangun suasana belajar yang komunikatif. Siswa dilatih memecahkan masalah, menyelesaikan konflik antar siswa, dan belajar melalui metode belajar besama dan diskusi. Intinya, guru mengupayakan siswa agar bisa mengembangkan perilaku sosial yang positif, bekerjasama, komunikasi yang efektif, pengungkapan emosi dan perasaan, apresiasi terhadap perbedaan, dan resolusi konflik. Semua itu akan mengasah mental, emosi, dan pikiran anak didik untuk bisa bersikap toleran dan terbiasa dalam memandang perbedaan, terbiasa menyalurkan aspirasi dengan cara yang beretika, berkomunikasi dengan bahasa yang santun, dan memandang setiap persoalan sebagai hal yang selalu bisa diselesaikan dengan komunikasi dan dialog.

Ketika di masyarakat, mereka tak akan gagap terhadap perbedaan: tak mudah emosional, apalagi bertindak anarkis ketika dihadapkan pada suatu keadaan yang tak sesuai kehendaknya. Mereka tak akan mudah terpengaruh dengan provokasi isu maupun doktrin-doktrin melenceng yang mengajak melakukan kekerasan. Dengan kata lain, ia akan menjadi seseorang yang kebal terhadap pelbagai bentuk radikalisasi. Sebab, ia telah anak tumbuh dan berkembang menjadi pribadi yang memiliki kesadaran akan pentingnya sikap saling menghargai, toleransi, dan merawat persaudaraan. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, nilai-nilai tersebut merupakan hal penting yang harus ditanamkan pada generasi muda. Kelak, generasi-generasi tersebut akan menjadi aset berharga bagi masa depan perdamaian bangsa ini.

Facebook Comments