Hingga saat ini, pesantren tetap menjadi kelompok Islam di Indonesia yang begitu teguh memegang prinsip integrasi antara Islam dan kebangsaan yang menjadi karakter bangsa Indonesia. Walaupun mulai bermunculan aliran-aliran Islam transnasional yang mengusung ideologi-ideologi Islam kontra kebangsaan, kalangan pesantren tetap tidak bergeming dari prinsipnya, bahkan menjadi garda terdepan dalam melindungi prinsip integrasi Islam dan kebangsaan dari kalangan Islam transnasional.
Realitas ini tentu sangat menarik, karena bahan bacaan dari kalangan Islam transnasional, seperti HTI, itu tidak jauh berbeda dengan kalangan pesantren. Kitab-kitabnya kebanyakan sama, tetapi anehnya keduanya memiliki pandangan yang berbeda. Oleh karena itu, esai ini mencoba untuk menelusuri lebih lanjut mengapa pemahaman Islam kebangsaan kalangan pesantren berbeda dengan Islam transnasional? Mengapa karakter kebangsaan kalangan pesantren jauh lebih kuat daripada kalangan Islam transnasional?
Jawaban singkat atas pertanyaan besar tersebut adalah karena pesantren sangat menghargai sejarah bangsa ini, bahkan pesantren itu terlibat langsung dalam pembentukan sejarah bangsa di masa lalu. Sementara, untuk jawaban pajangnya, mari simak pengalaman hidup saya berikut ini ketika dulu belajar di Pondok Pesantren al-Falah, Silo, Jember.
Nun silam, sewaktu saya mondok, saya sering mendengar cerita tutur dari banyak kalangan, mulai dari para guru madrasah, kakak santri senior, bahkan dari alumni yang kadang datang ke pondok, tentang kisah almarhum pendiri PP. Al-Falah, yaitu KH. Syamsul Arifin. Dari sekian banyak kisah yang diceritakan, umumnya mengisahkan tentang karomah almarhum, karena perjuangan penyebaran Islam yang dilakukan oleh almarhum waktu itu lebih banyak menggunakan media budaya (pencaksilat dan macopat) daripada keilmuan.
Baca Juga : Kesetiakawanan Sosial dalam Himpitan Pandemi
Banyak di antara kisah heroik perjuangan Kiyai Sepuh (sebutan para santri untuk almarhum), mengisahkan kegigihan beliau dalam melawan penjajah. Salah satu kisah yang saya sangat ingat dan membatin sampai sekarang adalah ketika dulu ada agresi militer Belanda yang pertama dan kedua, daerah Silo—yang kebetulan di sana ada perusahaan Belanda (sekarang namanya PTP Sumber Wadung) dan lokasinya hanya sekitar 500 M dari pesantren—pernah mau diserang oleh tentara Belanda. Namun, tentara Belanda kala itu gagal untuk masuk ke Silo, karena waktu itu tank-tank mereka tidak bisa melalui satu-satunya jembatan yang bisa menjangkau daerah Silo. Konon, sebelumnya jembatan itu cukup lebar dan muat dilewati tank, tapi karena pada waktu itu Kiyai Sepuh meletakkan sebuah lidi di ujung jembatan, maka jembatan itu pun mengecil. Bahkan tidak hanya mengecil, konon katanya tentara Belanda kala itu seperti orang linglung saat tiba di jembatan itu. Alhasil mereka pun gagal menyerang Silo via tentara darat.
Gagal menyerang lewat darat, Belanda tidak menyerah, mereka masih mencoba menyerang lewat jalur udara. Pesawat-pesawat tempur Belanda waktu itu sudah terbang mencapai daerah Silo khususnya di daerah sekitar pesantren. Beberapa kali pesawat tempur Belanda menjatuhkan bom-bom ke daerah sekitar pesantren, tapi tidak satu pun dari bom-bom itu berhasil meledak. Bahkan dua bom yang jatuh di sebelah masjid dekat pesantren bukannya membawa petaka, tapi justru menjadi berkah bagi masyarakat dan juga para santri. Pasalnya dua bom yang jatuh di sebelah masjid itu menancap cukup dalam, sehingga memunculkan sumber air yang sampai saat ini masih digunakan oleh masyarakat dan para santri. Berdasarkan cerita tutur yang saya dengar, bom-bom Belanda itu tidak bisa meledak karena pada waktu itu di dalam masjid ada Kiyai Sepuh yang sedang berdzikir.
Terlepas dari benar atau tidaknya cerita tutur itu—karena dalam kacamata keilmuan potivistik kisah seperti ini tidak bisa dianggap benar—ada banyak hal yang saya dapat dari kisah yang amat sering diceritakan oleh guru-guru dan para senior pada waktu itu. Salah satu hikmah yang saya dapatkan dari saking seringnya mendengar kisah itu adalah semakin kuatnya karakter kebangsaan dalam diri saya. Memang sejak lama, sebelum mondok, di sekolah saya rutin ikut upacara bendera, mata pelajaran PPKN juga saya ikuti, dan mata pelajaran sejarah nasional juga sudah pernah saya pelajari. Hanya saja, model pembelajaran di sekolah yang sangat kaku dan cenderung mengisahkan sejarah Indonesia yang jauh dari lokalitas saya itu tidak membawa dampak yang berarti bagi tumbuh-kembang karakter kebangsaan dalam diri saya.
Justru kisah-kisah heroik Kiyai Sepuh yang kerap saya dengar di pondok itu yang membuat saya semakin mencintai Indonesia dan akan berjuang sekuat tenaga untuk melanjutkan perjuangan beliau menjaga NKRI. Menurut saya cerita tutur itu dapat memberi pengaruh signifikan bagi perkembangan nasionalisme dalam diri saya karena beberapa faktor, pertama, cerita tutur itu disampaikan secara menarik, heroik, dan terus menerus, sehingga saya tidak perlu memeras otak cukup berat untuk dapat mencernanya. Kedua, cerita tutur itu kontennya berisi sejarah lokalitas saya, yaitu sejarah Kiyai Sepuh, yang warisannya (berupa pondok pesantren) kala itu menjadi tempat saya belajar. Kedekatan emosional ini, pada gilirannya membuat saya semakin mudah memetik hikmah di balik kisah-kisah beliau.
Begitulah kira-kira pesantren tempat saya mondok dulu membentuk karakter kebangsaan para santrinya, dalam hal ini paling tidak saya pribadi. Model pembentukan karakter kebangsaan melalui cerita tutur seperti di pesantren saya itu, rasanya juga terjadi pesantren-pesantren lain dan ini merupakan salah satu ciri khas pesantren dalam menanamkan nilai-nilai kebangsaan. Jalannya memang tidak seformal pendidikan kewarganegaraan di sekolah-sekolah umum atau kampus, tapi pesan kebangsaan yang diusungnya jauh lebih mudah dipahami dan diinternalisasikan daripada pendidikan kewarganegaraan ala sekolah. Maka, tidak heran jika sampai saat ini pesantren dan orang-orang di dalamnya, masih menjadi garda terdepan dalam menjaga prinsip hubbul wathan minal iman.