Band pop asal Inggris, Coldplay dijadwalkan menggelar konser perdananya di Indonesia. Tepatnya pada tanggal 15 November 2023 di Stadion Gelora Bung Karno. Antusiasme publik menyambut konser Coldplay ini sungguh luar biasa. Harga tiket yang dibanderol dari 800 ribu hingga 11 juta rupiah pun seolah tidak menjadi halangan. Diprediksi 60 ribu orang akan hadir di konser ini. Hal ini wajar mengingat Coldplay merupakan band paling populer saat ini.
Di tengah euforia publik menyambut konser Coldplay ini tersiar kabar munculnya penolakan dari sejumlah kalangan. Salah satu yang paling kencang menyuarakan penolakan ada Persaudaraan Alumni 212 (PA 212). Sekjen PA 212, Novel Bamukmin dengan lantang menolak kehadiran Coldplay ke Indonesia. Alasannya band tersebut mendukung LGBT. Bamukmin bahkan mengancam akan menggeruduk bandara jika Coldplay tetap datang ke Indonesia.
Kontroversi penolakan artis asing yang menggelar pertunjukan di Indonesia sebenarnya bukan perkara baru. Sebelumnya, pada tahun 2012 laku, rencana konser penyanyi Lady Gaga juga pernah dibatalkan. Kencangnya penolakan sejumlah ormas keislaman bahkan Majelis Ulama Indonesia (MUI) membuat pihak kepolisian tidak memberikan ijin penyelenggaraan konser tersebut. Lady Gaga pun urung menggelar konser di Indonesia. Alasan penolakan itu dilatari oleh rumor bahwa Lady Gaga kerap mengekspose simbol satanisme dalam videoklip dan aksi panggungnya.
Dalam konteks penolakan Coldplay kali ini, dalih yang dipakai adalah bahwa band tersebut mendukung keberadaan Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT). Meski demikian kita tidak boleh percaya begitu saja pada alibi PA 212 tersebut. Artis luar negeri pendukung LGBT yang konser di Indonesia tentu tidak hanya Coldplay saja. Lantas, mengapa hanya Coldplay yang mendapat penolakan dan dikaitkan dengan isu LGBT. Memahami kontroversi penolakan Coldplay ini kiranya tidak bisa dipahami tanpa mengaitkannya dengan konteks tahun politik yang belakangan memang tengah memanas.
Faktor Politis di Balik Penolakan Coldplay oleh PA 212
Mengapa demikian? Lantaran PA 212 sendiri sedari awal lahir merupakan organisasi yang muncul karena pertarungan politik. Kita tentu masih ingat bagaimana sengitnya pertarungan politik di Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 lalu melahirkan berbagai organisasi. Mulai dari Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Ulama (GNPF Ulama), sampai Persaudaraan Alumni 212 (PA 212). Sejak awal, PA 212 memang organisasi politis yang berjubah agama.
Selain itu, harus diakui bahwa pamor gerakan-gerakan politik berjubah agama yang lahir dari “rahim” Pilkada Jakarta 2017 itu sudah meredup, bahkan nyaris padam sama sekali. GNPF Ulama sudah tidak pernah muncul lagi ke permukaan. Begitu pula PA 212 yang seolah nyaris dilupakan orang. Berkali-kali mereka berusaha bangkit dan naik ke permukaan dengan membonceng beragam isu. Namun, hasilnya nihil. Umat seolah sudah tidak mau dibodohi dengan isu-isu murahan.
Belakangan, ketika memasuki tahun politik, keberadaan PA 212 juga seolah tidak diperhitungkan oleh para elite maupun calon kandidat presiden. Tidak ada satu pun parpol, elite politik, apalagi capres yang menggaet PA 212 sebagai mesin politiknya. Padahal, pada momen Pilpres 2019 keberadaan PA 212 ini cukup diperhitungkan dalam pertarungan antar-parpol dan para capres. Kondisi inilah yang membuat PA 212 tampaknya harus bermanuver mencari celah bagaimana agar kembali bangkit atau setidaknya diperbincangkan publik.
Dalam teori pemasaran, salah satu upaya agar sebuah “brand” tetap eksis dan diingat orang adalah dengan membuatnya terus menjadi bahan perbincangan. Cara inilah yang tampaknya dipakai PA 212 dengan menunggangi euforia konser Coldplay. Ketika masyarakat tengah riuh oleh pro-kontra masalah harga tiket konser, tiba-tiba PA 212 hadir dengan agenda menolak Coldplay.
Menjaga Tahun Politik Kondusif Bebas Narasi Adudomba
Penolakan terhadap Coldplay dengan demikian hanyalah semacam testing the water. PA 212 tampaknya tengah menguji seberapa besar dukungan publik atas isu penolakan tersebut. Jika ternyata besar, maka ada kemungkinan PA 212 akan digandeng salah satu parpol atau capres untuk menjadi mesin politiknya. Tentu, adagium tidak ada makan siang gratis dalam politik itu tetap berlaku dalam hal ini.
Satu hal yang pasti, segenap elemen bangsa terutama masyarakat idealnya tidak mudah terpancing oleh narasi provokasi dan adu-domba di tahun politik. Lazimnya tahun politik memang panas dan rawan gesekan sosial. Janganlah kita tambah potensi kerawanan konflik itu dengan memproduksi narasi adudomba dan provokasi yang mendompleng isu sosial yang tengah viral di masyarakat.
Terkait penolakan Coldplay oleh PA 212 publik kiranya tidak perlu terprovokasi dan ikut-ikutan terbawa arus narasi kaum konservatif-radikal. Mari kita jaga tahun politik ini agar tetap kondusif dan tidak dieksploitasi oleh kaum konsevatif radikal untuk mencari panggung. Ketika kaum konservatif-radikal ini kembali mendapatkan panggungnya, maka dipastikan politik identitas dan politisasi agama akan kian marak. Hal itulah yang wajib kita cegah.