Doktrin Politik Aswaja dan Relevansinya Bagi Dakwah Islam di Negara Majemuk

Doktrin Politik Aswaja dan Relevansinya Bagi Dakwah Islam di Negara Majemuk

- in Keagamaan
897
0
Doktrin Politik Aswaja dan Relevansinya Bagi Dakwah Islam di Negara Majemuk

Lini masa media sosial tetiba riuh oleh perbincangan netizen tentang Ustad Hanan Attaki. Keputusannya bergabung dengan Nahdlatul Ulama (NU) dan menyetujui paham Ahlussunnah wal Jamaah (Aswaja) adalah sebuah hal mengejutkan. Bagaimana tidak? Selama ini ia dikenal berseberangan dengan NU dan dipersepsikan dengan dengan Hizbut Tahrir. Tidak hanya itu, ceramah-ceramahnya juga kerap kali intoleran dan provokatif serta bertentangan dengan paham ahlussunnah wal jamaah wan nahdliyah.

Alhasil, pengajian dan ceramahnya kerap mendapat penolakan, baik dari organ NU seperti Banser, MUI daerah, maupun umat Islam pada umumnya. Meski demikian, Hanan Attaki populer di kalangan remaja dan anak muda. Akun Instagramnya saat ini memiliki jumlah follower 9 juta lebih. Menandakan bahwa ia adalah sosok yang berpengaruh dalam lanskap dakwah keislaman di Indonesia.

Pergeseran pandangan Hanan Attaki ini menarik dibahas lebih lanjut. Terutama terkait bagaimana sebenarnya panadangan atau katakanlah doktrin paham Aswaja terhadap urusan politik atau kenegaraan. Penjelasan itu penting untuk mengurai kesalahpahaman umat selama ini.

Di dalam paham Aswaja, kehadiran sebuah negara bagi komunitas muslim adalah sebuah keharusan yang hukumnya fardlu kifayah. Artinya, jika ada sebagian umat yang sudah mendirikan negara, maka gugurlah kewajiban muslim lainnya. Namun demikian, ulama-ulama Aswaja sendiri tidak pernah secara eksplisit menyebutkan bentuk dan sistem negara yang baku yang wajib didirikan oleh umat Islam. Pendek kata, mendirikan negara itu wajib, namun sistem dan bentuknya seperti apa itu tidak ada aturan bakunya.

Prinsip Bernegara dalam Paham Aswaja

Inilah yang membedakan Aswaja dengan Syiah yang menetapkan bahwa imamah adalah bentuk kepemimpinan baku yang harus diadaptasi oleh seluruh umat Islam. Alih-alih menetapkan bentuk dan sistem negara yang baku, Aswaja hanya menetapkan sejumlah syarat berdirinya sebuah negara. Antara lain, pertama prinsip syura alias musyawarah yang bermakna adanya sebuah sistem yang memungkinkan semua urusan publik diputuskan secara adil dengan jalan musyawarah.

Kedua al ‘adl alias prinsip keadilan, yakni adanya pemerintahan atau sistem yang menjamin semua individu warganegara mendapatkan haknya. Ketiga, al hurriyah atau kebebasan yakni jaminan akan kebebasan individu yang sejalan dengan prinsip maqasyid al asyariah. Dalam bahasa kekinian, al hurriyah ini setara dengan prinsip hak asasi manusia (HAM). Keempat, al musawwa atau kesetaraan derajat yakni prinsip yang mengakui persamaan hak semua entitas individu atau golongan dalam sebuah negara terlepas dari identitas dan latar belakangnya.

Doktrin politik Aswaja ini kiranya relavan dan kontekstual jika diadaptasikan ke dalam corak dakwah terutama di negara majemuk seperti Indonesia. Dalam konteks Indonesia, dakwah keislaman idealnya tetap memperhatikan dan mengakomodasi realitas sosial-politik yang plural. Indonesia memang negara dengan penduduk mayoritas muslim. Namun, jangan lupa ada komunitas non-muslim lain yang juga menjadi warganegara dan hak dasar yang harus dipenuhi.

Lagipula, model keislaman di Indonesia juga tidak tunggal. Spektrum keislaman Indonesia sangat kaya lantaran bersentuhan dengan beragam kearifan lokal Nusantara. Kenyataan inilah yang juga harus dipahami dan disadari oleh para pendakwah. Maka dari itu, dakwah keislaman ala Aswaja yang relevan untuk konteks Indonesia adalah dakwah yang mengakomodasi empat prinsip di atas (musyawarah, keadilan, kebebasan, dan kesetaraan).

Bagaimana Dakwah Aswaja Dalam Konteks Kebinekaan Indonesia

Model dakwah yang mengadaptasi empat prinsip Aswaja di ranah politik itu akan melahirkan corak dakwah yang toleran, nasionalis, dan ramah pada kearifan lokal. Dakwah toleran ialah aktivitas yang mengajak umat pada jalan kebaikan tanpa menyinggung apalagi melukai perasaan siapa pun, terutama sekali kelompok minoritas. Dakwah toleran adalah dakwah sejuk yang menjaga sensitivitas dan perasaan kaum minoritas agar tidak tersinggung apalagi terhina.

Dakwah nasionalis adalah dakwah yang tidak hanya menyerukan cinta agama kepada umat, namun juga berorientasi pada membangun kecintaan pada negara. Dakwah nasionalis artinya membangun kesadaran umat bahwa hakikat kesalehan bukan hanya ditentukan oleh ketakwaan individual, namun juga menyangkut kesadaran sosial-kebangsaan.

Sedangkan dakwah yang adaptif pada kearifan lokal adalah dakwah yang tidak menganggap budaya dan tradisi lokal sebagai musuh yang bertentangan agama. Sebaliknya kearifan lokal dianggap sebagai unsur yang memperkaya khazanah keagamaan. Bahkan, di titik tertentu kearifan lokal dapat diadaptasikan ke dalam aktivitas dakwah.

Model dakwah Aswaja yang toleran, nasionalis, dan adaptif pada kearifan lokal inilah yang relevan diterapkan dalam konteks Indonesia yang majemuk. Masuknya Ustad Hanan Attaki ke dalam NU kiranya bisa menjadi momentum untuk membumikan model dakwah Aswaja. Dengan membumikan dakwah Aswaja, kita patut optimistik Islam mampu menjadi kekuatan yang menebar rahmat di tengah kebinekaan.

Facebook Comments