Berbagai portal media sosial baru-baru ini gempar oleh berita tentang Ustad Hanan Attaki yang hijrah masuk NU dan mengamini paham Aswaja. Kejadian viral ini seharusnya membuka mata para pendakwah milenial lain yang notabene banyak pengikutnya untuk meneladani bagaimana corak dakwah kebangsaan dua sosok ulama besar yaitu K.H. Ahmad Dahlan (Pendiri Muhammadiyah) dan KH. Hasyim Asy’ari (Pendiri NU).
Sebagaimana disebutkan Nurhadi (2017), K.H. Ahmad Dahlan telah meletakkan pondasi nasionalisme dengan memasukkan pendidikan agama pada sekolah-sekolah umum. Kemudian, memasukkan pendidikan umum pada sekolah-sekolah agama, serta penerapan sistem pendidikan yang tidak memisahkan antara golongan santri (putihan) dengan golongan non-santri (abangan). Sistem pendidikan ini untuk menyatukan bangsa dalam keragaman budaya menuju kemajuan lahir, batin, materiil dan moril spirituil, serta duniawi dan ukhrawi.
Kita juga bisa belajar sifat nasionalisme pada diri K.H. Ahmad Dahlan dan Muhammadiyah yang direfleksikan pada lima fase ideologi Muhammadiyah ketika awal berdiri. Lima fase ini dapat memicu permusuhan terhadap kolonial Belanda, yaitu: rasionalisme, pendidikan sebagai landasan bagi pembangunan politik, pengaruh keanggotaan kelas menengah, minat kepada budaya Jawa dan sikap yang bermusuhan terhadap doktrindoktrin asing, seperti komunisme (Setiawan, 2018).
Kalau kita telusururi, rasa nasionalisme K.H. Ahmad Dahlan identik dengan gerakan dan perjuangan. Ia adalah potret seorang pejuang dan pahlawan. Kepahlawananya bukan dalam sosok prajurit yang memanggul senjata dan gugur dalam medan perang, tetapi dalam sosok kemanusiaan. Beliau mengabdikan dirinya kepada kepentingan dan kemaslahatan pendidikan, dakwah dan sosial keagamaan dalam wawasan kebangsaan yang kental dan integral (Ni’mah, 2014: 136).
Kemudian, di masa kemerdekaan, pengakuan atas jasa K.H. Ahmad Dahlan dalam usaha menuju kemerdekaan Indonesia diwujudkan dengan pemberian anugerah sebagai Pahlawan Nasional. Dalam pidato pembukaan Muktamar Muhammadiyah ke-41 di Solo, Jawa Tengah tahun 1985, Presiden Soeharto mengomentari atas usaha Muhammadiyah dalam membantu perjuangan Nasional Indonesia “Benih-benih semangat kebangsaan langsung atau tidak langsung mulai ditaburkan oleh pemimpin-pemimpin dan pemuka Muhammadiyah ke dalam sanubari rakyat Indonesia” (Saiman, 1995: 56).
Sementara itu, kita juga mengenal sosok ulama besar pendiri NU, K.H. Hasyim Asy’ari yang sangat luar biasa bersama santrinya menggelorakan nasionalisme. K.H. Imam Ghazali Said (2015) mengungkapkan bahwa, sikap nasionalisme K.H. Hasyim Asy’ari dan NU dibuktikan dengan fatwa jihad beliau yang dikeluarkan satu bulan setelah proklamasi kemerdekaan. Kala itu para pejuang muslim sudah menyepakati dibuangnya tujuh kata, yaitu “Ketuhanan dan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluknya” dalam Piagam Jakarta. Ini berarti bahwa dalam pandangannya, Indonesia bukanlah negara Islam. Namun, negara nasional demokrasi yang menempatkan semua agama sama di hadapan negara. Walaupun demikian, ketika negara menghadapi pasukan sekutu termasuk belanda di dalamnya yang ingin menjajah kembali Indonesia, K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rois Am Akbar NU mengeluarkan fatwa jihad. Fatwa ini sangat berdampak besar pada gelora semangat para pahlawan dalam berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia.
Dalam bidang pendidikan sebagaimana disebutkan Rofiq Nurhadi (2017) K.H. Hasyim Asy’ari sangat apresiatif terhadap nilai-nilai tradisional budaya bangsa dalam pendidikan agama. Pendidikan ini akan menguatkan jati diri anak bangsa sebagai bangsa yang memiliki budaya sendiri yang beraneka ragam. Model pengajaran tradisional dengan sistem sorogan dan bandongan disamping dapat mengawal moralitas anak didik melalui hubungan yang erat antara guru dan murid juga sangat efektif untuk merawat warisan budaya bangsa.
Berdasarkan keteladanan dari sosok K.H. Ahmad Dahlan dan K.H. Hasyim Asy’ari tersebut, nasioanlisme pendidikan K.H. Ahmad Dahlan diproyeksikan untuk menghilangkan dikotomi antara santri dan non-santri serta untuk memperoleh kemajuan sumber daya manusia yang setinggi-tingginya. Sementara nasionalisme-agamis K.H. Hasyim Asy’ari diproyeksikan untuk melahirkan sumber daya yang agamis dan tidak tercerabut dari budaya bangsanya sendiri.
Pengembangan pendidikan nasionalisme-agamis melalui dua paradigma ini relevan untuk mengembangkan sumber daya yang berkemajuan dengan tetap memegang jati dirinya sebagai anak bangsa. Dengan demikian, selain untuk mendapatkan kemajuan sumber daya manusia ditengah-tengah persaingan global, pendidikan juga akan menjadi perekat persatuan dan kesatuan nasional serta membangkitkan semangat nasionalisme di tengah ancaman disintegrasi bangsa. Itulah yang seharusnya bisa diteladani oleh para pendakwah di era digital ini.